Ahmad Muhli Junaidi

Perkenalkan, saya guru sejarah di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Senang menulis dalam segala tema kehidupan sejak bangku SD. Semakin suka menuli...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGENANG MASJID KUNO DI JAKARTA PENINGGALAN LASKAR KESULTANAN ISLAM MATARAM
#masjidjamikalmakmirtanahabang

MENGENANG MASJID KUNO DI JAKARTA PENINGGALAN LASKAR KESULTANAN ISLAM MATARAM

Sebagaimana saya kutip dari lama Okezone.com, sejumlah masjid tua masih berdiri di Jakarta hingga saat ini. Ternyata di baliknya ada peran pasukan kesultanan Islam Mataram. Jejak mereka bisa dilihat di sebuah masjid di Marunda dan Tanah Abang.

Menurut lama tersebut, panglima-panglima perang Mataram itu ternyata di samping prajurit yang gagah, juga merupakan juru dakwah yang andal. Mereka inilah yang membangun surau-surau di Jakarta, yang kelak menjadi masjid-masjid tua yang hingga kini dilestarikan keberadaannya.

"Ketika 80 ribu prajurit Mataram dua kali gagal menyerang Jakarta, mereka banyak yang menetap dan menyebar di berbagai tempat. Rupanya, semangat keagamaan para tumenggung Mataram ini tidak pernah surut," ujar Yahya Saputra, budayawan Betawi, sebagaimana okezone.com memberitakan.

Sejarawan Belanda, Dr F de Haan, membenarkan bahwa Kampung Marunda di Cilincing pernah dijadikan sebagai salah satu markas pasukan Mataram saat hendak memasuki Batavia.

Dilansir dari okezone.com., di tepi pantai Marunda ini, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso membangun sebuah masjid. Di samping tempat ibadah, Masjid Al-Alam dijadikan tempat menggembleng semangat para prajurit, sekaligus tempat mengatur serangan.

Masjid di pantai Marunda yang dahulunya merupakan surau, hingga kini masih terlihat kekunoannya sekalipun telah beberapa kali dipugar. Pada masa revolusi fisik (1945), dari masjid ini kembali dikumandangkan semangat jihad fisabillah oleh para ulama dan pejuang. Daerah Marunda bahkan sangat dibanggakan dalam perjuangan melawan Belanda.

Di antara masjid yang dibangun oleh para pangeran dari Kerajaan Islam Mataram ini terdapat pula Masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Kelurahan Tambora, Jakarta Barat. Masjid ini dibangun pada 1717 oleh Abdul Mihit, putra Pangeran Cakrajaya, sepupu Tumenggung Mataram.

"Keberangkatannya dari Mataram ke Batavia dalam rangka membantu rakyat untuk menentang penjajahan Belanda. Di masjid inilah keturunan bangsawan dari Mataram melakukan pembinaan mental dengan menekankan semangat menentang penjajahan," ucap Yahya, dikutip dari Okezone.com.

Dalam sumber lainnya penulis kutip bahwa pada tahun 1947/1948 masjid ini pernah ditembaki dan digerebek tentara NICA (Belanda). Selain itu, pimpinan masjid, KH Mohamad Mansyur, dengan berani mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di puncak menaranya.

Ulama pejuang ini kemudian digiring ke hoofbureu atau markas polisi kolonial. Untuk menghormati ulama pejuang ini, maka masjid itu dinamakan 'Masjid Jami Al-Mansyur.'

Masjid lainnya yang dibangun oleh para bangsawan Kesultanan Mataram adalah Masjid Al-Makmur, yang letaknya sekitar 100 meter dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat yang sampai kini tetap hiruk-pikuk.

Masjid yang cukup megah dan dapat menampung sekitar 3.000 jamaah ini, merupakan masjid tertua di kawasan Tanah Abang, yang penduduknya dikenal taat beribadah. Awalnya, masjid tersebut hanyalah sebuah surau yang sangat sederhana, luasnya hanya 12X8 meter. Baru diperluas menjadi masjid pada 1760.

Menurut laman yang penulis kutip di atas, membuat tempat beribadah ini sangat bersejarah bagi ibu kota, karena dibangun oleh kedua putra Raden Karto Busyo, yang dikenal dengan nama KH Muhammad Asyuro, seorang bangsawan Mataram. Kedua putranya adalah KH Abdul Sumod Asyuro dan KH Murad Asyuro.

Menurut berbagai keterangan yang ada di situs sejarah masjid itu, kedua kakak beradik yang juga merupakan juru dakwah yang andal ini, membangun surau itu pada tahun 1527 atau 929 Hijriah, tatkala berkembangnya agama Islam di Jakarta. "Saat itu, bersamaan pula dengan bergabungnya tentara Islam dari Kerajaan Demak dipimpin oleh Fatahillah yang menyerbu Sunda Kelapa dan mengusir tentara Portugis," paparnya.

Dalam perkembangannya, Masjid Al-Makmur pernah dipimpin oleh seorang guru agama terkemuka, KH Abdul Halim Zaini, dengan pengurusnya KH Abdul Sumod Asyuro.

Pada 1910, pengurus masjid menerima tanah yang diwakafkan oleh Sayid Abubakar bin Muhammad Alhabsji dan Syeikh Abubakar bin Salim Sungkar untuk perluasan. Setelah perluasan, masjid ini menjadi 44X22 meter.

Masjid yang menjadi kebanggaan warga Tanah Abang ini pernah dikelola oleh almarhum Ustaz Zainal Abidin Alhabsji, seorang pengajar perguruan Islam 'Jamiatul Kheir', yang letaknya tidak berjauahan dari Masjid Al-Makmur.

Konon, kata Tanah Abang berasal dari tentara Mataram saat menyerbu ke Batavia. Mereka tidak hanya menyerang ibu kota dari laut di utara, tapi juga dari selatan.

"Tanah Abang, yang kala itu merupakan tanah bukit dan rawa-rawa dan dikelilingi kali Krukut, oleh bala tentara Islam Mataram dijadikan sebagai salah satu basis. Karena tanahnya bewarna merah (abang dalam bahasa Jawa), mereka pun menamakan Tanah Abang (tanah merah)," ujarnya sebagaimana penulis lansir dari situs Okezone.com.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post