Agustus Magribi

Agustus Magribi, S.Pd. lahir di Jakarta, 28 Agustus 1970. Memperoleh gelar sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Jakarta tahun 1995. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DALAM HATI CINTA SELALU BERSEMI#Tantangan Menulis Gurusiana Hari Ke-10

Gerimis pagi masih juga turun. Aku jadi segan ke mana-mana, padahal aku ada rencana ke rumah Via. Hari ini, Lion akan kembali dari acara kempingnya itu. Meskipun dengan langkah segan, akhirnya aku menelepon Via.

Tapi rupanya penghuni rumah Via pergi semua, yang menerima pun hanya pembantu. Dia bilang kalau Via sudah berangkat ke rumah Lion. Sehingga dalam keadaan malas begini, aku jadi semakin bingung dan kesal.

Kenapa Via tidak menelepon aku lebih dulu dan memberi tahu kalau dia akan ke rumah Lion sendirian? Padahal dia pasti tahu, kalau aku tidak tahu di mana rumah Lion itu. Tapi untunglah, aku memperoleh alamat Lion setelah aku membuka-buka note.

Aku berusaha mencari-cari rumah Lion. Bukan karena apa-apa, tapi entah mengapa, aku punya perasaan tidak enak. Sekilas wajah Lion terus membayangi setiap putaran otakku. Aku gelisah, aku mencemaskan Lion!

Taksi berwarna biru muda yang aku naiki berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah di kawasan Cibubur. Supirnya memberi isyarat dengan menunjukkan nomor rumah, lalu aku menyamakan dengan yang tertulis dalam note kecil. Aku mengangguk, dan segera membayar argonya. Lalu dengan sedikit ragu, aku turun, membuka payung dan menghampiri pagar tinggi itu untuk mencari bel rumah.

“Rizky, sori banget, aku nggak bilang-bilang ke kamu. Soalnya…, ada kabar kalau lokasi yang digunakan Lion dan teman-temannya itu longsor!” ucap Via ketika aku tiba di beranda.

“Apa?”

“Longsor, Ky,” ucap Via bergetar.

Aku menggigit bibirku. Kudekati Via, apa yang aku khawatirkan sejak semalam, ternyata kini ada benarnya.

“Dari mana kamu tahu, Vi?”

“Kamu nggak nonton tivi?”

“Nggak,” ucapku lemah. “Perasaanku nggak enak.”

“Berarti kamu punya firasat.”

“Ya, aku sangat takut, Vi.”

“Sama, Ky.”

“Semalam aku mimpi, Vi,” akhirnya aku tidak dapat menyembunyikan apa yang menjadi dasar ketakutanku ini, Via menatapku. “Aku ngeliat Lion tersenyum kepadaku. Tapi bukan senyum yang biasa sering kita lihat sehari-hari, Vi. Ada yang aneh, entah apa, aku nggak tahu.”

“Apakah berarti…?”

“Aku nggak tahu, Vi.”

Via dan aku terdiam, beranda pun menjadi sepi.

“Orang tua Lion tahu kejadian ini?” tanyaku.

“Ya.”

“Ada di rumah ini?”

“Nggak. Begitu mendengar kejadian itu, mereka langsung pergi ke Bogor.”

“Sebenarnya mereka punya perhatian juga sama Lion, ya,” gumamku.

“Ya, sebenarnya memang begitu. Mereka sangat menyayangi Lion, anak semata wayangnya. Mungkin hanya waktu aja yang menjadi jarak di antara mereka.”

“Mereka udah akur lagi?”

“Udah lama, semenjak Lion masuk rumah sakit.”

“Tapi kok setiap aku ada di rumah sakit waktu itu, mereka nggak pernah menjenguk Lion sama-sama?”

“Yah…kayak yang aku bilang tadi. Waktu yang memisahkan mereka, Ky.”

Aku mengangguk mengerti. Dalam hati aku bersyukur, semoga saja kelanggengan papa dan mama Lion akan semakin membuat Lion berubah. Karena memang tidak semestinya hanya orang tua saja yang menjadi alasan, menjadi bahan tudingan kerusakkan tingkah laku anaknya. Tetapi juga pribadi anak itu sendiri yang harus berubah, karena kalau bukan diri sendiri yang berubah, orang lain tidak akan pernah bisa merubah.

Dari pagi sampai tengah hari lewat, aku dan Via tidak banyak bicara lagi. Aku semakin gelisah, Via sesekali mencoba menelepon ke rumahnya. Dia ingin tahu, apakah orang tuanya sudah kembali dari Pandeglang, atau belum. Tapi sampai pukul satu siang ini, kedua orang tuanya itu belum pulang juga. Padahal Via ingin menceritakan tentang kejadian ini.

“Mungkin Papa dan Mama sudah tahu, Vi,” ujarku seraya melipat ruku seusai sholat dhuhur. “Kata kamu kejadian itu diberitakan di tivi?”

“Benar juga, ya? Tapi, Ky, aku makin takut nih.”

“Ya sudah, nih, kamu sholat dulu. Terus berdoa, Allah pasti kasih jalan sama kita semua.”

Via mengangguk, lalu menyambut ruku yang aku sodorkan.

Langit Barat sekarang telah bersemu merah bara, namun tetap rintik hujan tidak reda juga. Bias-bias cahaya yang tersentuh rinai hujan yang tipis-tipis itu membentuk setengah lingkaran pelangi warna-warni.

Aku dan Via kembali ke beranda. Menghabiskan secangkir coklat hangat dengan pikiran dan hati yang gelisah.

“Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini, Ky,” keluh Via.

“Sama, Vi.”

“Aku takut terjadi apa-apa sama Lion.”

“Mudah-mudahan yang kita takutkan ini nggak terjadi.”

“Ya,” angguk Via, lalu kembali terdiam.

Aku berkata begitu sebenarnya bukan hanya ditujukan pada Via dan berusaha menenangkan hatinya saja, tapi juga pada hatiku. Aku tidak dapat menutupi hati dan pikiranku kalau semuanya ini tercurah hanya untuk Lion. Aku juga cemas dan takut, takut terjadi apa-apa pada Lion. Dan kupikir, aku belum sanggup andai saja harus terjadi sesuatu yang kami takutkan itu.

“Ky, kenapa belum juga ada kabar dari Bogor, ya?”

“Mungkin masih sulit untuk mengevakuasi lokasi itu. Hujan ini nggak berhenti juga.”

“Ya, andai hujan ini berhenti,” gumam Via. “Ky, kamu nggak merasakan sesuatu?”

“Tentang apa?”

“Kekuatiran.”

“Ya, aku juga kuatir akan Lion, Vi.”

“Kamu nggak merasa akan kehilangan dia?”

“Tentu aja, Vi.”

“Kamu menyukai Lion, Ky?”

“Via….”

“Jawab yang jujur, Ky.”

“Aku rasa nggak tepat kalau kita ngomongin hal ini sekarang, Vi.”

“Kenapa nggak? Kalau terjadi sesuatu pada Lion, tentu dia akan lebih bahagia kalau ternyata ada orang yang mencintai dia.”

“Via, jangan ngomong kayak gitu!”

“Aku begitu menyayangi Lion, Ky. Dia satu-satunya sepupuku yang paling dekat sama aku. Dia ingin berubah, ingin meninggalkan semua keburukkannya. Dan itu semua dikarenakan kamu, Ky!”

“Via.”

“Aku belum pernah menemukan kesungguhan dalam diri Lion, selain waktu menyatakan bahwa dia menyukai kamu.”

Aku membisu. Entah untuk keberapa kalinya Via mengatakan hal ini. Kemudian aku menatap Via lekat-lekat.

“Kamu menyukainya juga kan, Ky?”

“Aku nggak tahu,” jawabku gamang.

Via menatapku tajam. Aku tahu, Via masih mengharapkan lanjutan jawabanku. Tapi aku tetap tidak ingin meneruskan kata-kataku. Aku sendiri merasa kalau aku mempunyai getar-getar aneh dalam dadaku setiap memandang Lion akhir-akhir ini. Namun aku tidak tahu apa yang aku rasakan ini, sehingga aku selalu membiarkan gejolak dalam dadaku ini tidak terjawabkan.

“Rizky!” pekik Via.

Aku terkejut mendengar suara Via yang meninggi itu, apalagi Via langsung berdiri. Matanya membulat, bibirnya gemetar.

“Ky.”

Aku akhirnya mengikuti arah sorot matanya. Dan betapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Mungkin keterkejutanku itu sama seperti yang Via rasakan.

“Lion,” ucapku ragu dengan tatapan nanar, wajahku terasa panas. Air mataku terasa mendesak.

Kini Via ada di sampingku, menggenggam erat-erat tanganku. Aku juga berbuat sama, bahkan aku merengkuh bahu Via. Kutatap wajahnya yang sudah bersimbah air mata.

“Lion.”

Akhirnya tanpa kusadari, aku kembali memanggil nama Lion bersamaan dengan Via. Kami pun menghambur pada sosoknya yang jangkung.

“Ada apa nih?”

Aku tidak menjawab. Aku begitu gembira melihat Lion lagi, mendengar suaranya lagi. Sementara Via sudah terisak dalam rengkuhan Lion.

“Ky?”

“Kami kuatir sama kamu, Lion.”

“Kenapa?”

“Memangnya kamu nggak tahu kalau tempat kamu berkemah itu longsor?”

“Emh,” geleng Lion.

“Orang tua kamu ke Bogor, nyusul kamu. Mereka cari informasi tentang longsor itu.”

“Papa dan Mama?”

“Ya.”

Lion menarik napasnya, ”Via, udah deh, aku sehat-sehat aja kok. Toh aku udah janji sama kalian, terutama kamu, Ky, kalau aku akan hati-hati dan akan kembali ke hadapan kamu.”

“Lalu gimana kamu bisa selamat? Padahal dalam berita, bencana itu ada korbannya,” ucap Via di sela tangisnya.

“Kita duduk dulu, ya, biar tenang.”

Via mengangguk, sementara aku sudah akan melangkahkan kaki saja. Tapi tangan Lion telah memegang tanganku, hingga aku ada di sampingnya. Dan kami jadi berjalan beriringan, kembali ke beranda.

“Gimana, Lion, ceritanya?” tanya Via tak sabar.

Lion tersenyum, membuat dadaku berdegup keras. “Tuhan masih sayang sama aku. Mungkin Dia masih memberi kesempatan sama aku untuk mencicipi perubahan hidupku ini. Waktu itu sebenarnya aku udah nyampe di lokasi itu, tapi Farid kemudian mengusulkan satu tempat yang lebih nyaman daripada harus berkemah.”

“Maksudmu?”

“Kami menginap di villanya Farid. Dan ternyata emang lebih enak. Segalanya tersedia dan kami nggak perlu susah-susah. Ah, kalau aja aku nggak inget janjiku sama kalian dan sekolah, aku pasti udah mau menginap lagi di sana.”

“Berarti nggak jadi sekaligus latihan fisiknya?” tanyaku setelah merasa perlu kalau pembicaraan harus dijauhkan dari cerita tentang bencana longsor itu.

“Tetap jadi dong. Di villa itu kan hanya untuk tidur aja. Pagi dan siangnya, barulah kami hiking. Tempatnya sangat bagus, Ky, dekat dengan perkebunan teh. Belum lagi hutan pinus yang menghijau. Wah, serasa nggak mau pulang deh kalau udah ada di sana. Bahkan kami punya rencana lagi untuk ke sana,” ucap Lion dengan senyum. Lalu dia bangkit dari duduknya, “Aku mau mandi dulu, ya.”

Aku dan Via membiarkan Lion berlalu masuk ke dalam. Dari beranda, aku mendengar suara kegembiraan para pembantu, tukang kebun, dan supir pribadi di rumah ini menyambut Lion.

Aku menghembuskan napas lega, lalu mendekati Via dan menggenggam tangannya.

“Bersyukurlah, Vi, dia selamat.”

Via mengangguk dan tersenyum, “Pasti kamu yang lebih bersyukur lagi, kan?”

Aku hanya tersenyum saja, membuat Via semakin menjadi-jadi mengolok diriku. Sampai akhirnya dia teringat untuk menelepon lagi ke rumahnya. Aku tetap duduk di beranda sambil menghabiskan coklat hangat yang mulai mendingin itu. Lalu aku lihat Via keluar lagi, masih dengan senyum di wajahnya meskipun di sekitar matanya masih terlihat sembab.

“Ky, masuk yuk.”

“Ada apa?”

“Tahu nggak, ke mana kita harus menghubungi orang tua Lion di Bogor?” tanya Via ketika kami telah duduk di depan televisi, di ruang keluarga.

“Nggak tahu, tapi biasanya kalau ada kejadian kayak gini, tempat yang jadi pusat informasi adalah….”

“PMI Bogor!”

Aku terdiam, ucapanku dipotong seperti itu oleh Lion. Kemudian aku menoleh padanya, namun cepat-cepat berpaling lagi.

“Heh, pakai baju dulu sana!” teriak Via.

Lion tertawa. Lalu tidak lama kemudian kudengar langkah kaki Lion menaiki anak tangga lagi menuju kamarnya.

Seharian ini aku ada di rumah Lion. Semula aku sudah mau pulang saat maghrib tiba. Tapi Lion mencegah, dia memintaku untuk makan malam di rumahnya. Terpaksa aku menelepon ke rumah lagi, memberi tahu kalau aku akan pulang lebih malam.

Aku menjadi benar-benar pulang malam, karena setelah makan malam itu, aku dan Via tidak langsung pulang. Tapi sempat mengobrol tentang rencana menginap di villa Lion di Cipanas. Sampai akhirnya kami menyadari kalau malam sudah larut.

Setelah itu barulah aku dan Via diantar pulang oleh Lion. Mulanya yang diantar adalah Via, meskipun dia sempat protes. Tapi Lion tetap mengantarkan Via terlebih dahulu, baru kemudian aku.

“Ky, kok diam begitu? Nanti kalau nyasar gimana? Aku kan belum pernah ke rumah kamu.”

Aku tersentak. Aku baru ingat kalau Lion belum tahu rumahku meski aku dan Lion mulai akrab.

“Sori. Belok kanan, Lion, masuk komplek perumahan itu,” tunjukku.

“Nomor?”

“Dua puluh delapan.”

Lion mengangguk, lalu kembali berkonsentrasi pada Honda Jazz-nya. Sesampainya di depan rumahku, ketika aku akan membuka pintu mobil, Lion menyentuh tanganku.

“Ada apa?”

“Aku ingin memberikan sesuatu ke kamu,” Lion pun membuka dashboard, lalu dikeluarkannya sebuah kotak plastik, “Ini buat kamu.”

“Apa nih?”

“Buka aja dulu.”

Aku membuka kotak plastik itu. Kulihat di dalamnya ada serumpun Edelweis. Aku menatap Lion.

“Berarti kamu ke gunung itu, Lion?”

“Ya, sori aku berbohong. Tapi kami cepat turun lagi sehari sebelum longsor itu terjadi, karena hujan yang terus turun.”

“Syukurlah kamu selamat, Lion. Tapi kenapa harus berbohong?”

“Soalnya tadi ada Via, nanti Edelweis-nya malah diminta Via,” ujarnya dengan senyum, “Oya, aku mau ngasih tahu kamu.”

“Apa?”

“Aku masuk tim inti di klub basketku.”

“Lho, kapan kamu tahu?”

“Sebelum pulang tadi, aku sempat ke klub.”

“Selamat deh kalau begitu,” aku mengulurkan tanganku, Lion pun menyambutnya dengan kedua tangannya. Lalu tidak melepaskannya, dia menggenggam tanganku kuat-kuat.

“Lion.”

Lion menatapku lama, tanpa suara. Lewat genggaman jemarinya aku merasa ada sesuatu yang mengalir kuat. Kekuatan cintakah ini? Aku merapatkan bibirku.

“Rizky, kamu masih belum juga mengerti tentang perasaanku ini?”

“Ah, Lion, sudah malam. Aku harus cepat-cepat masuk.”

“Nggak adakah kesempatan untukku?”

Aku tidak memberi rekasi apa-apa. Kutarik tanganku cepat, lalu kubuka pintu mobil. Aku berjalan menuju halaman rumah, kemudian aku membalikkan tubuhku.

“Makasih, ya.”

Lion tidak menyahut. Dia hanya berdiri terpaku di samping mobilnya, sementara aku sudah berlalu masuk ke dalam rumah.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post