Agustus Magribi

Agustus Magribi, S.Pd. lahir di Jakarta, 28 Agustus 1970. Memperoleh gelar sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Jakarta tahun 1995. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DALAM HATI CINTA SELALU BERSEMI#Tantangan Menulis Gurusiana Hari Ke-11

Udara dingin menusuk-nusuk kulitku meskipun aku sudah berlapis sweater tebal. Tetapi tetap saja aku merasa kedinginan.

“Dingin, ya?” tanya Lion tiba-tiba ketika tanpa kutahu dia sudah ada di sisiku.

“Ya,” anggukku.

“Pakai ini, ya?” Lion menyodorkan selembar selimut wol biru yang cukup tebal, aku pun segera menerima dan memakainya.

“Kenapa sendirian di sini, Ky?” lanjutnya.

“Aku suka melihat langit, begitu indah dengan kerlip bintangnya.”

Lion menarik napas, lalu mengikuti aku menangadahkan wajahnya ke langit yang cerah. Untuk beberapa saat, aku dan Lion hanya memandangi bintang-bintang yang tidak terhingga jumlahnya di langit tanpa berkata apa-apa.

“Lion,” ucapku pelan, namun Lion cepat menoleh kepadaku. “Marahkah kamu waktu kejadian malam itu?”

“Nggak, Ky,” gelengnya.

“Benar?”

“Ya, karena aku begitu mencintai kamu,” ucap Lion tegas, sementara matanya menyorot tajam ke arahku. “Kamu juga ngerasain hal yang sama, kan?”

Aku tidak menyahut.

“Jawablah, Ky. Aku lelah dengan perasaan hatiku ini, kamu membuat hari-hariku tersiksa.”

“Jangan melo begitu, Lion.”

“Nggak terlihatkah keseriusanku, Rizky?”

“Lion, ngomongin yang lain aja, ya?”

“Ky.”

“Maafin aku, Lion. Tapi kalau kamu ngomongin hal ini lagi, aku….”

“Baik, aku nggak akan ngomong lagi sama kamu!” sentak Lion seraya bangkit meninggalkan aku.

“Lion!”

Dia tetap berjalan dengan langkah lebarnya. Aku menyusulnya masuk. Di dalam aku sempat bersirobok dengan Via yang lagi asyik di depan televisi. Via tidak bereaksi, dia kembali mengikuti sebuah serial Korea di sebuah stasiun televisi swasta.

Aku membuka pintu kamar yang digunakan Lion di villanya pelan-pelan. Kulihat Lion membelakangi aku, dia memandang keluar lewat jendela dengan tangan dilipat. Aku pun mendekatinya dengan langkah ragu.

“Lion, maafin aku, aku….”

“Kamu emang nggak suka sama aku. Aku emang selalu jadi orang nggak bener di mata kamu!”

“Lion, bukan itu.”

“Terus apa?”

“Aku kira masih banyak hal lain yang menarik, yang bisa kita omongin, Lion,” aku mengatur napasku sambil mencoba menyentuh pundak Lion. “Aku butuh waktu.”

“Untuk membuktikan kalau aku tetap baik atau nggak, begitu kan?”

“Lion, percayalah sama aku. Aku begitu mengagumi kamu. Kamu mau berubah meskipun sampai saat ini kamu belum mendapatkan apa yang kamu harapkan, perhatian orang tua kamu. Tapi aku yakin, kamu akan segera memperolehnya.”

“Ya, memperoleh perhatian mereka. Bukan cinta dari kamu, Ky. Seharusnya kamu tahu juga, Ky, aku menginginkan keduanya!”

“Lion.”

“Aku nggak mau memaksakan kehendakku. Tapi kupikir kamu nggak jujur sama aku.”

“Lion, aku bilang, aku butuh waktu. Dan tolong bantu aku untuk meyakinkan diri, bahwa..., tolong aku, Lion!” ucapku putus asa, lidahku terasa kaku.

Lion membalikkan tubuhnya, menatap mataku yang mulai berkaca-kaca, “Bahwa sebenarnya kamu juga mencintai aku, kan?”

Aku menunduk dalam-dalam. Tidak ada keberanianku untuk menatap Lion. Aku takut, aku akan terhanyut dalam pesona yang dipancarkan Lion. Tapi aku sudah tidak kuasa lagi menahan air mataku

Aku terisak. Bahuku diraih Lion, dan aku tidak menolaknya. Aku benar-benar terbius oleh suasana dan perasaanku sendiri. Aku dipeluknya dengan hangat, kemudian Lion menghiburku dengan permintaan maafnya sambil mengusap pipiku yang basah oleh air mata.

“Sungguh, aku nggak mau memaksakan kehendakku, Ky. Aku ingin kita saling mencintai dan memiliki.”

Aku tidak menjawab apa-apa. Dituntunnya aku menuju tempat tidur dalam kamar itu, Lion mendudukkan aku di sana. Sementara dia menarik kursi rotan dan duduk menghadapku.

“Rizky, pandanglah mataku,” ucapnya sambil memegang daguku, sehingga dengan sedikit ragu aku menatapnya.

“Aku ingin memberi tahu sesuatu ke kamu,” aku masih diam, “Tiga hari lagi aku akan bertanding. Ini pertandingan pertamaku, aku ingin kamu datang, Ky.”

Kali ini aku tidak ragu lagi menatap bola matanya. Ada binar ceria di sana. Aku berusaha tersenyum, tapi sulit sekali. Aku tetap tidak berekspresi apa-apa, sementara tangan Lion masih menggenggam jemariku.

“Aku akan datang, Lion. Tapi.., apa kamu udah ngasih tahu orang tuamu juga?”

“Belum.”

“Beri tahu sama mereka dong kalau kamu akan bertanding.”

“Ah, semua itu akan sia-sia,” ucapnya lemah.

“Cobalah dulu, Lion. Aku yakin, pasti mereka akan menyempatkan diri. Bukankah akhir-akhir ini mereka sedikit lebih perhatian?”

“Sejak peristiwa di Gunung Salak itu?” aku mengangguk, “Mungkin.”

“Lion, kamu harus ngasih tahu sama mereka, apa pun itu jadinya. Entah mereka akan datang menonton pertandingan itu, atau nggak. Tapi kamu harus janji, kamu harus ngasih tahu sama papa dan mama kamu.”

“Ky.”

“Cobalah dulu, Lion.”

“Tapi pasti kamu datang, kan?”

“Ya.”

Lion tersenyum manis, “Aku emang lebih mengharapkan kamu, Ky. Ah, kamu seharusnya tahu, betapa besar cintaku ke kamu!”

Aku tidak bersuara. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur untuk keluar dari kamar Lion.

“Rizky, kamu belum menjawab pernyataanku,” ucap Lion.

Tapi aku tidak mengindahkannya, aku tetap melangkah ke luar kamar.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post