Aida Fitria, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Penantian Tak Berujung (Part 3)

Penantian Tak Berujung (Part 3)

#Tantangan gurusiana hari ke 5)

Pagi itu Rara bangun tepat saat suara azan subuh berkumandang dari mesjid. Rumah ayah tidak jauh dari mesjid, sehingga setiap azan akan jelas kedengaran. Rara langsung mandi dan menunaikan shalat subuh sendiri. Rara ingat, biasanya ibu yang menemaninya shalat subuh dan mandi setiap pagi. Setelah itu mereka berdua akan bersiap-siap sarapan lalu berangkat ke sekolah. Sudah kebiasaan bagi Rara dan ibunya setiap pagi pergi sekolah bersama. Rara akan diantar ibu ke sekolah baru kemudian ibu melanjutkan perjalanannya ke tempat dia mengajar. Tapi pagi ini Rara cuma sendiri. Sekilas dilihatnya kamar ayah, masih terkunci rapat. Kebiasaan ayah semenjak dulu memang tidak berubah, selalu bangun kesiangan dan terkadang lupa shalat subuh. Hal ini juga yang sering memicu pertengkaran ibu dengan ayah di rumah.

Selesai shalat subuh Rara duduk di kursi, di depan kamar ayah. Rara mengharap kamar itu akan segera terbuka, kemuadian ayah mengantarkannya kembali pulang. Rara ingin sekali bertemu dengan ibu, ingin segera berangkat sekolah. Harap-harap cemas Rara terus menunggu dan menunggu. Air matanya mulai keluar, Rara terisak sendiri. Rara tak mampu menahan rasa sedih di hatinya. Dua jam berlalu, keadaan rumah tetap sepi, tidak ada tanda-tanda ayah akan keluar kamar dan mengantarkannya pulang.

Rara masih mencoba bersabar, hingga matahari sudah mulai menanjak naik. Diliriknya jam dinding, sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Rara tak sabar lagi, mau membangunkan ayah dia takut kena marah. Dia ingat tabiat ayah, terbayang olehnya saat ayah menampar Kak Rendi atau Kak Ilham ketika kedua kakaknya itu punya salah. Rara tak berani, Rara takut, tapi dia mau sekolah. Dia mau pulang.

Perlahan Rara mulai melangkah menuju pintu. Hati-hati sekali dia melangkah supaya tidak kedengaran oleh ayah dan tante. Rara tahu perbuatannya salah, namun keinginannya yang kuat untuk sekolah dan pulang ke rumah mengalahkan rasa bersalah itu.

“Mau kemana, Rara?,” suara ayah mengejutkannya. Tanpa disadari ayah rupanya sudah berdiri di belakangnya.

“Maaf, Ayah, Rara mau pulang,” jawab Rara sambil menahan tangis. Rara mulai ketakutan. Nyalinya ciut melihat tampang ayah pagi ini. Tidak sebaik seperti makan semalam.

“Pulang kemana, ini kan rumah Rara juga. Mulai saat ini Rara harus tinggal di sini bersama ayah dan tante Sely.” Suara ayah terdengar bagaikan petir di telinga Rara. Bagaimana mungkin dia mau tinggal di sini, bagaimana mungkin dia mau meninggalkan ibu sendiri.

“Tidak, Ayah, Rara tidak mau tinggal di sini. Rara mau di rumah bersama ibu,” tangis Rara mulai tak terbendung. Rara menangis terisak-isak, dia tak mampu melepaskan diri dari ayah. Ayah yang disayangi namun sekaligus juga dibencinya. Rara menangis sejadi-jadinya. Namun tetap tidak merobah keputusan ayah.

Rara akhirnya pasrah, dan mengalah. Rara terpaksa tinggal bersama ayah. Meski masih satu kota dengan ibu, namun ayah tak pernah mengijinkannya untuk menelpon apalagi bertemu dengan ibu. Komunikasi dengan ibu terputus sama sekali. Namun setiap saat, dalam doanya Rara selalu berharap suatu saat dapat bertemu dengan ibu, dan berkumpul kembali seperti dahulu. Pernah suatu kali Rara menghubungi ibu dengan telponnya. Tapi ayah marah, dan sejak saat itu Rara tidak diijinkan memegang handpone lagi.

Dua tahun telah berlalu, Rara telah lulus dari sekolah dasar. Semenjak ayah menjemput Rara dua tahun lalu, tidak pernah sekalipun Rara bisa bertemu dengan ibu dan kedua kakaknya. Tanpa sepengetahuan Rara, ketika itu ayah telah mengurus kepindahannya dari sekolah yang lama. Dua tahun cukup rasanya bagi Rara untu bersabar dan berusaha memahami sikap ayah. Ayah memang sayang padanya, tapi watak keras ayah yang selalu membuat Rara ketakutan sehingga tidak pernah mau membantah.

“Ayah, kapan Rara bisa bertemu dengan ibu?,” suatu ketika Rara pernah bertanya pada ayah.

“Tunggu saja saatnya, pasti Ayah akan mengantarkanmu ke tempat ibu,” jawab ayah sekenanya.

“Kapan, Yah?,” tanya Rara lagi. Ayah tak menjawab. Cuma pandangan matanya yang tajam cukup sebagai jawaban bagi Rara. Dan Rara tidak pernah berani bertanya lagi. Karena Rara tahu tabiat ayahnya yang tidak berubah dari dulu.

Demikianlah, waktu berlalu begitu cepatnya. Hari berganti hari, tidak terasa sekarang Rasa sudah remaja. Sudah duduk di kelas XII, dan mereka sudah tinggal di kota Malang. Ayah memang memboyong Rara ke kota itu. Tante Sely yang notabene berasal dari Malang mau melanjutkan usaha dagangnya di sana. Selama ini tante memang baik dan menganggap Rara sebagai anaknya sendiri. Rara tidak tahu apakah tante itu memang tulus menyayanginya atau tidak. Yang jelas selama ini beliau sangat baik dan tidak pernah marah tanpa alasan. Apalagi tante dan ayah tidak punya anak lagi selain dia. Tapi bagaimanapun, sebaik-baiknya tante Sely, Rara tetap mendambakan dekapan dan kasih sayang ibunya.

Rasa kangen dan rindu yang selalu ada dihatinya dibiarkan terpendam begitu saja. Rara tidak tahu bagaimana caranya bisa bertemu dengan ibu dan kedua kakaknya. Akses untuk komunikasi apalagi bertemu dengan ibu ditutup sama sekali oleh ayah. Ayah… kejamnya dirimu, jerit Rara dalam hati. Namun Rara tetap menggantungkan harapannya, agar suatu saat kelak, ada jalan baginya untuk bertemu dengan keluarganya kembali. Rara selalu berharap dan berharap. Entah sampai kapan Rara harus menggantungkan harapan itu. Entahlah…

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kan..bikin penasaran lagi...mantap..supaya pembeca ngikutin terus ceritanya.. ku tunggun kelanjutannya..

18 Apr
Balas

Semoga doa Rara untuk bertemu ibu terkabul...Mantap fit...

17 Apr
Balas

Trims via

17 Apr

Lanjut,semoga Rara bahagia dan bertemu ibu nya.

18 Apr
Balas

Ya, kepoin endingnya bu

18 Apr



search

New Post