Aida Fitria, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Mereka yang Lillah
Mereka yang Lillah

Mereka yang Lillah

Jam dinding masih menujukkan pukul 09.30 wib. Saatnya mentari mulai beranjak melanjutkan pengembaraan di birunya langit. Cerah sekali, bagaikan gadis belia yang dengan malu-malu memperlihatkan senyumnya. Kupandangi tanaman hias di halaman rumahku. Ah, sudah lama mereka tidak mendapat perhatian sama sekali. Ya, karena kesibukan, atau mungkin karena kurang kemauan, mereka terabaikan. Rerumputan liar di sekeliling taman seakan menertawakanku, seakan memperlihatkan kemenangannya. Perlahan kucabut rerumputan itu. Tiba-tiba, tanpa kusadari, di luar pagar telah berdiri tiga orang siswaku. Begitu asyiknya aku, hingga tak menyadari kehadiran mereka.

Segera kubuka pintu pagar, mempersilahkan masuk. Tak lama, datang lagi beberapa orang temannya. Ya, hari itu mereka datang berkumpul di rumahku, tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Aku kaget, kenapa mereka bisa berkumpul seperti ini, sedikit gusar sebenarnya, karena di tengah pandemi ini kita diharapkan untuk tidak berkumpul. Kita diharuskan untuk stay at home, tapi mereka malah datang ke rumahku.

Kupandangi wajah mereka satu persatu, kuperhatikan pakaian mereka. Ya, allah, wajah-wajah lugu itu tersenyum malu-malu, dengan berpakain seragam pula lagi. Ya, seragam yang mereka pakai saat itu adalah hasil dari uang kas yang mereka kumpulkan selama dua tahun ini. Memang, selama dua tahun, sejak kelas lima sampai kelas enam aku adalah guru kelas mereka. Mereka memang kuanjurkan untuk menyisakan sebagian dari uang jajan untuk kas kelas. Mereka bebas mengelola sendiri keuangan kelas, tentunya dengan pemantauan dariku sebagai guru kelasnya. Kupandang lagi wajah mereka satu persatu, wajah yang lugu, yang menyimpan sejuta harap. Berbalut pakaian seragam baru yang seyogyanya dipakai untuk acara perpisahan sekolah. Ya, adanya virus corona telah menggagalkan semua rencana mereka. Bayangan untuk rekreasi bersama setelah selesai ujian sekolah, yang selalu jadi bahan candaan dan pembicaraan mereka setiap hari. Apalagi tabungan mereka yang sudah dikumpulkan selama dua tahun sangat membantu sehingga orang tuanya tak terlalu dibebankan. Tapi semua rencana itu gagal. Covid 19 telah meruntuhkan segala angan mereka.

Aku memahami keinginan mereka, dan sangat mengerti isi hati mereka. Setelah mempersilahkan duduk, kutanya apa maksud kedatangan mereka.

“Mau mengantar kenang-kenangan buat ibuk,” jawab mereka ragu-ragu. Duh, anak-anakku, di tengah masa sulit seperti ini, masih sempatnya kalian memikirkan itu, bathinku.

“Dan, sisa uang kas, akan kami sumbangkan untuk beberapa teman yang tidak punya orang tua, Bu,” kata Rafi, sang ketua kelas.

“Ya, Bu. Kami semua sudah sepakat,” jawab mereka serempak, tanpa sempat aku bertanya. Kemudian, dengan malu-malu, seorang diantara mereka mengeluarkan sebuah bingkisan. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Dengan halus aku berusaha menolak dan menganjurkan agar kado itu diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan.

“Tidak, Bu. Kami ingin ibu yang menerima kado itu, sebagai ucapan terima kasih kami,” terdengar jawaban spontan dari bibir kecil mereka.

“Ya, Bu, apalagi ibu sudah dua tahun mengajar kami, dari kelas lima sampai sekarang,” jawab mereka polos. Ya, mereka memang masih polos, berkata apa adanya. Belum mampu merangkai kata-kata manis bak pujangga. Namun, melihat kepolosan dan keikhlasan mereka tak sanggup untuk ku menolaknya.

Setelah memberi sedikit wejangan dan berkeluh kesah, mereka ku persilahkan pulang. Tentunya dengan pesan supaya langsung ke rumah dan hati-hati di jalan. Sepeninggal mereka, kupandangi pemberian mereka. Kubayangkan bagaimana mereka setiap pagi sebelum bel masuk berbunyi, bergerombol di meja sang bendahara kelas. Bagaimana mereka menyisihkan sebagian uang jajan yang tidak seberapa. Kubayangkan bagaimana mereka saling adu argument tentang penggunaan uang kas. Tapi tetap berakhir dengan damai, dan saling menerima apa adanya.

Aku seakan diingatkan, dengan keputusan mereka untuk berbagi dengan sesame. Dengan keinginan mereka untuk menyumbangkan tabungan kelas kepada teman yang membutuhkan. Sebuah keputusan yang sulit sebenarnya buat anak-anak seusia mereka. Tapi, itulah mereka, siswaku, dengan kepolosannya, dengan keluguannya, masih mampu berbagi untuk kemanusiaan. Semoga pengorbanan mereka menjadi ladang pahala yang akan mereka panen suatu saat kelak. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka. Mereka yang lillah, yang ikhlas berbagi meski keadaan mereka sendiri tidaklah berlebih.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kepedulian dan kepolosan mereka karena didikan seorang guru hebat seperti anda...hebat bun.

01 May
Balas

Trims pak.

09 May

Wow..perhatian seperti itu sungguh menyentuh hati..kenapa siswa kita bisa memperhatikan kita..ya tentu ada hubungan timbal balik kan..?? Mudah2an wwmua guru di cintai siswanYa..

01 May
Balas

Aamiin, trims sobat

01 May

Ulang dari 1 liak Fit

01 May
Balas

Ndak berani mengulang va, kayaknya nulis tidak bisa setiap hari, tapi akan tetap menulis di media guru, meski tidak ikut tantangan. Bolehkah?

01 May

Subhanallah...anak baik hasil didikan yang baik pula... selamat sobatku..moga sukses selalu

01 May
Balas

Trims sobatku

03 May



search

New Post