Ailen Rossananda

Ailen Rossa Nanda, lahir di Bukittinggi pada hari Minggu tanggal 6 April 1969. Merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Menempuh pendidikan dasar di kota kela...

Selengkapnya
Navigasi Web

MENILAI DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG

Keluhan guru tentang perilaku siswa jamak terdengar. Keluhan-keluhan itu sering berhenti pada sekadar keluhan saja. Siswa tetap berperilaku seperti yang dikeluhkan tersebut dan guru tetap pada keluhan tanpa solusi. Sering bola mati pada tahap ini, siswa drop out. Syukur jika keluarga masih peduli dengan memindahkan ke sekolah lain.

Hari itu hari Senin, ketika beberapa guru mengomel tentang seorang siswa yang selalu membuat onar di kelas. Sebut saja namanya Amin. Pembelajaran terganggu dengan kehadiran Amin di kelas itu. Amin selalu bersikap seenaknya saja. Jika ingat sesuatu dia akan langsung bicara walau kelas sedang hening. Kontan saja caranya itu membuat kelas riuh. Ada yang tertawa, ada yang menggerutu dan ada yang balas teriak. Amin yang ditegur pasang muka tidak bersalah.

Amin tidak pernah betah duduk dibangkunya. Dia selalu berpindah dengan berbagai alasan. Tugas-tugas yang diberikan tidak pernah diselesaikan. Dalam berpakaianpun Amin sering tidak mematuhi aturan. Baju sering keluar, sepatu yang dipakai tidak berwarna hitam. Jadilah Amin trading topik setiap hari.

Karena sudah mengganggu ketertiban umum, dipanggillah orang tua dari Amin. Tidak semudah yang dibayangkan ternyata, setelah hampir seminggu si skor pada hari ke enam datanglah tantenya Amin ke sekolah. Tante Amin ini baru mengetahui tadi pagi kalau dirinya dipanggil ke sekolah, dan baru tau kalau Amin si skor seminggu. Tentu saja tidak diterima begitu saja karena yang disuruh datang orang tua, bukan tantenya. Setelah di sampaikan dari a sampai z permasalahan Amin tentu saja dengan ber- api-api, Tante Amin hanya menunduk, sekali-sekali dipandanginya ponakannya.

“Saya yang membesarkan Amin dari kecil, Bu!”, kata Tante Amin pelan.

Guru yang memanggil Amin langsung dapat menangkap maksud tantenya, dari air muka yang terpancar.

“Amin tidak pernah tau wajah ibunya, ibunya meninggal ketika melahirkannya”, jelas ibu muda itu. Nampak mendung di matanya dan mendung itu menghampiri mata Bu Guru dan menahannya supaya tidak turun hujan.

“Bagaimana dengan ayahnya?”, Bu Guru coba bertanya.

“Menikah lagi, dan tidak ada kabar beritanya sampai sekarang”, jawab Tante Amin.

Pembicaraan berlangsung selama 15 menit. Setelah berjabat tangan. Tante Amin pulang, Amin kembali masuk ke kelasnya. Tapi sekarang lebih tenang.

Lain Amin, lain pula Beti. Beti siswi yang “saulah” alias patuh. Ketika penerimaan rapor mid semester hanya orang tuanya yang tidak hadir. Rupanya Beti tinggal sendiri di kota ini. Sepulang sekolah Beti bekerja di toko untuk membiayai sekolahnya. Beti tidak punya keluarga di sini. Dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sampai ujian semester berlangsung, rapor mid semesternya masih di tangan wali kelas.

Candra, siswa yang berikutnya, hampir sama dengan Amin selalu membuat onar. Setelah orang tuanya di panggil, baru diketahui bahwa siswa ini tinggal bersama neneknya yang sudah jompo. Orang tuanya berpisah dan sama-sama menikah lagi. Si anak membiayai dirinya sendiri dengan menambang pasir sungai.

Berbeda dengan Candra, sebut saja namanya Debi. Siswa ini pemurung dan sering pingsan. Hari-harinya lebih banyak berada di ruang UKS daripada di kelas. Dia menolak di suruh pulang atau dijemput orang tua. Ketika ditanya, ternyata tidak ada siapa-siapa di rumahnya. Ibunya bekerja di Malaysia dan Ayahnya jadi buruh bangunan di kota lain. Sudah dua minggu ayahnya tidak bisa dihubungi. Untuk kebutuhan hidup ditanggung oleh kakak lakilakinya yang bekerja di toko kelontong. Dengan gaji 1,2jt sebulan, menanggung biaya hidup dua orang adik dengan rumah sewaan Rp.500.000,- sebulan.

Itu sebagian kecil kisah hidup siswa di sebuah sekolah. Sebuah sekolah kecil yang berada di pinggir kota. Sekolah ini tidak pernah mengadakan seleksi masuk, karena siswa bersekolah di sini adalah siswa yang tidak diterima di sekolah yang menjadi pilihan pertamanya. Sekolah ini didatangi siswa setelah sekolah lain menutup pendaftaran siswa baru. Ketika mengisi data dapodik diketahuilah sebagian besar dari siswanya berasal dari keluarga broken.

Jika saja tidak ada keinginan untuk mengorek keterangan dari siswa dan keluarganya, tentu solusi yang diambil adalah mengeluarkan siswa yang bermasalah tersebut. Dengan alasan tidak bisa dibina ya dibinasakan saja. Sekolah bebas dari siswa bermasalah sementara siswa tersebut masih punya masa dengan yang panjang.

Menempatkan diri pada posisi mereka adalah cara mengubah sudut pandang agar kita bisa memahami permasalahannya, mengambil keputusan dan solusi yang jernih. Bandingkan apa yang dialami siswa tersebut dengan yang kita alami ketika seusianya. Mungkin sebagian dari kita juga pernah merasakannya, bisa juga masa sekolah kita lebih beruntung karena diusia itu hanya memikirkan sekolah saja. Berbeda dengan mereka, anak ini seolah dikarbit untuk menjadi dewasa. Mereka menanggung beban yang belum pantas mereka pikul.

Cari perhatian! Bisa jadi itu bentuk kompensasi dari siswa tersebut. Mau protes kepada siapa? Jadilah mereka seperti yang kita cap selama ini, “Anak nakal”. Jika kita mau bersabar, menelusuri penyebab perilaku yang berbeda, betapa terenyuhnya kita mengetahui apa yang dialaminya. Mereka tidak butuh yang muluk-muluk, hanya sekadar perhatian yang selama ini tidak pernah dirasakannya.

Andai kita ( guru) mau menempatkan diri kita di posisinya, sebentar saja. Kita bisa rasakan rasa hampa karena di rumah tidak ada siapa-siapa. Kita bisa rasakan pulang sekolah cari uang dulu baru bisa makan. Kita bisa rasakan tidak punya waktu untuk mengerjakan pe-er. Mereka masih bisa tersenyum dan bercanda ketika sampai di sekolah.

Untuk dapat memahami dan menerima mereka, memang kita harus menempatkan diri di posisi mereka. Memberi perhatian lebih, semangat dan memberi kepercayaan akan meneumbuhkan rasa percaya diri pada diri mereka. Melibatkan dalam berbagai kegiatan positif akan membuat mereka merasa berguna. Itu akan dapat menumbuhkan semangat belajar dan semanagat hidup. Berhentilah menghakimi dan menghujat mereka sebagai anak nakal. Ucapan-ucapan negatif akan mengerdilkan jiwa mereka. Jadilah oase di tengah padang pasir. Masa depan yang cerah menunggu mereka. Mari kita gandeng mereka untuk menggapainya.

#ARN#

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Trims! Kadang kita salah menilai mereka.

06 Dec
Balas

Bagus pak, persis kondisi di sekolahku

06 Dec
Balas



search

New Post