ahmad astapura

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ketika Cinta Harus Bersyarat

Malam minggu ini Tiyo tidak dapat menjenguk kekasihnya. Kondisi fisiknya tidak mengizinkan kakinya untuk melangkah. Kepala pusing, suhu tubuhnya tidak menentu sebentar panas dirasakannya namun sebentar kemudian rasa dingin menggamit kulitnya. Angin jahat telah bersemayam dalam dadanya, menusuk perut, mengusik lambung dan mengoyak pencernaanya. Tiyo berusaha mengusir rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya dengan berbaring di tempat tidur dan memejamkan kedua kelopak matanya. Tidak bisa. Bayangan sang kekasih malah menyeruak diantara kedua kelopak matanya yang tertutup rapat. Terbayang olehnya, sosok sang kekasih yang letih berdiri di teras rumah karena terlalu lama memandang ke arah pintu pagar yang selalu terbuka menyambut kedatangannya. Tiyo memijit-mijit kening yang dirasakannya berputar-putar, menjalar merambah wilayah sekitar dahi dan alis matanya. Sayang, belum juga hilang rasa pusing di kepalanya, hawa panas bercampur dingin sudah menyerang sekujur badannya yang sedang lemah. Tiyo membebat kepala dengan handuk kecil dan berselimutkan kain sarung menutupi sekujur badannya dengan harapam dapat mengusir pusing di kepala dan panas serta dingin yang berebut tempat di sekujur tubuhnya. Dengan demikian, Tiyo harus ikhlas untuk melupakan malam mingguan bersama sang kekasih yang sudah sangat dirindukannya itu.

“Tok, tok, tok!” suara pintu kamar diketuk orang dari luar.

“Siapa...?” tanya Tiyo dengan suara berat.

“ibu!” jawab yang mengetuk pintu itu, singkat.

“Masuk saja, Bu. Tidak dikunci....” Tiyo mempersilakan ibunya.

“Kamu sakit, Yo?” tanya ibu ketika melihat haduk dan kain sarung yang menutup rapat sekujur tubuh anaknya.

Tiyo tidak sempat menjawab pertanyaan ibunya karena bibir bekunya kalah cepat oleh gerakan tangan ibu yang dalam sekejap saja telah mendarat lembut di atas keningnya yang panas.

“Kamu terkena penyakit malarindu, Yo?” tanya ibu sambil menempelkan handuk basah yang hangat di kepala Tiyo. Seulas senyum mengembang dari kedua belah bibirnya.

“Ibu, bisa saja!” kata Tiyo. “Mana ada penyakit yang namanya begitu indah membuat badan panas dingin, Bu.” Tiyo memandang wajah ibunya yang sudah terlihat mulai banyak kerutan itu. Matanya Tiyo tampak berkaca-kaca.

“Tahan ya, nanti kalau bapak pulang dari masjid kita ke dokter!” kata ibu ketika melihat anaknya mengeluarkan air mata. Tangan kanan masih memegang handuk yang menempel di kening sementara tangan kirinya memijit-mijit pundak anaknya.

“Tidak usah, Bu! Sudah baikan, kok!” kata Tiyo, menyembunyikan perasaannya.

Ibu terlihat mengernyitkan keningnya tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Dalam belaian tangan ibu, Tiyo merasakan ada sebutir obat yang sangat mujarab mengusir pusing di kepala dan panas-dinginnya badan yang semula merasuk dalam tubuhnya. Tiyo dapat tertidur lelap di kehangatan kasih dan sayang ibu tercinta, bukan dekapan kekasih yang selalu dirindukannya.

***

Tiyo tidak dapat membendung air yang mengalir dari kedua sudut kelopak matanya ketika melihat ibu yang tertidur lelap di atas kursi di samping tempat tidurnya.

“Sudah bangun, Yo?” tanya bapak yang tengah berdiri di samping meja di sisi atas tempat tidurnya, meletakan segelas besar teh manis, dua butir telur ayam rebus dan tiga butir kentang rebus yang luput dari perhatiannya. “Kenapa menangis, masih sakit?” lanjutnya.

“Tidak, Pak! Hanya pegal-pegal saja, kok!” jawab Tio, menyembunyikan wajah untuk menghapus air mata yang membasahi kedua belah pipinya.

“Ya, sudah. Minum dulu teh manisnya mumpung masih hangat!” bapak menyodorkan segelas teh manis yang tidak jadi diletakkannya di atas meja.

Tiyo menyambut teh manis yang diberikan bapaknya dengan penuh haru. Sementara ibu yang terusik oleh percakapan suami dan anaknya itu terbangun dari tidurnya, berdiri, melangkahkan kedua kakinya menuju meja untuk mengambil piring yang berisi telur dan kentang rebus yang semula telah diletakkan oleh suaminya, memberikannya kepada Tiyo.

“Tiyo sedih, Pak, Bu. Sudah dewasa begini masih saja merepotkan orang tua!” Tiyo mengungkapkan perasaannya. Bapak dan ibu Tiyo saling memandang.

“Tidak, Yo. Sama sekali tidak merepotkan. Kami ikhlas...!” kata ibu.

“Tiyo sudah dewasa, sudah menjadi seorang guru tetapi belum bisa mandiri, Bu!” Tiyo mengeluh.

“Hush! Siapa bilang kamu belum dewasa, belum mandiri? Kalau pun perlakukan kami mungkin agak berlebihan untuk seorang anak seusia kamu, bukan berarti kami tidak mengakui tingkat kedewasaan dan keinginan kamu untuk mandiri. Semua kami lakukan tidak terlepas dari kewajiban dan kasih kami kepada anak-anaknya!” kata bapak.

“Tiyo belum bisa membuat bangga apalagi dapat menyenangkan ibu dan bapak, tidak seperti kakak!” Tiyo mengungkapkan isi hatinya.

“Beda, Yo! Kamu masih menjadi kewajiban ibu dan bapak!” kata ibu.

“Sudah dewasa dan mendapat sebutan guru masih menjadi kewajiban orang tua?” Tiyo memandang wajah ibu dan bapaknya. Bapak dilihatnya tersenyum kecil, sedangkan ibu dilihatnya mengerlingkan sudut matanya ke arah bapak.

“Kamu tahu kan kewajiban terakhir orang tua terhadap anaknya?” tanya bapak.

Tiyo menganggukkan kepalanya. “Mencarikan, memilihkan dan menikahkannya dengan jodoh yang terbaik untuk anaknya.” jawab Tiyo, lirih.

“Betul Yo. Masih ada satu kewajiban yang belum dapat kami tunaikan untuk kamu!” kata ibu. “Jodoh terbaik untuk anaknya!” tegasnya.

Tiyo tersedak air teh manis yang sedang diteguknya manakala mendengar kata “jodoh” yang diucapkan oleh ibunya.

“Maapkan Tiyo, bapak, ibu. Tiyo juga ingin untuk segera mengambil alih kewajiban ibu dan bapak, tapi...” Tiyo tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Bapak juga maklum, Yo. Bukan maksud kami untuk segera terbebas dari tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak, tetapi kasih sayanglah yang mendorong kami untuk mengatakannya. Kedewasaan dan kemandirian tidak hanya diukur dari segi ekonomi semata tetapi bayak faktor lain yang menjadi indikator penentunya. Kesetiaan, tanggung-jawab, dan kesiapan mental lebih utama dari pada hanya sekedar faktor ekonomi. Kamu harus tegas tetapi bijak dalam menentukan sikap!” kata bapak.

“Benar, Yo. Ibu sangat sedih mendengar kamu mengigau saat tertidur tadi malam. Seperti ada perasaan ragu dan ketakutan yang tersirat dari igauan kamu. Berulang kali kamu berteriak-teriak memanggil nama pacar kamu itu!” kata ibu.

Mendengar ucapan ibunya, Tiyo seperti diingatkan kepada kekasihnya. Dengan serta merta diambilnya handphone yang tergeletak di sisi kanan bawah bantalnya. Tiyo segera memberikan kabar tentang kesehatannya kepada sang kekasih.

“Nie, maapkan Aa kalau malam minggu tadi tidak dapat berkunjung ke tempat Nie. Aa tidak enak badan. Do’akan saja agar kesehatan Aa segera pulih shingga Insya Allah malam minggu depan dapat mengunjungi Nie seperti biasanya.”

***

Satu jam berlalu pesan teks yang terkirim tidak mendapat balasan. Satu hari berlari panggilan suara tidak mendapat jawaban. Sepekan sudah lamanya pesan dan panggilan telepon yang dilakukan Tiyo tidak mendapat respon dari kekasihnya. Hingga pada hari Sabtu sore, handphonnye bergetar dari saku celana panjangnya. Getaran yang meruntuhkan seluruh syak dan prasangka buruk yang berkecamuk dalam kepalanya. Murni memanggil melalui telepon selulernya.

“Halo! Assalamu’alaikum!” suara Murni terdengar sejuk di telingan Tiyo.

“Waalaikumussalam Warahmatullaahi Wabarakaatuh!” jawab Tiyo.

“Maafkan Nie ya, A...!” suara Murni terdengar berat.

“Justeru Aa yang minta maap, Nie. Aa tidak dapat menemani Nie malam minggu kemarin.” kata Tiyo.

“Maafkan Nie, A!” suara murni terdengar mengambang.

“Ya, Aa maapkan. Lagi pula Aa sudah sehat kembali, kok” Tiyo menegaskan. “Insya Allah sebelum pukul tujuh malam nanti Aa sudah berada di rumah Nie!” Lanjutnya.

“Nie tidak di rumah, A. Sekali lagi maafkan Nie A...!” suara Murni terdengar lirih.

Tiyo mengernyitkan keningnya.

“Halo..., memangnya Nie berada di mana?” tanya Tiyo.

Murni tidak menjawab pertanyaan Tiyo, hanya suara isakan yang terdengar samar sebagai jawabannya.

“Kenapa Nie menangis. Ada apa?” Tiyo mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak mengenakkan sedang merundung kekasihnya.

“Maapkan, Nie..., A. Assalamu’alaikum....” telepon seluler diputus sebelum Tiyo mendapat jawaban dan menjawab salam dari kekasihnya itu.

Untuk menghilangkan penasaran dan menjawab dugaan yang tidak jelas bentuk dan gambarannya, Tiyo memutuskan untuk segera menuju rumah kediaman kekasihnya. Dengan kecepatan rata-rata tiga puluh kilo meter perjam tanpa dikurangi kemacetan, Tiyo menggunakan waktu sekirar dua jam untuk menyandarkan sepeda motornya di halaman depan rumah kekasihnya.

Lebih dari tujuh kali Tiyo mengucapkan salam sabil mengetuk-ngetuk pintu rumah itu tetapi tak sekali pun mendapat jawaban dari penghuninya. Sudah hampir tiga hari lamanya rumah itu ditinggalkan oleh semua penghuninya.

“Pak Tiyo memangnya tidak dikasih tahu..., kan Pak Suryana dan keluarganya sedang ke Bogor.” jawab Pak Ganda, ketua RT di tempat itu malah balik bertanya ketika Tiyo menanyakan keberadaan Murni beserta keluarganya. Tiyo menggelengkan kepalanya.

“Ada acara apa ya, Pak?” tanya Tiyo.

“Waduh, Bapak tidak tahu Pak Tiyo. Lupa menanyakan!” jawab Pak Ganda

“Kira-kira kapan beliau kembali, Pak?” tanya Tiyo.

“Waktu menitipkan rumah ini sih, katanya Minggu sore...!” jawan Pak Ganda.

“Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu’alaikum!” kata Tiyo.

“Wa’alaikumussalaam...!” jawab Pak Ganda.

Tiyo kembali ke rumahnya dengan membawa seribu tanda tanya dalam kepala dan sejuta tanda koma di dalam dadanya.

***

Seluruh tanda tanya dan barangkali yang bersembunyi dari balik awan hitam itu pun menampakkan bentuknya bersama gerimis dalam teriknya cahaya matahari. Tiyo terkapar, tertusuk hatinya oleh belati lisan yang melesat menembus telinga kemudian menancap tepat di tengah jantung dan ulu hatinya.

“Mengapa begitu, Pak?” Tiyo memprotes keputusan Pak Suryana, ayahnya Murni.

“Maap Nak Tiyo, bukannya bapak tidak mau dipersalahkan. Kamu tahu kan, apa kewajiban terakhir dari orang tua terhadap anaknya? Menikahkannya dengan jodoh yang terbaik, dan itu sudah bapak lakukan!” kata Pak Suryana.

“Saya sangat mengerti posisi bapak, tetapi mengapa bukan saya? Hampir dua tahun saya berjuang, Pak. Meski pun syarat yang bapak ajukan belum dapat saya penuhi setidaknya saya telah berusaha menunjukkan dan melakukan yang terbaik untuk cinta dah tujuan mulia saya. Saya sangat mencintai putri bapak.” Kata Tiyo, lirih. Matanya berkaca-kaca.

“Waktu yang kita sepakati sudah berakhir, Yo. Kamu belum juga menjadi pegawai negeri. Lagi pula belum ada ikatan resmi antara Nak Tiyo dengan putri bapak. Wajar kan kalau bapak tidak melibatkan Nak Tiyo dalam mengambil keputusan demi masa depan anak bapak?” Pak Suryana berkilah. Tiyo menundukkan kepalanya.

“Bapak sudah terlanjur bernazar, Nak. Bapak menginginkan agar si Murni mempunyai suami yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Sementara menunggu Nak Tiyo, bapak khawatir akan status anak bapak.” lanjutnya.

“Begitu pentingkah arti status bagi bapak?” tanya Tiyo yang merasa telah dianggap remeh dan tidak memiliki arti di mata Pak Suryana.

“Nazar, Nak Tiyo. Bapak berkewajiban untuk melaksanakannya!” jawab Pak Suryana, tegas.

“Saya paham, Pak. Saya juga sedang berusaha, kenapa tidak memberikan kesempatan agar saya dapat mewujudkannya, Pak? Saya sangat mencintai Murni, Pak!” Tiyo mengungkapkan ketidakpuasannya.

“Perempuan, Nak Tiyo. Bagi laki-laki mungkin semakin tua akan bertambah daya tariknya, tetapi tidak demikian dengan seorang perempuan. Semakin tua seorang perempuan semakin sulit mencari pasangan ditambah lagi dengan terusiknya ketenangan keluarga dalam mendengar bisikan dan cemoohan dari orang-orang di sekitar kita. Nak Tiyo mungkin dapat membayangkannya.” Pak Suryana teguh dengan keputusan dan alasannya.

“Sekali lagi, bapak mohon maap kepada Nak Tiyo. Sampaikan juga salam dan permohonan bapak kepada kedua orang tua Nak Tiyo. Bapak do’akan semoga Nak Tiyo segera mendapatkan jodoh yang terbaik. Manusia hanya dapat berupaya tetapi Tuhanlah yang menentukan kehendak-Nya!” Pak Suryana mengakhiri pembicaraannya.

Tiyo menghela napasnya dalam-dalam. Dadanya dirasakan sesak oleh berbagai rasa yang berdesakan memenuhi seluruh relung jiwanya. Yang lebih menyakitkan, Tiyo tidak diperkenankan bertemu dengan kekasihnya meski dengan alasan dapat melihat wajah sang kekasih yang mungkin untuk terakhir kalinya. Pak Suryana khawatir jika dipertemukan, putrinya berubah pikiran dan menjadi anak durhaka yang melanggar perintah orang tuanya. Tiyo pun pasrah dan menyerahkan semua perkara, nasib dan takdir kepada Tuhannya.

Sulit untuk menerima kenyataan pahit pada saat dia sangat berharap. Rasa sakit yang teramat sangat dirasakannya pada seluruh jiwa dan raganya. Lahir dan bathin terpuruk dalam lautan duka. Hampir semalaman penuh Tiyo mengurung dirinya dalam kamar, bertafakur, bersujud dan berdo’a menumpahkan segala keluh-kesah dan bertawakkal sambil bermohon kekuatan diri dalam menghadapi ujian dari-Nya. Tiyo memasrahkan diri dan segala urusan kepada Tuhannya.

***

Sebulan telah berlalu namun Tiyo belum juga dapat melupakan kekasihnya. Sering ia mencoba menghubungi melalui pesan singkat bahkan dengan panggilan ponsel namun tidak sekali pun mendapatkan balasan, tanggapan apa lagi jawaban langsung dari orang yang belum dapat dilupakannya.

Kenangan dan sosok sang kekasih hanya sirna manakala Tiyo tengah berada di tengah-tengah muridnya. Tetapi sosok itu akan kembali muncul manakala berada dalam kesendiriannya.

Tio tengah meluruskan pnggangga. Handphon Tiyo bergetar hebat. Seseorang tengah berada dalam jaringan ponselnya.

“Halo...! Assalamu’alaikum!” sapa seseorang.

“Halo, wa’alaikumussalam!” jawab Tiyo.

“Gimana kabar Lo, Bro?” tanya orang itu.

“Alhamdulillah, sehat...! Maap dengan siapa, nih?” tanya Tiyo.

“Sorry Bro, nomor baru. Masa gak apal suara we?” jawab orang itu. “Kapan Lo nikahin si Murni?” lanjutnya. Dari gaya bicaranya Tiyo pun maklum dengan siapa dia berbicara.

“Tumben, Is. Ada angin apa yang berhembus di tengah malam begini?” Tiyo berseloroh ketika yakin dengan Iskandar lah ia sedang berbicara, teman sekelasnya semasa kuliah beberapa tahun yang lalu.

“Gak senang...? Kabar gembira, nih!” kata Iskandar dilanjutkan dengan suara tertawa ngakaknya.

“Gaya Lo tidak berubah, Is.” Kata Tiyo. “Kabar gembira apa, nih. Mau mentraktir?” lanjutnya.

“Lebih dari itu, Bro. We minggu depan, Insya Allah akan melangsungkan resepsi pernikahan. Lo jangan sampai tidak hadir. Jangan lupa ajak si Murni, biar dia ngebet buru-buru ngajak nikah, ok?” Iskandar menyampaikan kabar gembiranya.

Mendengar nama kekasihnya, hampir saja ia menceriterakan perihal perjalanan dan nasib hubungannya dengan si Murni yang menyakitkan itu. Masa lalu bersama murni adalah manisnya kehidupan masa remaja sedangkan saat ini, Murni bagikan sembilu yang bersemayam dalam dadanya yang sewaktu-waktu dapat mengiri-iris dan menambah luka yang belum juga dapat diobatinya.

“Halo....! Lo dengerin tidak, Bro?”

“Halo, ya. We dengerin ....!”

“Jangan lupa, sama si Murni, Bro!”

“Insya Allah! We gak lupa, Is!”

“Ok. We gak ke rumah lo. Undangan We kirim lewat ponsel. Sorry ya, Bro. Maklum pebisnis banyak relasinya... hak,hak,hak!”

“Syukur kalau gak ke rumah..., ngerepotin.”

“Ya, sudah. Gitu aja ya, jangan lupa Bro ditunggu kehadirannya! Assalamu’alaikum!” Iskandar mengakhiri pembiraannya.

“Waalaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh!” jawab Tiyo.

Meletakan hanphonnya di atas bantal, Tiyo pun melemparkan matanya ke atas langit-langit kamar tidurnya. Gelap. “Mengapa nama Murni masih saja tidak dapat kulepaskan dari relung jiwa dan sisi laku kehidupanku? Ya, Allaah berilah petunjuk dan kekuatan hamba-Mu dalam menghadapi kenyataan ini!” Bathinnya.

***

Gazebo taman cahaya memancarkan sinar keagungan-Nya. Di sela-sela waktu kesibukan dalam rutinisas kewajibannya sebagai seorang guru, pada saat jam istirahat, seusai melaksanakan ibadah shalat dzuhur, Tiyo merebahkan badannya di atas lantai gazebo yang berada tidak jauh dari mushola sekolah. Seorang demi seorang rekan sekerja dan sejomblo Tiyo pun mulai mengambil bagian di tempat itu.

“Sudah hampir sebulan ini saya memperhatikan Pak Tiyo. Sepertinya Pak Tiyo sedang ada masalah, ya?” Pak Budi, membuka percakapan.

“Ah, biasa saja Pak. Kecapekan....” jawab Tiyo.

“Pengen kawin kali....!” seloroh Pak Eko.

“Untuk hidup sendiri saja masih kembang-kempis, mana boleh memikirkan untuk mempunyai isteri. Mau dikasih makan apa nantinya...?” kata Tiyo menimpali.

“Rejeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, Pak Tiyo. Jangan pesimis, yakinlah bahwa Tuhan telah menyiapkan rejeki untuk setiap manusia...!” Pak Syam meluruskan arah pola pikir Tiyo.

“Mana ada perempuan yang mau dengan guru honorer seperti saya, Pak!” tanpa sengaja Tiyo mengungkapkan ganjalan hatinya.

“Siapa bilang, buktinya saya Pak Tiyo. Saya juga honorer tapi nyatanya saya sudah beristeri. Hidup kami berkah, Pak.” kata Pak Budi, tersinggung.

“Betul itu. Kalau kita memang sudah siap mental, mengapa tidak?” Pak Syam mendukung pendapat Pak Budi.

“Iya, Pak Tiyo. Kepala tiga puluh mah sudah waktunya, kasihan anak kita nanti kalau menikah di usia tua....” Pak Eka ikut nimbrung.

“Saya masih ragu, bapak-bapak.” kata Tiyo.

“Hilangkan keraguan, Pak Tiyo. Karena yang sifatnya meragukan itu akan mengarah kepada haram...!” Pak Syam mengingatkan.

Tiyo mengangguk-anggukkan kepalanya namun untuk membeberkan rahasia hati, ia tak sanggup untuk berbagi. Tiyo masih dapat menutup rapat kisah sedih yang menjadi rahasia hatinya.

“Pak Tiyo ini, kasihan tuh sama Bu Isma. Kurang apa sih beliau?” kata Pak Budi.

“Memangnya ada apa dengan Bu Isma?” tanya Pak Syam.

“Bukan rahasia kali..., Pak Syam memangnya tidak memperhatikan?” Pak Budi balik bertanya. Pak Syam menggelengkan kepalanya.

“Bu Isma naksir Pak Tiyo, bahkan beliau pernah meminta saya untuk menyelidiki apakah Pak Tiyo itu masih sendiri atau sudah punya calon dan seterusnya. Apa itu bukan gambaran menaruh hati namanya?” Pak Budi menjelaskan.

Apa yang diutarakan Pak Budi benar adanya. Sebenarnyalah kalau Tiyo pun menyadari hal itu namun karena bayang-bayang cinta pertamanya yang menutup hati dan menghalangi pandangan matalah yang menyebabkan Tiyo selalu menghindar dari orang yang mungkin begitu tulus mengharapkan cintanya, Ismayani.

“Bukalah hatimu wahai Pak Tiyo..., izinkan Ismayani bersemayam dalam hatimu!” goda Pak Eko. Tiyo menggaruk-garuk kepalanya.

Obrolan singkat pun bubar ketika bel tanda istirahat jam pelajaran berdering memenuhi ruang dan waktu di seluruh kawasan sekolah termasuk Gazebo taman cahaya tempat Tiyo bersama rekan-rekannya mengisi waktu.

***

Ini bukanlah suatu kebetulan, rekayasa atau pun sandiwara belaka. Malam minggu ini, untuk pertama dan selanjutnya dalam kehidupannya Tiyo berjalan berdampingan bersama wanita yang benar-benar tulus mencintainya. Ismayani berkenan mendampingi Tiyo untuk datang dan menghadiri acara resepsi pernikahan sahabatnya, Iskandar.

“Kok tidak Murni, Yo?” bisik Iskandar di telinga Tiyo.

“Bukan si Murni, tetapi cinta murni aku, Is!” jawab Tiyo berbisik di telinga Iskandar.

“Tidak terpaksa, atau sekedar bersandiwara?” Iskandar menggoda.

“Tulus dan seratus persen nyata, Is!” Tiyo mengacungkan jempolnya.

Ismayani yang berada di samping Tiyo, meskipun samar masih dapat mendengar isi obrolan kedua sahabat itu. Merasa dirinya yang menjadi topik pembicaraan, ia pun mencubit pinggang Tiyo untuk menghentikannya. Tiyo mengaduh namun tersamar oleh suara tawa Iskandar yang sedang menjadi raja sehari itu.

“Kita segera menyusul ya...!” bisik Tiyo di telinga Ismayani.

Ismayani memandang wajah Tiyo dengan penuh haru. Seulas senyum yang sangat manis mengembang dari bibirnya yang merah menggambarkan ketulusan dan sucinya cinta yang ia tambatkan. Ismayani menggenggam jari-jemari tangan Tiyo dengan eratnya. Kembali menatap Tiyo, mengganggukkan kepalanya, tanpa syarat.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post