Agus Suryadi

Anak bawang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian X

Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian X

RUANG KEBANGGAAN

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan, akhirnya sampai juga di tempat acara pameran lukisan berlangsung.

Sengaja ikut rombongan dari Dinas Sosial, mengingat jika harus pergi dengan menggunakan kendaraan umum, mungkin akan memakan waktu lebih lama lagi. Apalagi aku pergi tanpa Laisa, seharusnya dialah yang menjadi pemeran utama dalam rombongan ini. Tapi apa mau dikata? Sakit yang membuat Laisa tidak bisa menghadiri pameran lukisan ini. Benar-benar kejadin yang amat tidak terduga.

Hampir jam delapan pagi rombongan kami baru sampai di tempat acara. Kami datang berempat: Aku, pak Prabu, Pak Sundana dan Pak Fatah.

Rombongan kami langsung mendatangi tempat di mana pameran diadakan yaitu Gedung Budaya Chandra yang berada di Jakarta Selatan. Gedung megah dengan arsitektur sangat indah.

Setelah mobil terparkir, kami turun.

“Wah! Lumayan ramai juga ya? Itu ... banyak sekali mobil yang terparkir. Saya tidak menyangka jika akan seramai ini,” kata pak Prabu.

“Iya juga, mungkin karena ini acara yang bekerja sama dengan pihak terkait ... seperti Rumah Sakit, dan Dinas Kesehatan, jadi acara ini menjadi ramai. Apalagi lukisan para peserta juga akan dilelang dan hasilnya akan disumbangkan untuk anak-anak istimewa, jadi mungkin juga banyak para dermawan dan para pejabat penting yang di undang,” kata pak Sundana menimpali.

Aku hanya bisa tersenyum. Jujur saja, di dalam hatiku yang paling dalam, ada rasa bangga yang tidak bisa diungkapan dengan kata-kata.

“Andai saja Laisa dapat hadir di sini, dan menyaksikan betapa hebatnya acara ini,” bisikku dalam hati

Kami berjalan memasuki pintu masuk gedung. Terpampang spanduk besar dengan kata-kata yang sangat jelas terbaca “PAMERAN LUKISAN ANAK ISTIMEWA” aku terharu membaca tulisan dalam spanduk itu. Laisa Salsabila Putri adalah salah satu anak istimewa. Aku tersenyum, tak terasa air mata menetes. Air mata kebahagiaan.

Kami berjalan memasuki gedung pameran. Setelah mengisi daftar tamu di meja panitia, kami pun memasuki gedung pameran.

Ada yang lebih luar biasa lagi ketika kami memasuki gedung. Orang-orang berlalu lalang, terlihat dari cara berpakain, aku yakin mereka adalah dari kalangan yang berada. Di antara orang yang berlalu lalang juga tampak anak-anak yang tersenyum manis berjalan di antara para tamu. Wajah mereka hampir sama, mirip dengan Laisa. Ya ... mereka mempunyai wajah yang hampir mirip dengan Laisa.

Mereka seperti Laisa. Tetapi mungkin nasib mereka tidak sama dengan Laisa. Mereka lebih beruntung mempunyai orang tua yang baik dan bertanggung jawab.

Ada banyak sekali lukisan yang terpajang di dinding gedung. Lukisan yang tertata rapi dengan bingkai yang sangat indah. Dengan tata lampu yang indah pula, sehingga menambah kesan istimewa.

Lukisan tangan anak-anak dengan gaya yang berbeda.

Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan tamu undangan. Setiap dinding yang terpasang lukisan tak luput dari sapuan pandangku. Aku mencari lukisan Laisa. Setelah cukup lama mencari, akhirnya aku dapat menemukan lukisan Laisa. Aku berjalan mendekati lukisan karya Laisa.

Terpajang dengan bingkai indah warna keemasan, lukisan sederhana Laisa menjadi tampak sangat indah. Lukisan wajah seorang perempuan cantik, yang dia sebut sebagai ibu. Tergores dengan begitu indahnya, terlihat aura kerinduan dari dalam lukisan Laisa. Aku menatap lukisan dengan penuh rasa tak percaya. Semakin lama aku memandang, semakin aku terbawa dalam suasana rindu yang mendalam.

Mataku tertuju pada kertas tebal kecil yang berisi biodata dan Foto Laisa. Di bawah lukisan juga tertera harga lukisan. Laisa salsabila Putri, dengan foto setengah badan. Wajah dalam foto itu terlihat tersenyum cantik. Ada harga yang tertera: sepuluh juta rupiah.

“Sepuluh juta rupiah?” kataku pelan. Seakan tidak percaya.

Ada tiga lukisan Laisa dalam pameran ini. Dan setiap lukisan berharga sepuluh juta rupiah.

“Berarti tiga lukisan menjadi tiga puluh juta rupaih!” kataku lagi.

Ada yang membuat aku lebih kaget lagi setelah membaca tulisan di bawah biodata Laisa.

--TERJUAL—

Itu artinya lukisan Laisa telah laku terjual. Tidak hanya satu, tetapi ketiga lukisan Laisa telah terjual.

Aku benar-benar tidak percaya!

Begitu juga dengan pak Fatah, pak Prabu dan pak Sundana yang ternyata juga telah berada di dekatku. Mereka terlihat takjub. Padahal pameran belum dua jam di buka oleh panitia.

Setelah aku puas memandang lukisan Laisa aku sengaja memisahkan diri dengan rombongan.

“Saya ingin berkeliling arena pameran pak Prabu, boleh?” kataku pada pak Prabu.

“Oh silahkan, Pak, nanti jam dua belas siang, kita bertemu kembali di masjid. Sekalian setelah shalat dzuhur kita makan siang bersama. Silahkan Bapak berkeliling pameran,” kata pak Prabu.

Kami pun berpisah. Aku melanjutkan berkeliling arena pameran menyaksikan hasil lukisan anak-anak yang terpajang di tembok gedung.

Lumayan lelah juga berkeliling, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia. Sengaja aku memilih tempat duduk di dekat lukisan Laisa.

Untuk sekedar melepas lelah, mataku terus menatap lukisan-lukisan peserta pameran.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post