Ahmad A. Pahu

Gemar membaca, menulis, menggambar dan berdiskusi. Menyebut diri sebagai Penulis, Konsultan Pembangunan Desa dan Petani Berkacamata. Berdiam di Simpang Puncak P...

Selengkapnya
Navigasi Web
Situ Loun dan Musang King Part II
Siti Loun bersama Bang Irfan dan aku pada penanaman pertama bibit durian musangking, Juli 2021

Situ Loun dan Musang King Part II

Suatu ketika setahun yang lalu Siti Loun Siregar beserta suami dan keluarganya mendadak sontak singgah di rumah kami di Duri. Itu adalah kunjungan mereka yang pertama sekali sekeluarga, dilakukan secara incognito --hanya via ponsel dari Pekanbaru dan bukannya dari kediaman mereka di Depok.

Aku segera paham, mereka tak ingin merepotkan kami karena pertamuan itu. Tujuannya sebenarnya adalah ke Dumai, yaitu dalam rangka menjenguk Fajar putra pertama mereka yang barusan diterima bekerja pada salah satu perusahaan di bilangan Sei Sembilan. Tentu saja tak akan afdol jika mereka tidak menyinggahi kami dalam jarak kedua daerah yang tak terlalu jauh.

Kesempatan yang sempit itu langsung kumanfaatkan sejeli mungkin. Mula-mula kutawarkan mereka turun di rumahku dulu, segera setelahnya keluarga muda ini kubawa ke areal TBB Puan Xima yang berada tepat di belakangnya. Niatku adalah "meminjam" tangan bertuah mereka untuk menanamkan sebatang pohon durian dari jenis musangking di situ.

Sayangnya entah karena tak berpengalaman atau justru karena terlalu bersemangat, Siti Loun ketika hendak membumikan bibitnya malah meloloskan polibeg-nya beserta seluruh tanah-tanahnya. Itu membuat akar sang bibit terekspos terbuka seperti telanjang tanpa baju. Loun segera menaruhnya ke dalam lobang yang sudah digali dan kemudian ditimbuni dengan tanah hitam.

Tapi sejak itu dalam hati aku sudah sangsi akan kemungkinan hidup durian itu. Namun butuh beberapa bulan untuk memastikannya. Ketika sang bibit malang itu benar-benar mati akhirnya hal itu "kulaporkan" kepada Loun, lalu dengan sigap diapun menyatakan "bertanggungjawab". Dia kirimkan bibit durian dari jenis yang tetap sama-sama musangking, namun kali ini dengan ukuran yang lebih besar dan tinggi.

Dan itu harus ditanam hari ini. Kenapa? Karena tepat di tanggal 25 Februari dan Jumat barokah ini adalah merupakan ulangtahunnya yang ke-45. Begitulah Tiloun menuntaskan niat sekaligus pertambahan usianya.

Jika dahulu bibit itu ditanam di hari bukan apa-apa, maka kini hal itu dilakukan dengan pemilihan hari baik. Jika sebelumnya bibit tersebut ditanam adalah milik empunya lahan, sedangkan kini betul-betul sumbangan Ybs sendiri. Lebih lengkap dan semoga lebih berkah.

Mungkin sekarang kalian akan mulai bertanya-tanya: siapakah sesungguhnya Siti Loun itu? Jawabannya: kami bersepupu. Hal itu persisnya terjadi karena kedua ayahanda kami juga bersepupu satu sama lain, itu juga karena ayahanda mereka masing-masing merupakan abang-adik kandung. Dengan kata lain: kami sepupu tiga tingkat.

Dalam budaya orang lain jenis kekerabatan seperti itu mungkin tidak lagi dianggap keluarga, namun dalam tradisi Tapanuli dalam puak yang manapun kami adalah kerabat dekat. Apalagi dengan tarombo yang masih terdata dengan jelas, juga karena sejak lama keluarga kami masih menjadi komunikasi dan silaturahmi satu sama lain. Kami adalah koum, dan juga: solkot. Tak ada lagi kekariban di atasnya, kecuali terhadap ayah-ibu.

Dulu di tahun 2003 ketika aku masih jadi aktivis HMI aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Kongres PB HMI di Asrama Haji. Ayahanda ketika tau aku lagi di ibukota kemudian mengirimkan nomor telepon Tiloun beserta pesan tunggal: jangan lupa bertamu ke sana. Ketika itu mereka memang sudah tinggal di kota satelit itu di sebuah kompleks perumahan yang aku sudah lupa namanya.

Tentu saja hal itu kurealisasikan, khususnya ketika perhelatan kongres sudah kelar. Aku bertamu ke rumah mereka untuk pertama kalinya, juga bertemu Tiloun pertama kali (setelah dewasa). Tentu saja aku berjumpa pula dengan suaminya dan anak mereka yang paling besar, tak lain adalah Fajar itu.

Yang bikin surprised adalah ketika aku tau bahwa Bang Irfan suaminya Tiloun adalah seorang kader HMI juga. Karirnya tidak sembarangan, sebab dia merupakan bendaharanya Cak Anak Urbaningrum semasa di Badko Jawa Timur. Dia kuliah di ITS Surabaya meski berasal dari Padangsidimpuan.

Namun demikian Bang Irfan pada akhirnya memilih berkarir di jalur profesional, alih-alih hijrah ke Jakarta dan menjadi aktivis nasional. Dan itu dapat dikatakan pilihan yang tepat. Dalam 20 tahun selepas pertamuan aku itu Bang Irfan sudah malang-melintang di jagad profesinya sebagai ahli perminyakan. Dia berulang kali bekerja di Timur Tengah (UEA, Qatar, Kuwait dll), sementara anak-anaknya mendapat pendidikan terbaik di sekolah internasional di Pakistan.

Dus, dengan demikian mereka adalah keluarga muda yang sukses ---dan pada akhirnya Siti Loun pun mengunjungi rumahku, seperti yang kulakukan dahulu.

Happy milad ya Ibot. Berkah umur selalu... (aap250222).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

semoga bisa berbuah cepat

25 Feb
Balas



search

New Post