Agustus Magribi

Agustus Magribi, S.Pd. lahir di Jakarta, 28 Agustus 1970. Memperoleh gelar sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Jakarta tahun 1995. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DALAM HATI CINTA SELALU BERSEMI#Tantangan Menulis Gurusiana Hari Ke-7

Pelajaran hari ini tentang Passe Compose tidak sedikit pun yang melekat dalam dasar otakku. Di genggamanku ada pulpen Lion yang lupa aku kembalikan. Soalnya ketika hanya tinggal aku dan Lion, aku tidak mampu lagi berkata apa-apa. Lion pun hanya meminta maaf kepadaku.

Aku terlalu terbawa emosi saat itu. Ada rasa iba yang berkutat kuat dalam hatiku, apalagi setelah mendengar ucapan Tante Win yang disampaikan Via kepadaku sebelumnya. Dan akibatnya, aku lupa kalau aku harus mengembalikan Parker metalik milik Lion yang ada padaku.

Dan bersamaan dengan bel tanda pelajaran usai, aku bertekad untuk menjenguk Lion lagi, sekaligus mengembalikan pulpennya.

“Via, kamu mau menjenguk Lion, nggak?”

Via mengerutkan keningnya, “Kamu mau ke sana?”

Aku mengangguk, “Ya.”

“Sebenarnya aku juga mau, tapi sayangnya aku punya janji sama Mama mau ke mal. Jadinya, ya, aku nggak bisa. Paling juga nanti sore baru bisa ke sana.”

“Ya sudah, berarti aku sendiri.”

“Memangnya ada apa sih? Apa nggak bisa nanti sore aja? Nanti aku jemput deh.”

“Nggak ada apa-apa kok, aku cuma nggak mau ngerepotin lagi.”

“Berani?”

Aku tersenyum, mengerti pada pertanyaan Via itu. Lalu aku mengangguk. “Aku duluan aja deh, salam buat Mamamu, ya.”

©©©

Keluar dari lift di lantai 5, koridor yang aku lewati terasa dingin. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja, karena ketika langkah kakiku tinggal tiga langkah lagi dari pintu kamar Lion, degup dalam dadaku semakin cepat. Aku gemetar, merutuki pendingin ruangan yang ternyata memang sangat dingin saat menyentuh kulitku.

Dengan sedikit keberanian dan menguatkan hati aku membuka pintu perlahan-lahan. Ruangan itu tampak lengang, tapi aku dapat melihat sosok Lion yang sedang menghadapi layar televisi.

“Hei,” sapa Lion ketika melihat kedatanganku.

Lalu tanpa keraguan sedikit pun, aku melangkah mendekati Lion. Perasaan yang sebelumnya melilit hati dan pikiranku, tiba-tiba lepas.

“Gimana keadaanmu sekarang, Lion?”

“Sudah lebih baik. Kamu lihat sendiri, kan?”

Aku tersenyum, lalu teringat akan tujuanku yang sebenarnya. “Lion, ini pulpen kamu.”

“Pulpenku?”

“Iya.”

Lion terpaku sesaat. Lalu diambilnya pulpen itu dan diamatinya sebentar. Dia terdiam. Lalu matanya tertuju kepadaku. Ya Tuhan, aku belum pernah menemukan tatapan Lion yang selembut ini. Dadaku tiba-tiba berdebar tidak karuan.

“Maafkan aku, Ky,” ucap Lion bergetar dan parau. “Aku memang jahat! Aku orang yang nggak berguna!”

Tiba-tiba satu isakan membuat aku tersadar kalau Lion menangis. Menangis? Aku mengedipkan mata, berusaha meyakinkan diri, apakah yang menangis di hadapanku ini adalah Lion?

Ya, dia Lion! Aku terpaku dan tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku berputar-putar, aku harus tahu apa yang harus aku perbuat. Dengan perlahan aku mendekati Lion, kusentuh lengannya dengan lembut.

“Kenapa aku dilahirin ke dunia ini kalau aku hanya disia-siain, Ky!”

Sekali lagi aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata, aku hanya dapat menatapnya dengan hati yang pedih.

“Lion, “ bisikku

“Aku nggak berarti apa-apa, kamu bisa lihat ruangan ini. Segalanya ada, segalanya mewah. Tapi ada yang kurang, Ky!” ucap Lion lirih.

Dalam sekian detik, Lion tidak berucap apa-apa. Tangisnya masih terdengar. Rasa tidak percaya yang ada, kini mulai berganti dengan perasaan iba. Ternyata, apa yang pernah Via ceritakan padaku tentang kedua orang tuanya adalah benar. Ah, aku menjadi ingat pada Papa dan Mama. Meskipun mereka sibuk, mereka masih punya waktu untukku, meski itu hanya sebentar saja.

Aku semakin mendekat pada Lion. Kugenggam kuat-kuat jemarinya dengan lembut, kuusap air matanya dan kutahan wajahnya agar tidak menunduk lagi. Aku berusaha memberi kekuatan hati pada Lion. Dia cowok, dia harus lebih tabah dan tegar daripada aku.

“Lihat aku, Lion,” ucapku kemudian dengan suara susah payah, “Kita berasal dari satu situasi keluarga yang sama.”

Kali ini Lion menatapku lurus-lurus. Pancaran matanya menyiratkan satu pertanyaan, dia ingin aku meneruskan kata-kataku.

“Orang tua kita sama-sama sibuk. Mereka melakukan apa yang menurut mereka sudah menjadi kewajiban mereka, mencari materi untuk kita semua. Dan akibatnya, terkadang mereka lupa akan waktu, lupa akan segalanya termasuk anak mereka sendiri. Aku dan kamu nggak ada bedanya, sama-sama membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang besar dari mereka. Aku, aku….”

Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering, karena tiba-tiba saja dalam ingatanku melintas wajah Papa dan Mama. Tiba-tiba aku jadi ingin menangis, tapi aku berusaha untuk menahannya agar titik air mata ini tidak menghujan.

Ya, aku tiba-tiba jadi merindukan Papa dan Mama. Ingin rasanya cepat-cepat bertatap mata lagi dengan mereka, memeluk, dan mencium mereka. Sementara mereka akan mengecup keningku, membelai rambutku, dan menanyakan segala sesuatu yang menyangkut tentang diriku.

“Ky.”

Aku tersenyum, Lion telah menghentikan tangisnya. Sementara aku sendiri merasa mataku mulai berkabut, dan sebelum luruh, aku mengusap mataku.

“Aku jadi ingat sama orang tuaku, Lion. Aku ingin cepat-cepat bertemu mereka lagi, aku begitu mencintai mereka.”

“Sudah lama nggak ketemu mereka?”

“Setiap hari aku ketemu meskipun itu cuma sebentar.”

“Kamu memang lebih beruntung daripada aku. Orang tua kamu sibuk, tapi masih menyempatkan diri untuk tetap memperhatikan kamu. Sedangkan aku, ah.., seminggu sekali pun nggak. Aku membutuhkan mereka, Ky! Aku manusia, aku punya hati yang selalu ingin diisi oleh kasih sayang dan cinta!”

“Bersabarlah, Lion.”

“Bersabar? Sampai kapan?” tanya Lion dengan wajah serius. “Aku bosan sama keadaan ini, aku nggak juga ngedapetin perhatian mereka meski hanya sedikit dan sebentar!”

“Lalu kamu mencari perhatian orang tua kamu dengan cara kayak ini?” tanyaku agak kelepasan.

Lion terdiam.

“Tapi tetap aja mereka nggak peduli sama aku. Buktinya mereka belum juga datang ke sini walaupun aku sudah dua hari di ruangan hampa ini. Aku benci mereka!”

“Lion.”

“Kadang aku bertanya, sungguhkah aku ini anak mereka? Atau hanya sekedar anak pungut aja!”

“Lion.”

“Aku nggak mau kayak gini terus-terusan! Lebih baik aku nggak dilahirin aja ke dunia ini!”

Lion terisak kembali. Ya Tuhan, apa lagi yang harus aku perbuat? Aku mengatupkan bibirku dan membiarkan Lion menumpahkan semua emosinya itu.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post