Ahmad A. Pahu

Gemar membaca, menulis, menggambar dan berdiskusi. Menyebut diri sebagai Penulis, Konsultan Pembangunan Desa dan Petani Berkacamata. Berdiam di Simpang Puncak P...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kenanganku Kepada Munzir Sang Demonstran
Bang Munzir dan Kak Fitriani beserta anak-anak mereka

Kenanganku Kepada Munzir Sang Demonstran

Hari ini, Minggu 29 Mei, aku kembali terkenang kepada Tuan Munzir Ibn Yusuf atau yang biasa dikenal sebagai Munzir Tangguh. Sekarang beliau sudah almarhum tapi kenanganku kepadanya masih saja hangat di dasar hati. Hari ini merupakan hari ulangtahunnya yang ke 51 andai dia masih ada.

Yah, andai dia masih hidup. Tapi dia terlanjur mati (terhitung masih) muda sebelas tahun yang lalu, lalu hari ini Kak Fifi istrinya mengirim bibit durian untuk kutanam di areal TBB Puan Xima. Sesuatu sebagai pengingat kepadanya, kutanam sore tadi bersama istri dan anakku. Titik tanamnya sedikit di ketinggian tanah kami yang lalu melandai tak berapa jauh dari tasik kecil di dekatnya.

Agak sendu jadinya.. Tapi masa terus saja berputar dan kehidupan tetap berlanjut. Aku hanya terkenang kepadanya.

Suatu ketika di tahun 2010 yang lalu dia datang ke Duri untuk sebuah kepentingan bisnis dan aku membantunya sebagai The Local Man. Urusan bisnis itu mengharuskannya berlama-lama di Duri hingga memasuki Ramadhan. Saat itu kesehatannya cukup baik setelah sebuah operasi medis di Penang. Meski demikian dia sudah banyak berpantang makanan tertentu -sesuatu yang mustahil dilakukannya di masa lalu. Demi kesehatannya pula dia hanya mengkonsumsi minuman mineral heksagonal (yang disebutnya sebagai Air Zam-zam buatan manusia). Terkait berbuka puasa dia selalu memesan sejenis air tahu dengan campuran tertentu yang banyak dijual di pinggiran jalan disini.

Lalu keluar komentarnya, "Ini yang terenak nomor dua setelah buatan Kak Fifi..". Aku pun menukas, "Itu kan pernyataan sebagaimana seharusnya dijawab kan bang? Kak Fifi bisa marah kalau dibalik..". Lalu kamipun ketawa berderai.

Itulah persuaanku yang terakhir dengannya. Pun setelah terpisah selama sedekade sebelumnya. Setahun kemudian diapun meninggal dunia. Itu setelah dia kembali ke Medan (dan Aceh) dan kami berasingan tempat. Seperti sebelumnya. Seolah episode tahun 2010 itu semata semacam intermezzo buat kami kembali bereuni, sebelum dia pergi untuk selama-lamanya.

Maka kalaulah aku harus mengenang Tuan Muda dari Aceh itu, yang terkesan adalah sebuah guratan penuh memori meski sebenarnya lama pertemanan kami juga begitu sedikit. Yah, hanya di awal dan di akhir. Tetapi seperti kata orang bijak, ini bukanlah soal kuantitas pertemuannya tetapi justru masalah kualitas dari perjumpaan itu sendiri. Dan bagiku itu berarti: kesan pertama yang begitu menggoda..

Ketika aku masuk HMI Komisariat UMA pada interval kedua tahun 1997, beliau sudah berstatus senior dibsitu. Tetapi dalam sehari-harinya dia masih sering mengunjungi Sekretariat berhubung sedang menjalin kontrak emosional dengan Kak Fifi Fitriani yang sedang menjabat sebagai Ketua Kohati. Situasi itu tentunya sebuah rahmat bagi kader-kader muda yang sedang giat mencari dan menuntut sesuatu yang bernilai intelektualitas. Termasuk aku.

Dan Bang Munzir adalah sosok yang tepat untuk itu karena dia secara otodidak memang seorang bertipe intelektual sekaligus seorang aktivis vivere veri colose. Maka malam-malam kami saat itu adalah malam-malam intelektuil meski sangat sederhana, tidak beraturan dan cenderung tidak higienis. Acak tapi kontinyu, spontan namun sungguh mengasyikkan. Aku menebusnya dengan penyakit paru-paru basah setahun kemudian meski menurutku hal itu adalah sesuatu yang setimpal.

Memasuki tahun 1998 saat reformasi bergolak dia lalu menghilang karena kembali ke Aceh. Tetapi sesaat sebelum hijrah itu dia masih sempat mengorganisir aksi mahasiswa UMA. Aku sendiri suatu saat pernah menemaninya bersama Bang Abas (juga sudah almarhum) mengantarkan bantuan Civitas Akademika UMA untuk masyarakat Aceh di Peureulak. Dari semua junior akulah yang dipilihnya untuk ikut berangkat.

Tetapi segera setelah itu dia benar-benar menghilang dari Kampus dan HMI. Kami hanya sayup-sayup mendengar kisahnya memperjuangkan masyarakat Aceh.

Dan hanya itulah kesempatan pertemuan awal kami. Boleh dikata hanya sekitar dua tahun sahaja. Namun sekali lagi, itu kualitatif dan sangat berkesan. Aku akan selalu menganggapnya sebagai seseorang yang memberi pengaruh ideologis kepadaku.

*

Aku masih mengingat pagi itu, Senin 8/8/2011 menjelang siang aku terlambat membuka HP yang ketinggalan di mobil yang sialnya sedang terjebak razia security internal di ladang minyak PT CPI, Duri. Lalu saat akhirnya aku bisa mendapatkan dan membuka isi HP ternyata telah menerima banyak sms dan puluhan misscall dengan satu isi: telah meninggal dunia seorang anak manusia yang sungguh dekat di hati, seorang abang yang baik, sahabat yang karib dan guru privat yang inspiratif: Ir. Munzir ibn Muhammad Yusuf a.k.a Munzir Tangguh.

Aku terhenyak dan dalam sekejab 'hang'. Saat akhirnya dari bibir berdesis, yang keluar malah ucapan istighfar berkali-kali meski seharusnya yang terucapkan adalah inna li'l-Lahi wa inna ilayhi raji'un..

Tetapi aku sungguh terkejut dan tak punya bayangan bahwa si abang akan pergi di usia relatif muda. Tetap tak ada perkiraan seperti itu meskipun tahu bahwa Ybs telah berulangkali masuk keluar RS hingga ke negeri jiran. Aku selalu terobsesi bahwa Alm adalah calon orang sukses yang setidaknya pantas menjadi bupati ataupun pengusaha kaya raya -sesuai dengan profilnya di masa mahasiswa dan setelah alumni.

Bagaimana kita memberi makna terhadap perjalanan singkat seorang Munzir Sang Demonstran itu? Setidaknya kita harus sepakat bahwa kehidupannya adalah kehidupan yang hakikat seraya berharap bahwa itu adalah pula yang hakiki.

Munzir al-Ashihi adalah seorang anak muda yang tidak tertarik kepada artifisial, dia tidak menginginkan jabatan pemimpin meski nyatanya dialah Sang Pemimpin! Ya, Munzir adalah de facto, dia bukanlah de jure! Kita akan kesulitan menemukan curriculum vitaenya karena memang dia hampir-hampir tak punya. Dia berprestasi bagi sekelilingnya meski terkadang tak ada prestise bagi dirinya: dia yang berbuat meski orang lain yang mendapat nama.

Lihatlah di tahun '98 saat reformasi sedang berguncang! Tanpa jabatan dan gelar apa-apa dia menjadi pemimpin mahasiswa UMA dalam demonstrasi demi demonstrasi: berdiri di depan di atas mimbar memegang TOA serta mengenakan jaket biru kampus hasil pinjaman, dia berteriak! dia mengacungkan tinju ke udara dan semua audiens bergemuruh..

"Hidup Reformasi! Hidup Rakyat! Hidup Mahasiswa! Allahu Akbar-Allahu Akbar!"

Padahal dia bukanlah seorang Ketua SMPT! diapun bukan pula seorang Ketua Umum HMI Koms UMA! tetapi sangatlah jelas bahwa kedua figur itu memandangnya sebagai figur..

Ya, Munzir Sang Pengingat adalah figur yang lengkap sebagai aktivis jalanan. Dia berani.. dia bervisi.. dia berideologi! Dia militan meski bukan seorang fanatik. Dia berilmu meski bukan seorang Instruktur. Dia lalu menjadi sentra bagi lingkungannya dan bukannya 'hilang' di dalam lingkungannya.

Karena itu dia dihormati, sebab itu dia dihargai..

"Saat seseorang meninggalkan dunia ini, kenangan kita kepadanya akan tetap tertinggal disini. Adalah sangat baik andai memori itu sesuatu yang positif dan manis untuk dikenang. So, berbuatlah sesuatu yang menyejarah agar dirimu manis untuk dikenang -yaitu saat uang dan hartamu tidak cukup menarik lagi.."

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi

29 May
Balas



search

New Post