Agus Suryadi

Anak bawang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian IX

Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian IX

HARI YANG TAK TERDUGA

Hari yang ditunggu telah tiba.

Seharusnya hari ini adalah hari yang menyenangkan dan membanggakan bagi Laisa. Bagaimana tidak?, tidak mungkin ada kesempatan kedua jika hari ini begitu saja terlewati.

Kota Jakarta sudah menanti kehadiran Laisa Salsabila Putri sebagai tamu istimewa. Dia adalah satu di antara ratusan anak yang mempunyai kebutuhan khusus, tetapi mempunyai bakat yang sangat istimewa. Hari ini ada duapuluh anak yang akan memamerkan karya lukisannya. Mereka datang dari berbagai kota yang ada di Indonesia. Bagaimanapun juga, hari ini adalah hari di mana bakat Laisa dalam melukis akan di perlihatkan. Ya, ada beberapa lukisan Laisa yang ikut dipamerkan. Dia terpilih mewakili Dinas Sosial Kabupaten tempat Laisa tinggal.

Aku benar-benar bahagia dengan keikutsertaan Laisa dalam acara ini. Jauh-jauh hari sudah mempersiapkan keperluan selama Laisa berada di Jakarta nanti. Karena pihak sekolah mempercayakan aku untuk menjaga selama Laisa ada di sana. Begitu juga dari pihak Dinas Sosial yang meminta aku untuk menjadi pendamping Laisa selama di jakarta. Mungkin karena aku guru kelas Laisa, sehingga mereka percaya padaku.

Jujur saja, aku merasa bangga mempunyai siswa seperti Laisa. Di balik kekurangan yang nyaris sempurna secara mental, tetapi Laisa mempunyai bakat yang sangat istimewa. Tentunya jika dibandingkan dengan anak-anak yang senasib dengan Laisa.

Tetapi hari ini bukan hari keberuntungan bagi Laisa. Tiba-tiba saja, dua hari yang lalu badan Laisa panas. Setelah diperiksa ke dokter, ternyata Laisa terkena gejala deman berdarah. Dokter meminta agar Laisa istirahat minimal tiga hari, atau sampai dia benar-benar kuat untuk beraktifitas seperti biasa. Jelas ini kabar yang sangat tidak menggembirakan.

Aku sangat kecewa!.

Padahal ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk Laisa. Aku berpikir bahwa acara ini nantinya akan membuat Laisa merasa lebih percaya diri dan mandiri. Karena dia ternyata tidak sendiri di dunia ini. Bahwa sangat banyak Laisa-Laisa yang bernasib sama. Memiliki kekurangan yang tentunya bukan untuk ditutup-tutupi keberadaannya.

Karena keyakinanku bahwa dunia ini tidak bertirai. Tidak ada sekat pemisah antara yang normal secara fisik dan yang berkebutuhan khusus seperti Laisa. Semua sama. Mungkin yang membedakan hanyalah dari segi kemampuan saja. Selebihnya sama. Sama-sama mempunyai kesempatan dan hak dalam segi apa pun.

Satu hari sebelumnya, aku berkunjung ke rumah Laisa. Untuk memastikan jika Laisa akan baik-baik saja. Tapi yang aku temui, suhu tubuh Laisa malah semakin panas. dokter menyarankan Laisa untuk dirawat di rumah sakit. Aku benar-benar kaget dengan kabar itu.

“Kemaren, Mbok tanya sama bu dokter Reni. Katanya Laisa harus dirawat di Rumah sakit. Tapi Mbok bingung. Kalo dirawat, nanti siapa yang mau jagain Laisa selama di rumah sakit? Terus biayanya juga pasti mahal. Mbok ndak punya duit buat bayar rumah sakit,” kata mbok Darmi.

“Tapi kalo ndak dirawat, nanti Laisa malah tambah sakit. Mbok ndak kasihan apa liat Laisa sakit begini?” tanyaku pada mbok Darmi.

Mbok Darmi hanya terdiam.

Matanya berkaca-kaca memandang Laisa yang tidur pulas di kasur yang sudah lepek.

“Mbok kasian liat Laisa. Tapi mau gimana lagi? Mungkin kalau ibu dan bapaknya Laisa dulu tidak menyia-nyiakannya, Laisa tidak mungkin akan sengsara dan hidup susah seperti ini. Mbok ndak bisa membahagiakan Laisa. Mbok orang miskin. Untuk beli obat saja Mbok harus banting tulang. Andai saja ada keajaiban dan orang tua Laisa berubah pikiran pada waktu itu, ndak mungkin Laisa akan bernasib seperti Mbok. Hidup susah!” air mata mbok Darmi membasahi pipi keriputnya.

Jujur saja, aku ikut menangis.

Aku paling tidak kuat jika melihat seorang wanita menangis. Apalagi wanita ini adalah wanita yang menurut aku berhati mulia dan sangat berprikemanusiaan.

Aku pandangi wajah mbok Darmi. Terlihat wajah tua yang sangat lelah. Dia sudi mengasuh anak bekas majikan yang telah mebuang begitu saja buah hatinya.

“Mbok Darmi, boleh saya tanya sesuatu sama Mbok?” aku coba memecah suasana sedih.

Mbok Darmi menyeka air matanya. Terlihat matanya yang mulai dibingkai kelopak keriput.

Mbok Darmi menghela napas panjang.

“Pak Guru mau tanya apa?”

Mbok Darmi masih ingat di mana tempat tinggal Laisa? Maksud saya ... tempat tinggal orang tua Laisa?”

Mbok Darmi terdiam. Matanya lurus menatap mataku. Terlihat tatapan penuh heran.

“Memangnya kenapa, Pak Guru?” tanya mbok Darmi.

“Hanya ingin tahu saja Mbok,” jawabku ambil tersenyum.

“ ... mmm ... yang Mbok ingat, Laisa dulu tinggal di Jakarta. Alamat lengkapnya mbok ndak tau.”

“Terus, yang dulu ngajak mbok Darmi kerja di Jakarta, siapa?” tanyaku lagi.

“Mbok Darmi dulu diajak sama Sumiatun, teman satu kampung sama Mbok. Sumiatun sudah lama kerja di Jakarta. Mbok diajak sama Sumiatun ke Jakarta, katanya ada yang butuh pembantu rumah tangga. Ya ... Mbok ikut saja ke Jakarta. Jadi pembantu.”

“Terus, sekarang Sumiatun-nya masih ada? Atau ....”

“Sumiatunnya-nya sekarang sudah meninggal. Kecelakaan waktu di jakarta.”

“Lantas? Mbok masih inget dong, terakhir sekali mbok meninggalkan kota jakarta, sambil membawa Laisa ... itu di daerah mana?” aku terus memburu jawaban mbok Darmi.

“Ya itulah. Mbok dianter ke stasiun sama mamahnya Laisa. Ya sudah, mbok naik kereta, pulang ke kampung sambil bawa Laisa. Mbok ndak tau ... ndak inget nama stasiunnya.”

Aku hanya menganguk-angguk.

“Tapi Mbok inget nama majikan mbok? Bapak-nya Laisa?” tanyaku lagi.

“Mbok inget. Pak Harun, Mbok biasa memanggil tuan Harun.”

Terlihat wajah mbok Darmi tercekat ketika menyebut nama tuan Harun. Sepertinya aku telah membuka memori mbok Darmi tentang siapa keluarga Laisa.

“Mereka berdua sangat baik. Tetapi sejak kelahiran Laisa, dan tahu jika Laisa tidak normal seperti anak yang lainnya, tuan Harun dan nyonya jadi sering bertengkar. Mereka sepertinya ndak mau punya anak seperti Laisa. Terutama nyonya Harun yang sama sekali tidak mau mengurus Laisa. Sepertinya dia jijik dan menyesal melahirkan dan mempunyai anak seperti Laisa. Padahal Laisa adalah anak pertama mereka. Mbok ndak mengerti, kok ada seorang ibu yang tega seperti nyonya. Ya ... pada akhirnya, mbok disuruh pulang kampung sambil bawa Laisa yang waktu itu masih kecil. Sampai sekarang Laisa sebesar ini, ndak pernah lagi melihat wajah ayah dan ibunya. Kasihan sekali anak ini,” mata mbok Darmi kembali berkaca-kaca.

Diciumnya kening Laisa yang masih terlelep dengan penuh kasih. Seolah ia adalah cucunya sendiri.

Aku terdiam.

“Sejak kecil sampai akhirnya Laisa mbok bawa pulang ke kampung, Laisa selalu tidur bareng mbok. Nyonya Harun sudah ndak perduli lagi. Tapi kadang tuan Harun suka datang ke kamar kalau malam hari dan melihat Laisa. Sepertinya tuan Harun sayang sama Laisa, tapi dia takut sama nyonya. Nyonya Harun galak!” kata mbok Darmi lagi.

“Nyonya Harun. Orang yang sangat tidak berhati manusia.” Bisik hati kecilku.

Kami berdua terdiam.

Aku memandang tubuh Laisa yang tetap berbaring. Laisa tertidur sangat nyenyak.

“Maafkan Bapak, Laisa. Mungkin hanya Bapak yang akan pergi ke Jakarta untuk menghadiri pameran lukisan. Mewakili Laisa yang sedang sakit. Karena hal yang sangat tidak mungkin mengajak Laisa ke Jakarta dalam keadaan sakit seperti ini. Tapi kamu jangan khawatir. Bapak akan membawa cerita indah dan menyenagkan tentang suasana pameran untuk Laisa.”

“Bapak harap Laisa cepat sembuh. Atau mudah-mudahan saja besok ada keajaiban dari yang Maha Kuasa yang dan memberikan kesembuhan untuk Laisa, supaya besok bisa ikut ke Jakarta,” Kataku dalam hati.

Kuusap rambut Laisa yang lembut.

Engkau anak hebat Laisa. Mampu menghadapi hidup yang tentu saja bagimu sangat tidak adil. Tetapi apa boleh buat? Kamu tidak bisa melawan takdir.

Kulihat Laisa tersenyum.

Mungkin dia sedang bermimpi indah. Entahlah. Yang pasti, aku akan membawa dua buah hati untuk menghadiri pameran esok hari. Satu hatiku dan satu lagi adalah hati Laisa Salsabila Putri. Aku berharap jika pun raga Laisa terbaring sakit, tapi hatinya dapat ikut menyaksikan hasil jerih payahnya dinikmati ratusan pasang mata yang dengan bangga melihat hasil lukisannya.

“Aku pamit dulu mbok. Sampaikan salam saya untuk Laisa,” aku berpamitan pada mbok Darmi. Kurogoh saku celanaku. Ada beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan seratus ribuan. Kuberikan pada mbok darmi.

“Untuk tambahan beli obat,” kataku.

“Oh iya, Pak guru. Terima kasih sudah mau menengok Laisa.”

“Iya Mbok. Aku permisi dulu ... assalamualaikum ....”

“Waalaikumssalam.”

Aku pergi meninggalkan rumah mbok Darmi. Rumah yang sangat sederhana. Rumah yang berisi dua manusia berhati besi. Kuat dan tegar.

Jika aku menjadi mbok Darmi, mungkin aku sudah rapuh dan terjatuh.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sungguh sangat menyentuh hati. Jadi terenyuh. Kisah nyata kah. Sukses selalu dan barakallahu fiik

13 Dec
Balas

kisah fiktip, bunda. terima kasih sudah mau mampir dan membaca di beranda saya ... terima kasihhhh

14 Dec



search

New Post