Agustus Magribi

Agustus Magribi, S.Pd. lahir di Jakarta, 28 Agustus 1970. Memperoleh gelar sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Jakarta tahun 1995. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

PADA SUATU SENJA #tantangan menulis 30 hari gurusiana hari ke-14

Aku hanya membisu menatap pria berkemeja biru di hadapanku ini. Aku seolah merasa yakin masih memiliki perasaan yang pernah aku rasakan di masa sekolah dulu.

Aku masih terpesona oleh senyumnya. Matanya yang agak sipit dengan alis tipis. Atau sentuhan jemarinya yang selalu terasa lembut. Seperti sekarang, ketika dia menyambut tanganku.

“Apa kabar?” tanyanya.

“Baik. Dan kamu?”

“Sama sepertimu.”

Lalu sebuah keheningan melintas di antara kami. Aku terpaku. Binar matanya tidak berubah. Masih ada keteduhan. Masih akan mampu menenggelamkan aku jika saja aku tidak mencoba melakukan satu gerakan.

“Kamu tidak terburu-buru, kan?”

aku berpikir sebentar, “Tidak.”

“Berarti kita bisa mampir dulu di kafe.”

Aku hanya mengangguk. Bagaimanapun juga aku tidak ingin pertemuan ini terjadi sesingkat mungkin. Aku seakan ingin merasakan lagi debaran aneh di dadaku.

Lalu aku mencoba menjejeri langkahnya yang lebar. Dia masih seperti dulu. Gerakannya selalu cepat. Seperti yang selalu aku lihat jika dia sedang bertanding basket di halaman sekolah.

Kafe Rosta. Sebuah nama yang aku eja ketika membaca daftar menu. Aku seolah yakin, di tempat bernuansa romantik ini, aku akan memperoleh sebuah cerita.

Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 17.35 WIB. Saat itu juga aku mencoba menenangkan satu keresahan yang tiba-tiba hadir.

“Kamu ingin pesan apa?”

Aku tersentak. Lalu berusaha menutupi keterkejutan itu dengan tersenyum.

“Kamu suka kopi?”

Aku menatapnya, “Ya, capuccino.”

“Sesuatu yang bagus, selera kita masih sama.”

Dia cepat memanggil pelayan kafe. Menyebutkan pesanan itu ditambah beberapa jenis croissant. Lalu dia kembali tersenyum.

“Berapa lama kita tidak bertemu?”

“Mungkin sepuluh tahun,” ujarku gamang.

Dia mengerutkan keningnya, “Rasanya tidak selama itu. Bukankah kita sempat bertemu saat reuni sekolah?”

“Oh, aku ingat. Sewaktu di Kebun Raya itu, kan? Berarti sekitar enam tahun yang lalu.”

“Dan saat itu kamu sudah sedikit berubah.”

“Sedikit berubah? Apa maksud kamu?”

“Aku seakan kehilangan gadis mungilku.”

Aku menatapnya serba salah. Kemudian menunduk. Aku ingat betul, ada yang paling disukai pria ini. Rambut panjang dan sifat pemaluku. Tetapi saat reuni itu aku memang sudah berubah.

Aku bukan lagi seseorang yang pemalu. Aku berubah menjadi penuh percaya diri. Aku heran juga saat itu. Tetapi mungkin juga itu disebabkan karena aku sudah menjadi seorang mahasiswi.

Aku merasa semakin mempunyai banyak pengalaman hidup. Pergaulanku pun menjadi luas. Aku begitu banyak mempunyai teman dari berbagai situasi. Dan aku pun terpengaruh oleh zaman. Oleh trend. Oleh mode. Dan aku pun memangkas rambut panjangku.

Aku mengangkat wajahku lagi. Aku menatapnya agak lama. Sampai pelayan kafe itu dating, menaruh kopi dan beberapa jenis croissant.

“Jangan diambil hati kata-kataku barusan.”

“Aku berusaha mengerti.”

“Kalau begitu kita minum dulu,” ujarnya sopan. “Silakan.”

Aku ragu sesaat. Aku menahan untuk tidak cepat-cepat meraih cangkir kopi, karena aku tidak ingin dia melihat tanganku gemetar.

Tetapi aku tidak ingin membuatnya curiga, atau kecewa dengan sikapku ini, aku pun segera mengangkat piring cangkir itu dan mencoba meredam getarannya.

Beberapa saat kami mencoba menikmati hidangan di hadapan kami. Hanya saja kami saling membisu. Hingga akhirnya dalam sekejap dia menatapku.

“Dan kamu semakin berubah sekarang.”

“Kupikir kamu juga.”

“Ya.”

“Karena kita tidak bisa menghentikan waktu yang terus berjalan.”

“Maafkan aku.”

“Tidak apa-apa, tak ada yang perlu dimaafkan.”

“Tapi aku memang masih terobsesi oleh masa lalu kita.”

Kali ini aku yang menatapnya, “Itu sudah lama.”

“Tapi aku tidak bisa melupakannya.”

“Karena kamu tidak berusaha.”

Tiba-tiba dia menatapku dengan tajam, “Oh, jadi kamu sudah bisa melupakan semuanya?”

Aku tercekat. Aku tidak menduga kalau tanggapan dia akan seperti itu. Aku memang seharusnya tidak berkata seperti itu, aku sangat tahu kalau dia mempunyai hati yang mudah tersinggung.

Aku ingat betul. Dua belas tahun yang lalu aku pernah menanyakan tentang cinta dan kesetiaannya terhadapku. Dan dia sangat tersinggung dengan pertanyaan itu.

Dia bilang aku meragukan cintanya. Bahkan menuduhku, kalau akulah yang sebenarnya tidak mempunyai rasa cinta dan kesetiaan terhadapnya.

Lalu pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Kami menjadi tidak saling mempercayai. Kami seolah membenci satu sama lain. Padahal aku masih mencintainya. Dan aku tahu kalau dia pun masih mencintaiku.

Sayangnya emosi remaja kami tidak mampu dipadamkan. Sampai akhirnya sebuah keputusan telah kami ambil. Kami berpisah.

Tidak ada tangis saat itu. Aku mencoba tabah. Bahkan aku berjanji untuk tidak berurusan lagi dengan masalah cinta sampai pendidikanku selesai. Tetapi setelah itu justru aku begitu sulit untuk menerima cinta sebuah pun.

Di tempat aku bekerja atau di kegiatan sosial, banyak yang mencoba mendekati aku sebenarnya, tetapi aku menampik mereka. Aku seakan masih trauma terhadap para pria.

“Kamu masih seperti dulu,” ucapku kemudian.

“Aku ingin kamu mengenangku.”

“Itu sudah terjadi.”

“Karena kamu sudah menikah.”

Dalam sekejap aku ingat seorang pria yang menjadi suamiku dan seorang anak laki-laki berusia dua tahun.

“Kamu menyalahkan aku?”

Dia menggeleng, “Tentu saja tidak. Aku hanya menyalahkan waktu. Mengapa bukan aku yang bertemu kamu tiga tahun yang lalu.”

“Andaipun bertemu, belum tentu kamu melamarku, kan?”

“Itu dugaan kamu. Tetapi siapa yang tahu?”

Aku terdiam. Aku mengerti akan kata-katanya itu, karena ini akan mengigatkan kembali bagaimana hatiku yang telah membeku sekian lama menjadi luluh.

Seorang pria jangkung berkulit putih dengan bahasa Indonesia yang kaku menabrak aku di sebuah plaza. Pria itulah yang membuat duniaku porak-poranda.

Sederetan puisi cinta. Selusin mawar merah. Atau sebuah lagu romantik. Selalu hadir di keseharianku dan pria itu. Hari-hari kami pun menjadi berwarna merah jambu.

Waktu itu aku yakin dialah jodohku, sehingga aku mencoba untuk semakin membuka hatiku untuk menerima dia. Walaupun aku tahu di antara kami ada perbedaan yang sangat prinsip. Tetapi ternyata aku memang sudah telanjur mencintai dia.

Aku juga suka keromantisannya. Dia sering mengajakku makan malam di temaramnya cahaya lilin, atau mengajakku berdansa sambil membiarkan aku menatapi matanya yang biru.

Kami dimabuk asmara, tetapi kami tidak lupa diri. Dia melamarku, dan kami pun menikah di hadapan penghulu.

Setahun kemudian kami dikarunia seorang putra. Dia tampan, perpaduan antara timur dan barat. Sehat dan menggemaskan. Dan itu semakin membuat kami terikat oleh perasaan batin yang tidak dapat dijelaskan secara logika. Kami adalah satu.

“Kamu benar. Siapa yang tahu sesuatu akan terjadi di kemudian hari,” ucapku lirih.

“Ya, seperti pernikahan kamu.”

“Inilah sebuah takdir. Dan kamu harus menerima kenyataan ini.”

Dia menatapku lurus-lurus. Dia tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Dia malah menghabiskan sisa croissant-nya dan meneguk habis kopinya.

“Aku memang harus menerima kenyataan ini. Dan ini mengingatkan aku pada istriku.”

“Kamu?”

“Maaf, aku pun sebenarnya sudah menikah.”

“Kamu jahat!”

“Kenapa?”

“Karena kamu seolah masih mencoba menguji cinta dan kesetiaanku.”

Dia tersenyum, “Karena aku memang masih mencintaimu.”

“Kamu memang jahat!”

Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 18.00 WIB. Aku harus pulang, aku ingin sholat maghrib berjamaah bersama suami dan anak lelakiku. Lalu aku ingin mencium tangan suamiku dan memeluk anak lelakiku dengan penuh kasih. Aku sangat mencintai mereka sepenuh hatiku….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Seperti biasa keren pak

19 Feb
Balas



search

New Post