Cerpen Hari Ibu Pelukan Terakhir Anak Rantau Kepada Ibunya
Hujan deras mengguyur kota kecil tempatku lahir. Jalanan yang biasanya ramai oleh hiruk-pikuk anak-anak sekolah kini sepi, hanya terdengar suara air yang jatuh menghantam atap rumah. Hari ini adalah Hari Ibu, sebuah momen yang mengingatkanku pada sosok yang selalu menjadi alasan aku terus berjuang meski jauh dari rumah.
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Koper kecil yang sudah kusiapkan seminggu lalu menanti di sudut kamar apartemenku di Jakarta. Aku bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan besar yang selalu menuntut waktu dan perhatian. Tapi kali ini, aku mengambil cuti khusus untuk pulang. Sudah tiga tahun aku tak pulang ke kampung halaman, dan rinduku pada ibu tak lagi terbendung.
Perjalanan menuju rumah terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin karena hati ini dipenuhi kegelisahan. Bagaimana kabar ibu? Apakah ia masih seperti dulu, dengan senyum lembut yang selalu menyambutku di pintu? Atau sudah ada garis-garis lelah yang menghiasi wajahnya?
Setibanya di depan rumah, aku tertegun. Rumah itu masih sama, dengan cat tembok yang mulai pudar dan bunga-bunga di pekarangan yang terawat rapi. Tapi tak ada ibu di sana. Bibi Siti, tetangga yang sering membantu ibu, keluar dari dalam rumah dengan mata sembab.
“Kamu sudah pulang, Nak Fara. Ibu kamu sakit sejak seminggu lalu,” katanya dengan suara bergetar.
Deg. Hatiku seperti ditikam. Aku segera masuk ke dalam rumah dan mendapati ibu terbaring di kamar. Tubuhnya tampak lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya melalui panggilan video. Namun, senyumnya masih sama.
“Fara, kamu pulang juga,” ucapnya pelan. Suaranya terdengar lemah, tapi penuh kasih sayang.
Aku tak bisa menahan tangis. Aku memeluknya dengan hati-hati, takut menyakitinya.
“Maaf, Bu. Aku terlambat pulang. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku,” ucapku sambil menggenggam tangannya yang dingin.
“Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu ada di sini sekarang,” jawab ibu sambil tersenyum lembut.
Hari itu, aku menemani ibu sepanjang waktu. Kami berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpiku ke depan. Ibu mendengarkan dengan penuh perhatian, meski aku tahu tubuhnya lemah. Malam harinya, aku membuatkan sup ayam kesukaannya. Melihat ibu makan dengan lahap, hatiku sedikit lega.
Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat. Keesokan paginya, ibu mengeluh sesak napas. Aku panik, segera memanggil ambulans dan membawanya ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, aku menggenggam tangannya erat, berdoa agar ia bisa bertahan.
Di ruang ICU, aku hanya bisa menunggu. Dokter berkata kondisi ibu kritis. Aku merasa dunia runtuh. Bagaimana jika aku kehilangan ibu? Pikiran itu menghantamku berulang kali.
Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dengan wajah serius. “Kami sudah melakukan yang terbaik,” katanya singkat.
Duniaku hancur seketika. Aku berlari masuk ke ruangan dan memeluk tubuh ibu yang tak lagi bernapas. Air mataku tak berhenti mengalir.
“Maaf, Bu. Aku belum sempat membahagiakanmu,” bisikku di telinganya.
Hari itu, aku kehilangan sosok yang paling kucintai. Namun, ibu meninggalkan banyak kenangan indah yang terus hidup di hatiku. Ia adalah alasan aku menjadi kuat, meski dunia terasa kejam.
Setelah pemakaman, aku memutuskan untuk tinggal di kampung selama beberapa hari. Aku membersihkan rumah, menyiram bunga-bunga di pekarangan, dan merapikan barang-barang ibu. Di salah satu laci kamarnya, aku menemukan sebuah buku harian. Di dalamnya, ibu menulis tentang kebanggaannya padaku. Meski aku jarang pulang, ia selalu mendoakan yang terbaik untukku.
Tulisan terakhir di buku itu membuatku menangis lagi:
Fara, ibu selalu bangga padamu. Jangan pernah merasa bersalah karena jarang pulang. Ibu tahu kamu berjuang untuk masa depanmu. Ibu hanya berharap kamu bahagia.
Hari itu, aku bersumpah untuk terus menjalani hidup dengan baik, seperti yang diinginkan ibu. Setiap Hari Ibu, aku menyalakan lilin kecil di rumah ini, mengenang pelukan terakhir darinya. Ibu mungkin telah tiada, tapi kasih sayangnya akan selalu menjadi pelita yang menerangi jalanku.
Kini, aku kembali ke kota dengan semangat baru. Setiap desain yang kubuat, setiap langkah yang kuambil, semuanya kupersembahkan untuk ibu. Ia adalah inspirasiku, pahlawanku, dan alasan aku terus melangkah meski ia tak lagi ada di sisiku. Selamat Hari Ibu, Bu. Aku mencintaimu selamanya
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Pak Ahmad Syaihu berhasil membuatku menangis saat membaca cerpen ini. Semoga Ibunya Nak Fara husnul khotimah. Aamiin.
Fara, ibu selalu bangga padamu. Jangan pernah merasa bersalah karena jarang pulang. Ibu tahu kamu berjuang untuk masa depanmu. Ibu hanya berharap kamu bahagia. Inspiratif
Fara, ibu selalu bangga padamu. Jangan pernah merasa bersalah karena jarang pulang. Ibu tahu kamu berjuang untuk masa depanmu. Ibu hanya berharap kamu bahagia. Inspiratif
Pelukan terakhir yang tetap menjadi motivasi dan inspirasi.... Mantap