Ngastina Bubrah
Kadipaten Ngastina, negeri para Pandawa. Negeri para cerdik pandai dan begawan. Di negeri ini sekarang sedang terjadi gunjang-ganjing. Masyarakat digegerkan dengan pemilihan pamong desa. Menjadi pamong ibaratnya adalah menjadi pelayan masyarakat. Namun, ada yang aneh. Manusia di Negeri Ngastina saling berebut untuk menjadi pelayan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara-cara luar biasa, bahkan sampai berani membayar ratusan juta.
Kang Semar bingung tidak bisa berkata apa-apa. Penuh tanda tanya. Apakah masyarakat Ngastina sekarang sudah banyak yang sadar, bahwa membangun generasi tidak cukup dengan bertopang dada. Diam dan menyaksikan dengan kepura-puraan? Apakah mereka telah mampu berpikir, bahwa membangun bangsa harus dimulai dari pengorbanan untuk warga desa?
Beberapa waktu lalu, tontonan yang sangat mengagumkan terjadi. Tepatnya di salah satu desa yang berada di Kadipaten Ngastina. Di sana sedang berlangsung pemilihan kepala desa. Terdapat beberapa calon. Di antaranya ada yang berpendidikan tinggi. Namun, orang yang berpendidikan tinggi ini oleh masyarakat dinilai kurang kuat niatnya. Mengapa begitu? Iya, karena tidak mau memberi tanda jasa pada masyarakat untuk memilihnya (baca : pesangon).
Sebaliknya, calon yang berpendidikan SMA dinilai sangat berniat untuk membangun desa. Buktinya, dia rela menjual sawah dan tanah untuk diberikan rakyat. Sebagai salah satu cara meyakinkan penduduk agar bisa memimpin desa. Alhasil, Masyarakat pun senang dan memilihnya. Sungguh niat dan tindakan yang luar biasa, katanya.
Di waktu lain, sang kepala desa membutuhkan pembantu untuk melaksanakan pemerintahan di desanya. Pun begitu juga cara yang dilakukan sang kepala desa. Berdalih untuk mengetahui niat si calon punggawa. Siapa yang paling berani berkorban sebanyak-banyaknya pada sang lurah, Dialah yang paling setia dan tepat mengisi jabatan tersebut. Hal ini lumrah dilakukan, karena si lurah mempunyai hak prerogratif sebesar 60% untuk memilih punggawa yang setia. Latar belakang pendidikan tidak penting. Kemampuan tidak jadi pertimbangan. Toh nantinya pekerjaan yang sulit bisa dilakukan dengan membayar orang.
Di sini, nilai-nilai tentang kearifan hanya menjadi sebuah dongeng di sekolah dan pengajian. Mungkin, guru dan Kyai tidak perlu lagi memberikan wejangan tentang moral dan nilai hidup. Percuma, masyarakat saat ini hanya menganggapnya sebagai pelengkap pelajaran dan dongeng usang kitab suci.
Negeri Ngastina sudah tidak butuh hukum halal-haram. Negeri yang penuh dengan manusia bijak ini, tidak butuh lagi dengan kebenaran, karena semuanya cukup diatur dengan hukum yang bernama "kebijakan." Hukum ini menjadikan sesuatu yang "tidak bijak" menjadi sebuah aturan yang "dianggap bijak." Jadi, tidak perlu ada kyai, guru, dan begawan. Kitab suci Negara Ngastina saat ini adalah Kitab Kebijakan.
Apakah pernah ada keanehan di negeri lain seperti Negeri Ngastina ini. Di jalan, perempatan, bahkan kuburan terlihat gambar manusia-manusia yang menawarkan diri untuk menyejahterakan rakyat? Mengemis pada rakyat untuk dijadikan wakilnya. Merasa hebat dengan gambar diri memakai peci. Tidak lupa memasang gelar haji.
Dunia sudah terbalik. Padahal dulu, Sayidina Ali menangis karena takut diangkat menjadi pemimpin rakyat (kholifah). Beliau tidak mau. Takut, tidak bisa menjaga amanah yang diberikan. Takut berbuat dzolim pada rakyat. Kuatir tidak bisa adil. Padahal keilmuan dan kealiman sudah tidak diragukan. Namun saat ini mereka yang menginginkan jabatan, sangat yakin dengan kemampuan. Bermodal uang dan rekanan. Keilmuan? Belum terbukti. Kealiman? Apalagi.
Melihat kejadian ini, Semar hanya geleng-geleng kepala dan mengelus dada seraya berucap, "Sampai berapa lama negeri seperti ini akan bertahan?."
#abn
Kunjang, 240319
Di teras depan rumah
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sepertinya, nafsu mengalahkan akal
Apa yang salah denan pendidikan kita ya pak. kenapa orang mau jadi pelayan justru rela membayar dan mempertaruhkan harga diri untuk duduk di singgasana, yang oleh orang bijak dikatakan jabatan itu akan menjadi penyesalan yang tanpa tapi dan tanpa tepi?
Apa yang salah denan pendidikan kita ya pak. kenapa orang mau jadi pelayan justru rela membayar dan mempertaruhkan harga diri untuk duduk di singgasana, yang oleh orang bijak dikatakan jabatan itu akan menjadi penyesalan yang tanpa tapi dan tanpa tepi?