Agus Suryadi, SDN Rengasdengklok Ut

Masih belajar menulis dan merangaki kata....

Selengkapnya
Navigasi Web
KEHAMPAAN RASA

KEHAMPAAN RASA

Angin yang masuk melalui celah kecil menelisik kulit lembut yang mulai kusam tak terurus. Dingin yang membalut kulit semakin erat mendekap. Temaram lampu yang menyiram ruang kecil tempat aku membangun mimpi, tak sanggup membangkitkan kenangan indah tentang Aku dan Mas Riza.

Semuanya telah menguap bersama sesal. Cinta dan sayang yang Mas Riza berikan begitu menyiksa dan penuh ketidakwajaran.

“Katakan pada Ayah dan Ibu, jangan terlalu mengkhawatirkan kakak. Kakak lebih nyaman di sini,” Air mata tak dapat aku tahan. Arin, adik perempuanku satu-satunya menatap dengan ujung mata. Berusaha menyembunyikan kesedihan

“Maafkan aku, Kak,” tak semestinya Kakak berada di tempat seperti ini.

“Tak ada yang salah dalam hal ini, ini sudah takdirku,” aku tersenyum.

“Percayalah, aku menerima ini dengan bahagia. Kakak berpesan, Jaga Ayah dan Ibu. Merekalah yang membuat aku semangat mengisi hari-hari di sini.

Obrolan siang tadi berakhir dengan datangnya sipir yang memberitahukan tentang jam besuk yang telah berakhir.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Sepi adalah teman setia. Bintang dan bulan yang seharusnya aku nikmati karena keindahan menghias malam, hanya mimpi.Tembok kokoh dan atap yang kusam. Sisanya adalah kesunyian!

Ini malam kesekian ratus yang aku lewati bersama dingin dan sepi. Dua teman satu sel telah jauh bersama mimpi. Mereka teman yang datang bersama masalahnya masing-masing. Pun begitu dengan aku. Masalah yang aku buat sebenarnya terlambat dilakukan. Seharusnya ini terjadi jauh sebelum hari itu. Supaya sakit dan perih tidak terlalu lama aku rasakan.

Andai saja keegoisan dan keras kepala yang telah mendarah daging bisa mencair oleh nasihat Ayah dan Ibu, mungkin saat-saat ini tidak akan terjadi. Bodoh! Aku memang teramat bodoh, tidak bisa membedakan, mana larangan dan mana nasihat. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Ayah dan Ibu aku anggap sebuah ketidakadilan!

“Ayah, tidak melarangmu berhubungan dengan siapapun. Kamu sudah dewasa, bisa membedakan mana baik dan buruk. Tapi untuk yang satu ini, cobalah kamu pikirkan lagi. Ada sesuatu yang menurut Ayah janggal. Ada yang ia sembunyikan. Tapi, mungkin itu hanya perasaan Ayah saja,”Ayah menatapku dengan lembut.

“Ayah jangan menghalangi hubungan aku dengan Mas Riza. Mas Riza orang baik, Yah. Aku sudah mengenalnya cukup lama. Tadinya aku mengajak Mas Riza untuk bertemu dengan Ayah agar Ayah memuji, atau setidaknya memberikan kata-kata positif, bukannya malah menyudutkan Mas Riza dengan pertanyaan-pertanyaan yang konyol!” aku marah besar! Masuk kamar dan membanting pintu.

Ayah dan Ibu selalu saja mengalah. Apa yang aku mau, harus aku dapat apa dan bagaimana caranya. Seperti saat ini, aku memaksa agar Ayah dan Ibu merestui hubunganku dengan Mas Riza. Ayah dan Ibu bersikeras tidak setuju, tapi aku tetap memaksa.

Jadilah aku istri Mas Riza. Walau tidak melalui pernikahan resmi secara Negara. Aku menikmati menjadi Nyonya Riza. Ahh ... sangat membahagikan.

Aku mengenal Mas Riza sekitar dua tahun yang lalu, ketika kami berdua sama-sama bekerja di perusahaan garmen. Mas Riza adalah kepala regu, membawahi beberapa karyawan yang semuanya perempuan. Aku bekerja bersama sepuluh orang teman, semuanya gadis muda lajang. Aku termasuk gadis paling cantik. Rambut sebahu, hidung mancung dan berkulit bersih.

Sedangkan Mas Riza? Dia sungguh tampan. Tinggi besar dengan jambang yang menghiasi sebagian pipi. Kumis tipis dan berhidung bangir. Aku jatuh cinta sejak pandangan pertama! Mas Riza lebih dulu bekerja dibanding denganku.

Hampir setiap hari kami bertemu, setiap hari pula Mas Riza selalu memuji kecantikanku. Jujur saja, aku juga begitu, selalu saja mencuri pandang, sekedar memastikan jika Mas Riza tetap tampan dan semakin tampan.

Aku jatuh cinta!

Entah siapa yang pertama menyatakan cinta, pada akhirnya kami berdua resmi pacaran.

Banyak yang iri dengan hubungan kami berdua. Walau sebenarnya, banyak juga yang menyayangkan tentang hubungan kami. Ada juga yang sudah menceritakan tentang latar belakang Mas Riza, tapi aku tak perduli! Aku pikir mereka hanya iri dengan hubungan kami.

“Aku tak perduli dengan nasihat kalian, ini urusanku! Bukan urusan kalian. Bilang saja kalau kalian iri denganku. Yah ... aku memang pantas menjadi pacar Mas Riza, karena aku lebih cantik dari kamu! Awas! Sekali lagi kamu bicara yang tidak baik tentang Mas Riza, aku tampar!” kataku penuh emosi.

Reni, teman satu regu di tempat aku bekerja hanya bisa diam. Reni bukan yang pertama datang, tapi perempuan yang kesekian. Semua bernasib sama, aku memarahinya habis-habisan. Apalagi Mas Riza begitu mencintaiku, tak mungkin dia melaukan hal-hal bodoh seperti yang mereka katakan.

“Dasar perempuan gatal! Awas ya, nanti aku adukan sama Mas Riza, biar kalian dipecat! Memangnya gampang apa cari kerja?” itu kata terakhir yang aku katakan, biasanya mereka diam. Mereka takut dipecat!

Andai saja saat itu aku bisa mendengar nasihat dari Reni, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi.

“Ahh ....”

Aku hanya bisa menghela nafas panjang, sifat keras kepalaku benar-benar telah membatu.

“Aku lihat Mas Riza satu mobil dengan perempuan cantik. Bajunya seksi dan ... mereka sempat berciuman sebelum Mas Riza keluar dari mobil,” Arin datang ke kamarku ketika Mas Riza sudah berangkat bekerja.

Sebenarnya Arin memberitahu kejadian semalam, yang ia lihat dengan mata kepalanya dengan sangat hati-hati. Arin sangat paham dengan sifatku yang gampang marah dan tersinggung.

Tapi informasi yang Arin berikan, aku sambut dengan tamparan keras di pipinya.

“Jangan sembarangan kalau bicara! Mas Riza tidak mungkin seperti itu! Dia sangat mencintaiku, apalagi saat ini aku sedang hamil anaknya,” kemarahanku sungguh tidak bisa dikendalikan ketika Arin terus saja berbicara. Malah kata-kata yang keluar semakin membuat aku marah.

“Kak, aku bicara jujur. Semalam aku melihat Mas Riza melakukan itu! Bukan hanya itu ... Mas Riza juga ....” Arin tidak melanjutkan kata-katanya.

“Plak!”

Tamparan keras kembali mendarat di pipi Arin. Arin hanya bisa menangis.

“Tutup mulutmu! Kamu di sini hanya numpang hidup! Aku dan Mas Riza yang menaggung biaya sekolah dan semua keperluanmu, sekarang kamu mau menjelek-jelekan orang yang sudah membantu semua keperluanmu!” aku sedikit berteriak. Aku tidak mau jika tetangga mendengar kata-kataku.

Arin pergi dari kamarku. Nafasku memburu.

Memang, semalam memang Mas Riza pulang larut. Aku sudah terlelap. Arin yang membukakan pintu rumah.

Yang aku tahu, Mas Riza sudah terlelap tidur, dengan wangi parfum yang berbeda. Aku curiga, tapi kecurigaanku tidak berlanjut. Aku pikir, itu hanya wangi parfum teman kantor yang tidak sengaja menempel dibajunya. Aku yakin dengan kesetiaannya. Apalagi ada janin miliknya di dalam rahimku.

Malam-malam berlalu sejak kejadian aku menampar Arin. Arin menjadi pemurung dan selalu menghidar dariku. Aku pikir dia sangat marah dengan kejadian malam itu. Tapi biarlah, toh nanti juga akan kembali seperti biasa. Aku tidak terlalu ambil pusing.

########

Pagi ini aku bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Tadi subuh, Mas Riza mengatakan akan pergi ke luar kota sekitar satu bulan. Ada program pelatihan dari perusahaan. Acaranya memang mendadak. Mas Riza menggantikan temannya yang kebetulan tidak bisa ikut.

Aku membantu membereskan barang yang akan dibawa. lumayan banyak juga, sekitar satu kopor penuh. Aku sendiri, sudah berhenti bekerja sejak menikah dengan Mas Riza. takut aku terlalu capek, itu yang dikatakan Mas Riza. jadi pekerjaanku hanya di rumah saja, mengurus rumah tangga.

“kring! ... kring! ... kring! ....”

Suara telepon genggam terdengar dari balik tumpukan baju kotor di pojokan kamar.

“Suara telepon genggam Mas Riza?” aku mengernyitkan dahi.

Buru-buru aku bangun dari tempat tidur, dan mengambilnya dari saku celana Mas Riza yang kebetulan memang berada di tumpukkan baju kotor.

“Tumben Mas Riza lupa membawa teleponnya. Pantas saja tadi dia bolak-balik kamar ketika akan pergi ke luar kota untuk pelatihan. Mungkin ini yang dia cari. Tapi, sejak kapan Mas Riza punya telepon genggam Warna merah?” kataku perlahan.

Telepon mati. Aku telat mengangkatnya.

Ada beberapa SMS yang masuk. Terlihat dari layar telepon. Aku berusaha membuka sandi pada layar, entahlah, padahal hanya sekali aku mencoba membuka sandi dan langsung berhasil!

Aku tersenyum kecil. Tapi senyum itu berubah menjadi amarah. Jari lentikku terus memainkan tombol telepon genggam, semakin aku membuka kata-kata dan gambar semakin darahku mengalir lebih cepat! Ada banyak SMS, in-bok, riwayat telepon foto-foto. Apalagi ketika aku membuka rekaman video, “Ya Tuhan! Apa ini?” aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Aku terduduk. Sendi terasa tak bertenaga. Air mata menetes. Telepon genggam warna merah erat digenggaman.

“Hufff ....” aku menarik nafas pajang. Bangun dari duduk dan mencoba merebahkan kembali badan di atas tempat tidur. Perut terasa nyeri. Janin dalam perut yang baru berusia empat bulan, sepertinya tahu akan kesedihanku. “Jangan khawatir, Ibu akan kuat menghadapi keadaan ini,” aku berbisik pelan. Mencoba tersenyum.

“Tok! ... Tok!... Tok! ....”

Terdengar suara ketukan di depan rumah. Aku berusaha bangkit. Sementara Arin sudah pergi kuliah. Mau tidak mau aku yang harus membukaan pintu.

“Kreeekk!”

Aku membuka pintu rumah.

“Reni?” kataku, setelah tahu siapa yang datang.

“Iya, Mbak. Ini saya Reni. Maaf kalau saya sudah mengganggu,” suara Reni agak terputus. Sepertinya ada sesuatu yang ia simpan dan ia ingin mengatakannya padaku.

“Oh, silahkan masuk, Ren,” aku mempersilahkan Reni, teman satu kerja denganku untuk masuk ke dalam rumah. Kami duduk berhadapan.

“Lama tidak berjumpa, berapa lama Ya?” tanyaku membuka pembicaraan setelah cukup lama hening.

“Saya di PHK dari perusahaan tidak lama setelah berbicara dengan Mbak Siska, waktu itu Mas Riza langsung melaporkan kepada Management perusahaan bahwa saya bekerja tidak serius. Padahal itu hanya fitnah. Tapi sudahlah, Mbak. Itu masa lalu. Tidak usah diungkit kembali,” Reni tertunduk.

Sejujurnya akulah yang meminta agar Mas Riza memecat Reni, bagaimana pun caranya. Karena Reni telah menjelek-jelekan Mas Riza. waktu itu aku tersenyum ketika tahu Reni telah di PHK. Sekarang Reni datang ke rumah, ada apa ini? jangan-jangan Reni akan menuntut setelah tahu akulah yang membuat dia di PHK? Aku mencoba menerka. Hampir tujuh bulan yang lalu kejadian itu, tapi mengapa baru sekarang Reni datang? Hmmm ...

“Mbak, saya mau mengatakan sesuatu, dan saya harap, Mbak tidak marah,” suara Reni nyaris tidak terdengar.

“Tentang apa?” aku mencoba bertanya.

Reni hanya terdiam. Tangannya mengelus perut yang terlihat besar.

“Saya hamil, Mbak.” Kata Reni pendek.

Aku terdiam. Mencoba memandang perut Reni yang memang bembuncit. Dia hamil besar.

“Lalu, apa hubungannnya denganku?” aku mencoba menahan diri.

“Mas Riza yang melakukannya. Dia yang harus tanggung jawab,” Mata Reni memandang sayu. Air mata mulai menetes.

Aku terdiam. Tak ada kata yang bisa aku ucapkan. Dadaku serasa bergemuruh. Sekuat tenaga aku menahan emosi.

“Terus, mengapa baru sekarang kamu datang?” aku bertanya lagi.

“Mas Riza selalu berjanji akan menikahiku. Tapi dia bohong,” jawab Reni lagi.

“Dulu, sebelum Mas Riza berhubungan dengan Mbak Siska, saya sudah pacaran dengan Mas Riza. ketika saya berusaha mengatakan sesuatu tentang Mas Riza, Mbak Siska malah marah. Waktu itu saya takut dipecat dari perusahaan, jadi saya berusaha diam. Tadinya saya ingin mengatakan kalau saya sedang hamil, tapi Mbak Siska keburu marah,” sambung Reni, pelan.

Aku berusaha mengingat kejadian itu dan membenarkan kata-kata Reni. Aku terlalu marah, padahal Reni belum mengatakan semuanya tentang Mas Riza.

“Baiklah, Reni. Kita sama-sama perempuan. Aku minta maaf atas perlakuanku dulu hingga kamu dipecat dari perusahaan. Nanti, aku akan membicarakan masalah ini ke Mas Riza,” aku tersenyum. Berusaha menyembunyikan kekecewaan.

“Mbak Siska tidak marah?” tanya Reni sedikit bingung dengan sikapku.

Aku menggelengkan kepala. Tidak tahu apa yang harus aku katakan.

Tidak lama Reni bertamu, lalu meminta izin pulang.

“Sama sekali aku tidak marah, kamu jangan khawatir, Ren,” aku bangkit dari duduk dan memeluk Reni.

“Kita sama-sama wanita bodoh yang telah dikelabui oleh Mas Riza,” aku membisikkan kata-kata di telinga Reni.

Sepi. Aku sendiri duduk di ruang tamu. Aku mengait-ngaitkan kejadian tadi dengan segala yang ada di telepon genggam Mas Riza. SMS, foto, in-bok dan Video. Apa yang dikatakan Reni benar adanya.

“Jadi? kejadian yang diceritakan adikku, Arin?” aku mencari jawabannya sendiri dan menyimpulkan bahwa Arin tidak berbohong!

Dulu Reni telah mengatakan sesuatu tapi aku menganggapnya hanya iri. Tapi ternyata itu benar adanya. Malah Reni mengatakan jika dia bukan perempuan pertama yang pernah dirayu dan diperdaya. Banyak! Rata-rata mereka semua hanya bisa diam.

“Bajingan kau Mas!”

Hampir satu bulan Mas Riza mengikuti pelatihan. Hari ini, rencananya hari terakhir. Jika tidak ada halangan, nanti malam Mas Riza akan sampai di rumah.

Untuk Arin, untuk sementaraaku telah mengirimnya pulang ke rumah Ayah dan Ibu. Setelah sebelumnya aku menangis sejadi-jadinya dan berpelukan erat dengan adikku satu-satunya.

“Tok! ... tok! ... tok! ....”

Terdengar ketukan dipintu depan. Bergegas aku berdiri dari kursi. Setelah sebelumnya aku memastikan jika riasan yang memoles wajahku telah sempurna. Aku tidak mau Mas Riza kecewa, jika melihat tampilanku yang tidak cantik. Apalagi sudah satu bulan kami tidak bertemu.

Aku tersenyum setelah membuka pintu. Aku melihat dengan ujung mataku mobil warna merah melaju lambat meninggalkan halaman rumah, sejujurnya aku sudah tidak perduli dengan siapa Mas Riza pulang.

“Halo sayang, aku kangen kamu,” Mas Riza memeluk dan mencium keningku.

“Aku juga kangen, sangat kangen ...” aku memeluk Mas Riza dengan Erat.

“Masuk, Mas. Kamu pasti lelah. Aku sudah menyiapkan air hangat dan masakan spesial yang tidak akan pernah kamu temui lagi,” aku menarik lengan Mas Riza.

“kok sepi? Arin mana?” tanya Mas Riza matanya mencari-cari Arin.

“Oh, dia sudah tidur. Memangnya ada apa dengan Arin? “ aku berbohong dengan keberadaan Arin.

“Emm ... eh, tidak ada apa-apa. Aku hanya tanya saja,” jawab Mas Riza kikuk.

Setelah Mas Riza membersihkan diri, aku mengajaknya ke meja makan. Meja yang telah aku hias seindah mungkin.

“Wow, terima kasih, Sayang ... kamu memang baik. Tidak salah aku memilih kamu untuk menjadi istri. kamu cinta pertama dan terakhir. Cantik dan sangat perhatian. Aku sangat mencintaimu, dan semakin mencintaimu,” Mas Riza tersenyum. Matanya berbinar. Tapi bagiku, itu adalah senyum srigala dan tatapannya bagaikan setan yang penuh kemunafikan!

“Makanlah, Mas, aku khusus memasaknya untukmu.” --“Ayo, kita makan bareng,” ajak Mas Riza.

“Mas saja yang makan. Aku sudah kenyang.” Aku berusaha tersenyum.

Mas Riza menyendok nasi dan mengambil beberapa masakan. Aku memandangnya penuh harap, berharap Mas Riza makan banyak!

“Mas, boleh aku bertanya tentang beberapa hal?” tanyaku pada Mas Riza. setelah aku pastikan kalau Mas Riza sudah menyantap habis nasi dan masakan lainnya.

“Tentang apa?” Mas riza balik bertanya.

“Tentang telepon genggam warna merah yang tertinggal di saku celana,” kataku pelan.

“Uhuk!”

Mas Riza terbatuk.

“Apa? telepon warna merah? Kamu tahu apa tentang telepon itu? Di mana kamu menyimpannya? Kembalikan padaku!” Mas Riza terlihat panik. Wajahnya terlihat bingung.

Tak lama Mas Riza terjatuh dari kursi meja makan.

Mas Riza berusaha bangkit. Tapi ia terjatuh, berusaha untuk bangkit tapi terjatuh lagi.

“Bagaimana tentang Reni? juga perempuan lain yang pernah kamu gauli hingga hamil dan kamu campakkan begitu saja? apa jawabanmu, Mas?” tanyaku lagi masih dalam keadaan duduk. Emosiku mulai naik.

“Re ...Re ... Reni? Siapa Reni? Apa mak ... sud mu dengan perempun lain? A ... aku tidak menger ... ti,” jawab Mas Riza terbata-bata.

“Kamu masih mau menyangkal, Mas? Lalu? Apa yang telah kau lakukan pada adikku, Arin? Masih mau menyangkal juga?” aku bangkit dari duduk, mendekati Mas Riza dan sekuat tenaga menendang pelipisnya hingga terjungkal!

“Kamu bangsat Mas, tega memperkosa dan mengoyak masa depan adikku sendiri. Setelah sebelumnya kau hamili perempuan-perempuan lain, dan tadi ... tadi kau pulang dengan selingkuhanmu? Kau kira aku tidak tahu? Hah? Percakapan dalam telepon genggam warna merah telah membuktikan semuanya! Semuanya! Masih mau berbohong?” aku seperti kerasukan setan. Menjambak dan menendang. Terbayang wajah Arin, adikku yang telah hancur oleh kelakuan biadab suamiku sendiri!

“A ...greekk ... euuo ... gggrrr ....”

Ada sesuatu yang ingin Mas Riza katakan, tapi bagiku itu tidak penting.

“Bangun, Mas ... ayo bangun ... hahhaa ....” aku tertawa puas.

Tapi Mas Riza hanya terdiam seribu bahasa. Tak ada kata-kata yang keluat dari mulutnya. Hanya matanya yang melotot, memandang tajam padaku.

Darah mengalir dari dahi Mas Riza, begitu juga dengan mulut yang berbusa.

Santapan terakhir yang aku sajikan untuk Mas Riza, semuanya telah aku campur dengan racun tikus. Tikus? Ya ... Mas Riza tak ubahnya seperti tikus bagiku, begitu menjijikkan!

Setelah itu, semua sepi.

######

Tidak lama setelah kejadian itu, aku berbaring di sini. Memandang langit-langit sepi dan tembok berhiaskan jeruji besi.

“Ahhh,” aku menarik nafas panjang. Berusaha mengusir hampa dan mencari mimpi.

Rengasdengklok-08-03-17

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Woh luar biasa cerpennya kereenn, arti penting tentang hubungan antar personal

09 Oct
Balas

ah, saya masih belajar, Pa Mulya ... ya, betul. Pentingmya komunikasi dalam sebuah hubungan. .. terima kasih sudah mampir di lapak saya, pa Mulya ,,, salam kenal dari Kota Pangkal Perjuangan

09 Oct

ada namaku,hiiiiiiihiiiiiiiiii

09 Oct
Balas

hahaha ... Reni tanpa Y ... kumaha sagu sabu-na, Lancar?

09 Oct



search

New Post