Agus Suryadi

Anak bawang...

Selengkapnya
Navigasi Web
LITERASI DENGAN CARA MENGOBROL DI AWAL PEMBELAJARAN, KENAPA TIDAK?

LITERASI DENGAN CARA MENGOBROL DI AWAL PEMBELAJARAN, KENAPA TIDAK?

Kesukaan akan menulis ternyata terbawa ketika saya masuk ke SMU. Sama halnya ketika saya mengelola majalah dinding bersama-sama teman di SMP, di SMU saya kembali mengelola majalah dinding di bawah naungan OSIS. Kebanyakan karya tulisan yang mengisi halaman majalah dinding yang saya kelola adalah tulisan saya. Walaupun tulisannya tidak terlalu bagus dan jauh dari sempurna.

Alhamdulillah, kesukaan dalam menulis tidak padam begitu saja. Setelah Allah SWT yang maha baik mengabulkan doa saya untuk menjadi seorang guru terkabul, kesukaan saya akan menulis tetap menggebu. Saya terus menulis walau tulisan saya tetap belum sempurna seperti tulisan pada umumnya.

Saya suka menulis dongeng dan cerita pendek anak. Dari hobi saya ini, saya mencoba menerapkan pada pembelajaran ketika saya berada di dalam kelas.

Ketika anak-anak selesai melaksanakan kegiatan rutin di pagi hari seperti berbaris, berdoa, memberi salam dan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dengan dipimpin oleh ketua murid, maka saya akan memulai dengan obrolan sederhana tentang kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar, entah tentang keluarga, sekolah, teman, atau berita terhangat.

Saya akan memancing dengan satu cerita, misalnya tentang ruginya jika anak malas sekolah. Akibat yang akan dialami jika kita malas sekolah. Saya akan membebaskan anak-anak bertanya dan memotong pembicaraan saya, dan pertanyaan dari anak akan saya lemparkan kembali kepada anak yang lain. Biasanya kelas akan riuh dengan perdebatan sederhana. Anak-anak saya bebaskan mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Setelah saya rasa cukup, maka saya akan menyimpulkan hasil dari pembicaraan pagi hari, sebagai pembuka awal pembelajaran. Ini biasanya berlangsung sekira duapuluh menit.

Tentunya, masalah yang saya lemparkan kepada peserta didik adalah masalah aktual yang berkaitan dengan pembelajaran yang akan mereka terima di jam pelajaran berikutnya, karena kebetulan sekolah kami menggunakan K-13 Sebagai kurikulum di sekolah. Manfaat yang saya rasakan ketika saya menggunakan cara “mengobrol” di awal pembelajaran adalah, peserta didik menjadi lebih dekat dengan guru, dan mereka tidak merasa canggung atau takut ketika mengemukakan pendapat, cenderung lebih terbuka, berani mengangkat tangan dan tentu saja mempersempit jarak antara guru dengan peserta didik dan kadang mengeluarkan ide-ide yang di luar dugaan. Banyak anak yang awalnya pendiam setelah dirangsang dengan cara “mengobrol” mereka mulai berani berbicara walaupun kadang yang mereka ungkapkan hanya beberapa kalimat pendek, yang penting mereka sudah mulai berani berbicara, tidak hanya menjadi peserta didik yang pasif ketika berada di dalam kelas.

Banyak guru yang asik dengan kebiasaan lama, hanya mencatat, menjelaskan lalu memberi tugas kepada peserta didik tanpa memberikan waktu untuk mendekatkan diri dengan peserta didiknya. Kadang guru sibuk dengan administrasi yang harus di isi tanpa memperdulilkan apakah peserta didik mempunyai masalah belajar. Yang penting tugas menyampaikan pembelajaran, setelah itu selesai.

Padahal dengan mengobrol dan berdiskusi walau hanya hal yang sangat sederhana, guru bisa mengorek informasi tentang kelakuan peserta didik ketika mereka berada di luar lingkungan sekolah, walaupun ketika peserta didik berada di luar lingkungan sekolah bukanlah tanggung jawab guru atau pihak sekolah, tetapi imbasnya adalah kita sebagai guru akan terkena dampaknya.

Kembali kepada hobi saya membuat dongeng dan bercerita. Biasanya kegiatan mendongeng atau bercerita dilaksanakan setiap hari sabtu minggu terakhir setelah jam istirahat. Biasanya cerita atau dongeng yang saya bawakan adalah cerita atau dongeng baru hasil karangan saya sendiri yang kebetulan sudah dibukukan. Walau kadang juga cerita yang saya dapat dari buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah atau cerita yang sebelumnya mereka dapatkan dari orangtuanya menjelang tidur pada waktu malam hari.

Cerita yang saya bacakan kepada peserta didik adalah cerita yang masih segar dan belum pernah mereka dengar sebelumnya. Tokoh-tokoh yang berada dalam cerita yang tulis dan saya ceritakan biasanya akan saya beri nama dengan nama siswa yang ada di dalam kelas. Beberapa peserta didik akan menjadi tokoh dalam cerita dan berperan seperti wayang yang saya gerakan tangan dan kepalanya ketika ada dialog atau gerakan-gerakan tubuh lainnya. Suaranyapun saya yang mengisi. Seolah-olah mereka berperan bagaikan tokoh yang berperan di atas panggung.

Semua siswa sangat antusias dan berebut ingin menjadi tokoh dalam cerita atau dongeng, apalagi jika cerita yang dibawakan adalah cerita fabel. Suara tawa mereka akan pecah jika tokoh yang berperan terlihat malu-malu dan kaku dalam melakukan adegan. Saya biasanya akan memilih peserta didik yang pemalu dan jarang berbicara di dalam kelas.

Tentu saja ini adalah cara saya agar peserta didik yang pemalu dan jarang tampil di depan kelas bisa tampil ke depan walau hanya menjadi pemeran wayang dalam cerita atau dongeng yang saya bawakan. Setelah selesai mendongeng dan memerankan adegan, maka tugas selanjutnya adalah anak akan mendapat tugas untuk menulis ulang dongeng yang telah mereka dengarkan dengan kata-kata mereka sendiri dan membacakan hasil tulisan mereka di depan kelas. Jujur saja, jika anak harus membaca secara langsung, biasanya anak akan malas dengan alasan membaca adalah hal yang sangat membosankan.

Dengan cara mendengarkan terlebih dahulu lalu menulis ulang, anak akan terangsang daya imajinasinya. Setelah selesai menulis dengan kata-kata sendiri, dilanjutkan dengan membaca hasil karangannya di depan kelas secara bergiliran. Malah kegiatan ini pernah saya lakukan di luar kelas, di tempat terbuka dengan harapan anak akan mendapatkan pengalaman yang berkesan.

Harapan saya dalam pembelajaran yang saya terapkan di dalam kelas, dengan cara “mengobrol” di dalam kelas setiap pagi walau hanya hal yang sederhana, dan bercerita tentang dongeng yang tentunya berisi nasihat-nasihat adalah ingin menumbuhkan rasa dekat antara peserta didik dengan guru. Menghilangkan kesan bahwa sekolah itu membosankan. Ingin menjadikan peserta didik bukan hanya sebagai peseta didik seutuhnya, tapi ingin menjadikan peserta didik sebagai teman, sebagai orang tua dan sosok guru tidak menakutkan dengan tugas-tugas yang menumpuk ketika berada di dalam kelas. Ingin juga menjadikan kelas sebagai rumah kedua bagi peserta didik dan terakhir yang ingin saya dengar dari peserta didik saya adalah, tidak menjadikan pergi ke sekolah adalah karena kewajiban, tetapi ingin menciptakan bahwa pergi ke sekolah adalah hobi dan kesukaan.

“Besok, Bapak cerita apalagi ya?” --- dan anak-anakpun dengan senang hati akan bangun pagi dan berangkat ke sekolah tanpa paksaan.

Rengasdengklok, akhir Januari 2010

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terbayang deh, Pak Guru bercerita. Tidak akan jauh berbeda dari tulisan. Pasti endingnya geli. Diisi kelaspun hah haa

23 Feb
Balas

Sangat menginspirasi Pak.

01 Feb
Balas



search

New Post