Muhsin Sakhi

Ahmad Muhsin, pria kelahiran Boyolali, 5 April 1988 adalah lulusan FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan Bahasa Inggris. Lulus kuliah, mengabdikan dir...

Selengkapnya
Navigasi Web
Anggi,  Sang Manusia ‘Patung’

Anggi, Sang Manusia ‘Patung’

 

Assalamu’alaikum anggi..sapaku pagi itu. Seperti biasa, ia hanya bergeming. Tidak ada suara.  Bahkan seutas senyumpun tak juga kudapati. Bukan karena sikap acuh atau pun sombong. Jelas ini bukan karakternya. Hanya saja, ia tidak mau merespon. Atau barangkali diamnya adalah caranya merespon. Entahlah.

Anggi, begitu ia biasa disapa. Murid baru pindahan dari Jakarta. Perawakannya sedang, kulitnya sawo matang, Indonesia banget pokoknya. Sudah beberapa hari ini ia masuk sekolah, meski baru beberapa hari, sudah ada kabar yang menyebar tentang Anggi terutama dari beberapa guru yang sudah mengajarnya atau bahkan sekedar bertatap muka. Semua berkata sama, tidak ada suara sepatahpun keluar dari mulutnya.

Tibalah pagi itu dikelas bahasa inggris. Untuk pertama kalinya saya melihatnya di kelas bahasa inggris, mata pelajaran yang aku ampu. Seperti biasa, salam sapa aku lontarkan kepada anak-anak untuk membuka pelajaran. Aku melihatnya dengan jelas, karena ia duduk dibangku paling depan. Dengan ekspresi wajah yang datar dan tanpa bersuara.

Saya sering melontarkan beberapa pertanyaan sebelum masuk ke inti pembahasan, pertanyaan ini sebagai langkah untuk menggiring fokus siswa pada materi yang akan saya sampaikan. Pertanyaan itu kemudian sampai kepada Anggi. “What’s your favorite animal, Anggi?” tanyaku pagi itu. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sekali lagi aku layangkan pertanyaan itu disertai dengan bahasa indonesia, karena barang kali ia tidak paham. Namun, hasil yang kudapat tetap sama. Tidak ada jawaban sepatahpun keluar dari lisannya. Akhirnya, kutinggalkan ia dengan kebisuannya.

“Now, please open your studentbook page 25,” perintahku pada mereka kemudian. Semua siswa mulai membuka buku paket mereka, kecuali satu orang, Anggi. Ia masih saja mematung. Buku paketnya masih tersimpan di dalam tasnya. Syifa, teman sebanggunya pun berinisiatif mengambilkan buku dari tasnya kemudian membukakan buku tersebut pada halaman yang saya perintahkan. 

Materi saya terus mengalir bersamaan dengan waktu yang terus berjalan.  Saya menyuruh siswa untuk mengerjakan workbook mereka sekaligus mengecek pemahaman siswa terhadap materi yang saya ajarkan. Mereka pun siap dengan pensil mereka, kemudian mulai mengerjakan workbook yang ada di depan mereka. Di pojok depan, Anggi belum beranjak dari kesendiriannya. Ia bahkan belum juga memegang pensilnya. Syifa lagi-lagi yang mengambilkan pensilnya dan menaruhnya di jari-jemarinya.  Namun percuma, ujung pensil itu tidak bisa menggoreskan rangkaian kata dengan sendirinya.

Setelah pertemuan pertama  yang kurang memuaskan,  saya pun mulai sering sharing dengan wali kelas Anggi di kelas 3. Dari hasil sharing tersebut, saya mendapatkan beberapa informasi sekaligus langkah yang mesti saya ambil untuk membuat Anggi mau menulis. Dan alhamdulillah akhirnya anggi mau juga menulis, meski harus disiapkan terlebih dahulu buku dan pensilnya. Baiklah, yang terpenting ia mau menulis dulu, batinku.  Pertemuan-pertemuan berikutnya, saya sudah menjadi ‘biasa’ dengan sikap diam Anggi. Tak lupa selalu kubisikkan di telinganya bait-bait kata, dengan harap ia akan menjadi anak yang lebih baik dan pemberani. Karena saya yakin, meski diam, tapi ia masih punya telinga untuk mendengar dan hati yang tidak mati. Maka kata-kata positif pastilah akan memberikan getaran yang positif pula. Tidak peduli seberapa kuat pengaruhnya.

Tibalah saatnya untuk tes ulangan harian. Saya bagikan soal tes kepada semua anak yang hadir pagi itu, termasuk Anggi.  Usai mengucap basmallah, anak-anak mulai mengerjakan soal tes yang ada dihadapan mereka. Disudut sebelah kanan, Anggi masih terdiam. Lembaran kertas dihadapannya tak juga disentuhnya.  Benar-benar seperti patung. Tidak ada suara, atau bahkan gerakan-gerakan kecil. Kecuali lambaian jilbab kecilnya yang diterbangkan oleh angin dari AC ruangan.

Kubiarkan anggi dengan sikapnya diamnya. Aku tetap melanjutkan bacaan pertanyaan untuk soal listening.  Hingga anak-anak selesai mengerjakan soal tes mereka, lembar jawab anggi masih bersih tanpa coretan sedikitpun. Maka setelah itu, saya meminta waktu kepada wali kelas untuk mendampingi Anggi mengerjakan  soal test sendiri di laboratorium bahasa. Alhamdulillah Anggi mau saya ajak ke lab bahasa. Ia pun mulai mengerjakan soal test yang saya sodorkan. Tulisannya bagus dan rapi. Tidak butuh waktu lama untuk anggi mengerjakan soal test yang saya berikan. Setelah selesai mengerjakan, saya langsung mengoreksi  jawaban soal tes Anggi. Senyum saya mengembang, kemudian saya tunjukkan nilai itu kepada Anggi. “Kamu pintar ternyata” ucapku dengan sedikit rasa takjub. Anggi dapat nilai 100 untuk tes bahasa inggris pertamanya. Meski  tidak ada senyum, namun aku bisa membaca rasa bahagia dari bilik matanya, meski agak samar.

Kisah tentang Anggi masih terus menjadi perbincangan dikalangan para guru, khususnya tentang sikap diamnya, tentang  ketidakmauanya beranjak dari tempat duduk kalau tidak ada yang mengajak. Ia seakan menjadi patung hidup. Padahal kalau di rumah, ia terlihat begitu berbeda. Demikian yang saya tangkap dari obrolan teman-teman.

6 bulan sudah berlalu. Anggi sekarang naik kelas 4 dengan wali bunda Wafi. Masih sekelas dengan Syifa juga. Tentang Syifa saya juga punya cerita istimewa dengan anak ini. Lain kali saya ceritakan.  Awal-awal semester pertama,  Anggi masih terlihat sama. Secara kemampuan akademis anak ini tidak mengalami permasalahan. Meski diam tanpa kata, tapi telinganya masih berfungsi. Dan saya yakin ia mendengarkan setiap penjelasan gurunya. Terbukti dengan nilai rapor akhir semesternya, meski tentu saja minus dalam nilai keterampilan.

Setiap kali saya melihat Anggi, ada rasa iba. Seakan saya ikut merasakan kegelisahaannya. Meski saya tidak tahu benar apakah ia benar-benar gelisah.  Saya hanya pernah merasakan pada posisi ketika  Garner mengklasifikasikan kepribadian seseorang pada sisi ekstrovert dan introvert.  Barangkali Anggi adalah sosok introvert dimana ia mengalami kesulitan untuk bersosialisasi, merasa lebih aman kalau sendiri, bukan senang menyendiri. Tidak mudah mendapatkan teman, namun ketika ia sudah merasakan kenyaman dengan seseorang, ia rela berkorban untuk teman terbaiknya itu. Mereka butuh support dari lingkungan bukan pengucilan atau cap-cap negatif lainnya. Buktinya banyak orang-orang dari latar belakang introvert, yang menjadi orang hebat dikemudian hari.

 

Beberapa waktu yang lalu saya mengobrol banyak dengan wali kelas Anggi. Kami bicara banyak tentang progres Anggi di kelas 4. Ia sudah mau ngomong meski hanya satu patah kata dan sangat lirih. Ia sudah berani memimpin ikrar di depan kelas. Bahkan ia sering mengirimkan rekaman suara kepada bunda wafi selaku wali kelas. Ya, Anggi di sekolah memang tidak sama dengan Anggi di rumah.  Setidaknya di rumah Anggi berani berekspresi pun di media sosial.  Menjadi demikian tentu bukanlah keinginannya. Jika disuruh memilih tentu setiap kita ingin mudah bersosialisasi. Namun Allah SWT memiliki kehendak yang berbeda, tujuannya apa? Agar kita mau belajar. Ikhlas menerima setiap kekurangan dan kelebihan.  Menghargai setiap perbedaan. Dan tidak mudah menyerah pada suatu keadaan, sesulit apapun itu. Allah SWT selalu punya cara untuk setiap hambanya yang berupaya menjadi pribadi yang lebih baik. Yakinlah itu.    

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post