Matrasit

Salam kenal... Namaku Ahmad Rasyid (nama pena) atau Matrasit, terlahir di Sumenep pada tanggal 6 Mei 1967. Mulai Maret 1988 berprofesi guru di Kabupaten ...

Selengkapnya
Navigasi Web
AZIMAT CINTA

AZIMAT CINTA

#CERBUNG#01

AZIMAT CINTA

Malam itu wajah rembulan tersenyum malu. Azan isya' sayup-sayup terdengar dari beberapa corong penjuru masjid. Takbir, Allahu Akbar mengalun berirama, mendayu-dayu. Menelusuri ruang-ruang rohani yang nampak kerontang. Beku dan dipenuhi keluh kesah.

"Cong, kamu mau ke mana? Jangan tinggalkan aku!" Suara itu terdengar parau. Memelas, penuh iba. Terdengar dari sosok kakek tua yang tak sekekar dahulu lagi. Desah nafasnya memecah kesunyian malam.

Ia terlentang kaku, tiduran di atas lencak. Terhampar di atasnya sebuah alas kasur kapas, sudah memadat. Entah berapa bulan tiada tersentuh radiasi matahari. Kepalanya berat bersandar pada dua bantal yang lusuh. Benar-benar renta. Namun, kerutan di dahinya menandakan sisa-sisa kesemangatan hidup yang tinggi.

"Kapan kamu akan kawin?" tanyanya lirih. "Usiamu sudah cukup dewasa. Kakek ingin melihatmu bahagia sebagaimana yang lainnya. Bawalah calon istrimu ke hadapanku yang mungkin tak kan mampu bertahan beberapa lama lagi ini." Ia menghela nafas panjang.

Sesekali terdengar batuk sesak, Uhuk... uhuk... uhuk.” Lalu diambilnya secarik kain perca kusam yang terletak di sisi kanan bantalnya. Kain lusuh yang biasa dipakai untuk menyapu bibirnya ketika basah oleh air liur. Maklum saja, giginya banyak yang tanggal. Terlihat mencuat dua yang tersisa tak ubahnya gawang sepakbola.

Irfan sejak tadi sedang memasang kancing bajunya. Sibuk mempersiapkan diri untuk menghadiri undangan pengajian di desa sebelah. Ia ditunjuk menjadi pemandu acara kegiatan malam itu. Baru dua menit kemudian ia menjawabnya.

"Maaf, Kek. Saya pamit. Malam ini akan menghadiri undangan." Irfan mohon izin. Diambillah tangan si kakek untuk diciumnya. Hendak meminta restu dan doa keselamatan darinya. Sesaat kakek begitu erat memegang tangannya. Seolah-olah tak ingin melepasnya. Apalagi untuk kepentingan yang begitu lama dan terbilang jauh.

Sesekali dilihatnya jam tangan berwarna perak yang melingkar di lengan kirinya, waktu telah menunjukkan 19.15. Si kakek belum ingin melepas tangannya jua. "Kek, Irfan diundang orang. Penting sekali. Izinkan barang sebentar untuk pergi, ya. Nggak lama kok!" pintanya mengiba.

"Ya, sudah pergi sana. Ingat, jangan malam-malam!" Sekali lagi Irfan menarik tangan kanannya lalu menciumnya lekat serta mengecup keningnya. Cukup lama untuk dilepaskannya.

Irfan beranjak pergi dengan sepeda motor Yamaha Super berwarna merah kesayangannya. Ia sendirian di tengah malam gulita. Sebab lama menunggu, kakekpun terlelap hingga mentari menyapa pagi sembari teriringi alunan burung merpati yang beterbangan rendah.

Masih terngiang di telinga Irfan permintaan kakeknya semalam. "Kau sudah cukup dewasa, kakek ingin melihat kebahagiaanmu." Permintaan dan pernyataan itu selalu menghantui dirinya. Entahlah, apakah pernyataan itu motivasi bagi dirinya atau sebaliknya? Bingung dibuatnya.

Adalah permintaan spesial dari seseorang yang spesial. Apresiasinya berbeda sekali dengan ketika ibunya mengatakan hal yang sama padanya. Kurang mengindahkannya. Terlebih lagi bila mengingat jikalau sang kakek tidak lagi kuasa untuk beranjak dari pembaringannya. Andai saja mencari seorang calon istri sama dengan membeli permen di toko tentu tidak akan menjadi beban baginya.

Konon Irfan sejak usia kecil, sekitar berusia tiga tahunan sudah berada digendongan dan asuhan kakeknya. Awal ia bersama ayah-ibunya yang tak begitu jauh dari rumah yang ditinggalinya sekarang. Sebab sedikit ulah, membuat dirinya merasa takut bila bertemu dengan ayahnya. Sejak itu ia bersama kakek neneknya. Wajarlah apabila menyebutnya spesial. Intensitas komunikasinya terbangun indah dengan mereka.

Sebagaimana kesehariannya, ia berangkat ke sekolah pagi-pagi. Pada usia yang terbilang muda, sudah menjadi seorang abdi negara. Yaitu mengajar dan mendidik siswa di tempat mana dahulu ia bersekolah di sekolah dasar.

"Fan, yuk nanti sore kamu ikut saya!" Tiba-tiba saja Ais menepuk bahu kanannya sembari mengajaknya pergi.

"Ke mana? Aku nanti sore repot," jawab Irfan sekenanya.

"Kamu ini! Hayolah, kamu tak kenalin pada teman saya. Dia cantik pakai kacamata. Wajahnya keibuan. Kamu pasti suka deh!" jelas Ais memberondongnya. "Masak kamu tetap gitu sih? Keluar! Dunia luar itu indah," rayunya.

"Oke, aku ikut kamu nanti. Sesudah salat asar kan?"

"Ya, iyalah. Tak enaklah jikalau pergi sebelum menunaikan kewajiban pokok kita." Ais beralasan. "Hey, pakai baju yang keren!" Sembari mengacungkan jempol jari tangan kanannya tinggi-tinggi.

"Okay, ziiap!" timpal Irfan sambil beranjak pergi ke ruang kelas di mana para siswa sudah menunggunya.

Namun, hati Irfan tambah berdegup kencang. Entah apa yang akan diperbuatnya jikalau kemudian bersua dengan gadis yang dicarinya. Mampukah bila saling bertatap dengannya? Ia ragu-ragu dengan eksistensi dirinya. Belum pede untuk menghadapi semuanya. "Ya, Rabb. Inna ma'al 'usri yusraa, fainna ma'al 'usri yusraa. Aku berserah kepada-Mu, ya Rabb."

Dia bertipe pemalu, namun cerdas dan berbudi luhur. Berbudi bahasa yang santun. Tak hendak menyakiti hati orang lain, terlebih pada orang yang sangat berjasa baginya. Tapi itulah kelemahannya, canggung bila berhadapan dengan lain jenisnya. Terlebih dengan yang seusianya. Tak ayal lagi, dalam usia yang menapaki dua puluh lima tahunan belum ada seorangpun yang akan dipersiapkan untuk menjadi pendamping hidupnya.

Ada benarnya juga, apabila ayahnya sendiri pernah mengatakannya, "Jangan-jangan si Irfan itu tak lelaki tulen ya. Masak seusia itu belum ada reaksi apapun," ujarnya suatu ketika kepada Ibu Irfan.

"Sudahlah, Yah. Sebagai orang tua harus yakin, anak kita itu lelaki tulen. Pasti suatu waktu akan menemukan jodoh untuk dia. Kita doakan saja yang terbaik," jawab ibu Irfan perlahan.

Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, mereka berdua sore itu sudah tiba di dekat rumah gadis yang dituju. "Itu dia!" Ais menunjuk seseorang yang telah dikenalnya. Seorang gadis muda berkacamata tebal dengan wajah yang anggun penuh keibuan.

Perkenalan dengan Irfan pun terjadi. Walau baru pertama kali berkenalan dengannya, keduanya tampak akrab. Tak tampak canggung sebagaimana dugaan sebelumnya. Perkenalan itu menggiringnya pada sebuah persahabatan dan perjanjian untuk menjalin hubungan yang intens.

Entah berapa lembar surat telah saling berbalas untuk semata mengungkapkan perasaan masing-masing. Ada saja kurir yang ikhlas dan setia menyampaikannya. Media hape belum ada. Intelcom atau handy talkie, media komunikasi yang cukup efektif kala itu, tapi Irfan tak menyukainya.

Secara berkala walau tak harus terjadwal sebagaimana jadwal pelajaran di sekolah, kopi darat pun sering berlangsung. Umumnya wakuncar dilakukannya saban malam Minggu. Tidak dengan si Irfan. Ia menggunakan waktu Jumat sore dalam merajut cinta indah bersemi. Aneh bukan? Namun begitulah yang dilakukan olehnya. Tiada seorangpun yang menyelanya, apalagi hendak melarangnya.

Kira-kira dua bulan pertemanan itu sudah berlangsung. Berjalan mulus. Tak ada sandungan, walau sebesar kerikilpun. Hati keduanya berbunga-bunga. Irfan ingin memperkuat hubungan dengannya. Mengikat ujung dengan simpul yang kuat sehingga tak terberai. Melamarnya baik-baik tanpa menunggu waktu lama lagi.

Kedua orang tua Irfan mencoba arabas pagar. Mereka yang datang sendiri ke rumahnya. Namun, apalah daya gayung pun tak bersambut indah. Ibu si Ira ingin menjodohkan anaknya dengan keponakannya sendiri.

Masyaallah, Irfan merasa terpukul dengan keadaan yang demikian itu. Ira positif, ibunya yang negatif. Andai saja iman tak menguasainya, jalan akan buntu.

Hadeh, ibu Ira itu telah merendahkanmu. Bawa kawin lari sajalah! Bukankah ia masih mencintaimu? saran Jusa ketika bersamanya di warung kopi biasa mereka ngaso.

Atau hayo kamu kuantar ke orang pintar, permalukan dia, balas juga dong!” ajak Jusi, kembaran Jusa.

Sudahlah, kamu kan tahu. Bagiku tabu untuk yang demikian. Jikalau saran kalian kulakukan lalu bagaimana kata dunia. Aku ini pendidik. Irfan mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan argumennya. Bersabar bagiku yang terbaik. Kemudian beranjak pergi menenangkan jiwanya.

Tertatih, kuasa untuk bangkit. Ia bersemangat untuk melanjutkan amanah kakeknya. Dunia tak selebar daun kelor. Ia mau membangun cinta yang mampu membawa kedamaian hatinya. Dirinya yakin dengan kesabaran dan kebesaran Ilahi.

Gayung pun bersambut. Tak berapa lama, Irfan diperkenalkan oleh seseorang yang telah mengenal dirinya dengan seorang wanita. Rumahnya tak jauh dari rumah Ira, yang cintanya terhempas kelabu. Tetangga, sahabatnya pula. Ifah namanya.

Bukan hanya dikenalkannya, melainkan juga mengirim surat untuk wanita itu. Ia salah seorang tokoh yang masyhur di mana keduanya berdomisili. Seluruh keluarga Irfan sangat berterima kasih karenanya.

Surat itu diterimanya oleh Ifah dari pamanya sendiri. Disodorkannya surat itu padanya di rumahnya. Ini dari Kiai. Baca dan ikuti hatimu! petunjuknya singkat. Tanpa berlama-lama kembali.

Perlahan dibukanya surat tanpa amplop itu. Hanya dilipat lalu disteples. Secarik kertas bergaris yang mungkin disobeknya dari buku agenda. Selembar kertas yang cukup tebal berisi pesan singkat dan harapan, "Saya hadiahkan untukmu seorang lelaki yang berakhlak baik. Insyaallah cocok untukmu. Terimalah dia, sebab saya yang meminangnya untukmu." Dagdigdug, jantung Ifah berdetak keras. Tangannya gemetar. Dibacanya berulang-ulang sehingga tiga kali.

Bagaimana ini? Aku tak mengenalnya. Masak akan menerimanya begitu saja. Mungkin saja ibu sudah tahu keadaan ini. Tapi menggunakan paman menghantarkannya. Surat ini dari guruku. Adakah ini akan menjadi azimat untukku? Ya, Allah. Berilah jalan keluar yang terbaik. Aamiin! gumamnya, begitu usai membacanya. Isi pesan surat yang ditujukan untuknya sungguh menikam. Didekapnya surat itu lalu cepat-cepat pula dilipat dan disimpan di buku hariannya.

Benar saja kata ibu Irfan bahwa keindahan itu akan terbangun dengan doa, sabar, dan ikhtiar yang ikhlas. Namun, belumlah Ifah menjawabnya, si kakek itu menghadap ke hadirat Ilahi dengan senyuman yang mengembang.

(Bersambung)

#Ambunten, 7 Maret 202

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post