Aini Rizqoh

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
*Sungguh Menyesal karena Baru Mengenalmu*

*Sungguh Menyesal karena Baru Mengenalmu*

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini tentu tidak asing lagi. Apalagi, kalimat tersebut acap melekat pada lidah kita, senikmat sambal, dipakai untuk menandaskan sebuah perkenalan sehingga perkenalan menjadi gurih dan bermakna (sok kenal lama).

Awalnya, saya galau abu-abu karena belum mengenal dia. Iyaaa, si dia, yang semakin saya mengenalnya, semakin pula hati saya menjadi semakin galau. Betapa tidak, kegalauan saya semakin memuncak tatkala benar-benar telah mengenal si dia. Menunda makan, susah tidur, dan rasa ngantuk terasa lenyap (kapokmu kapan, salahe golek masalah).

Dasar rempong. Siapa dia? Si Agus? Bukan! Budi? Juga bukan. Terus, dia dia dia, dialah Gurusiana.

Gurusiana ternyata menjadi incaran indah mata saya selama ini. Pencarian saya kini berlabuh. Komitmen kuat menggerakkan hati saya untuk menulis. Meski bonek (bondo nekat), saya tetap Arema (arek Malang). Saya melangkahkan kaki dengan sebilah cambuk untuk mengikuti pelatihan menulis di Batu pada 27-28 Januari 2017 di RM Sukaku Alami, Kota Batu.

Sengaja yang tidak biasa. Tiap Jumat biasanya saya masuk mengajar pukul 13.00. Namun, saya memberanikan diri dengan mengajak anak-anak masuk pukul 07.00. Tentu saya meminta izin dahulu ke kepala sekolah. Alhasil, dengan sedikit pemaksaan kehendak saya, saya tidak kebagian ruang kelas. Bagi saya, itu tak jadi soal.

Anak-anak saya giring masuk musala untuk belajar. Untuk jam berikutnya, mereka belajar di luar kelas. Sebab, belajar tidak harus berdinding dan beratap. Seperti biasa, di dalam kelas, sebelum pelajaran dimulai, semangat anak-anak luar biasa ketika mengaji bersama.

Literasi Alquran di sekolah saya memang sudah menjadi menu wajib setelah berbaris dan berdoa. Selanjutnya mereka membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Meskipun di luar kelas, anak-anak masih tetap semangat dan bisa belajar dengan baik, tanpa harus mengurangi makna proses pembelajaran untuk hari itu. Sungguh takjub. Senyum ceria mereka menguatkan saya untuk berangkat ke Batu. Meskipun, dalam hati kecil, saya berkata, “Maafkan Ibu, Nak."

Akhirnya, bel pulang berbunyi. Dengan penuh haru, saya berangkat ber-tholabul ’ilmi, luru ngelmu ”menulis” dari Guru Besar Jenderal Ihsan. Beliau adalah sosok guru mulia berhati putih. Membimbing kami dengan penuh kesabaran. Saya sangat bangga dan bersyukur bisa mengenalnya.

Tertonjok rasanya ketika beliau menyampaikan kalimat yang membuat saya malu. Bahwa gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan yang paling sakiiit adalah jika guru mati tidak meninggalkan buku. Rasanya nyesek banget. Sederhananya, malunya tuh di sini, ketika kita sudah didapuk menjadi guru. Saya jadi teringat, pada saat kita memberi tugas anak didik kita untuk menulis, tapi kita sendiri tidak menulis.

Yang menarik lagi, gereget menulis tumbuh ketika saya mengenal Bunda Istiqomah. Ia menjadi magnet cinta bagi saya dalam menulis (mungkin agak lebai, hehe). Subhanallah. Yang lebih seru lagi, di Batu saya belajar banyak dari guru hebat dan guru penulis yang semua sungguh luar biasa. Sangat bangga bisa belajar bersama guru hebat. Saya tentu berharap bisa mengidap virus untuk turut melahirkan karya hebat. Terima kasih yaa Rabb, hamba terjebak dalam majelis ilmu penuh berkah. Dahsyatnya menginspirasi.

Lanjut cerita. “Terkejar rasa penasaran, Ibu juga ingin belajar ke Pak Erte, yang katanya sih…ganteng.” Upsss, maaf, maksudnya yang punya kebiasaan unik, menelanjangi tulisan tanpa pandang bulu. Dengan metode kuningisasi yang khas, sudah menjadi gayanya. Ia telah menulis 50 buku. Dahsyat! Kata-katanya yang mengebom semangat membuat saya betah melek di depan lepi. Aiiiih…

Tanpa pikir panjang, saya langsung mlipir tipis-tipis, otewe (bahasa kekinian) ke RM Sukaku Alami yang kira-kira jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari gubuk saya. Saya merasa termagnet kuat dengan pelatihan ini. Hanya dengan bondo nekat. Bismillah. Innallaha ma’ana.

Jujur saja, selama saya ikut pelatihan menulis, baru kali ini saya seperti ayam kecil yang tidak kehilangan induk, aneh kan. Mulai dari yang hangat-hangat kuku, hingga terbakar semangat, semua ada. Karena melalui pelatihan menulis keren ini, sang maestro CEO dan pemred terjun payung, eh terjun langsung melakukan pendampingan pada anak bimbingannya. Belum lagi di grup WA setiap hari dipameri camilan bergizi, yang siap diasup. Bikin makin lapar membaca dan menulis.

Semangat membara, menyongsong satu guru satu buku di Hardiknas nanti. Subhanallah walhamdulillah. Impian yang saya impikan kini hadir di depan mata. Siap merengkuh mimpi, merajut helai demi helai.

Menurut saya, menulis buku harus melalui proses VIP sehingga bisa menghasilkan buku VIP juga (best seller), yang tak dimungkiri semua penulis ingin karyanya dicap itu. Proses VIP ini diramu penuh cinta. Pertama adalah visi, yakni bertujuan menumbuhkan semangat terus untuk belajar, berbagi, dan bertumbuh sehingga penuh nilai kebermanfaatan bagi sesama. Kedua ialah inspiratif, yakni memberi bumbu inspiratif penuh makna dengan sejuta inovasi dalam tulisan kita. Ketiga, persistensi, yakni semangat merampungkan, berniat sungguh, dan pantang malas menulis. Sebab, malas adalah sejenis penyakit yang tidak ada obatnya, yang terkadang menjadi musuh formalin dalam diri. Obatnya tak lain hanyalah kemauan diri kita untuk menolak rasa malas.

Dalam penyesalan terbersit, sebuah kalimat seksi yang melintas di otak. ”Andai saja saya mengenal si dia sepuluh tahun yang lalu (Gurusiana, red), pasti saya sudah gayeng menorehkan pena layaknya penulis profesional.” Hahayyy, bakalan keturutan deh, satu guru sejuta buku.

Let it be, di atas langit masih ada langit. Di dalam samudera masih banyak ikannya dan di dalam otak masih banyak ide menari-nari. Tuangkan sekarang, ikat sekarang juga. Toh, penulis profesional awalnya juga bergelar penulis amatir.

Berangkat dari penulis yang tabah (nol puthul), saya beranikan diri untuk mulai menggerakkan tangan, mata, hati, pikiran, HP, dan laptop. Bismillahi tawakkaltu 'alallah. Saya bisaaa, bergerak. Innamal a'malu binniyat, segala sesuatu itu bergantung pada niatnya. Menulis adalah ibadah.

Harapan saya, pelatihan ini tidak hanya sebatas pada pembimbingan menulis buku saja. Namun juga untuk karya-karya tulis lainnya. Giat menulis memberi aroma tajam, yang siap memecah denting kekakuan tangan dan kebekuan ide. Menghasilkan karya pijar yang diimpikan seluruh guru hebat Indonesia. Melahirkan catatan emas yang dituangkan dalam pena keabadian.

Alangkah mulianya hidup ini jika kita bisa mengikat ilmu dengan menulisnya. Turut berperan, mengabadikan dan mengharumkan karya guru-guru hebat Indonesia pada puncak Hardiknas 2017, Mei nanti. Allahu akbar!

Dengan bergerak menulis, kita akan sampai pada sebuah buku. Makin gemes sama Gurusiana. Di MediaGuru semua ada. Mulai ngerumpi emak-emak rempong, parenting, sampai menjadi guru profesional yang inspiratif. MediaGuru adalah media terkeren untuk belajar, berbagi, dan tumbuh bersama guru-guru hebat seantero negeriku tercinta Indonesia. Aamiin.

#BerkaryaSelagiBisa

#PantangJadiGuruJikaTidakMenulis

#KuthoAdem,11022017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post