Ai Ratnasari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
KEPULANGAN SANG PEMBERI CAHAYA

KEPULANGAN SANG PEMBERI CAHAYA

Seperti tahun lalu, tahun pertama kehilangan sang mentari kehidupan seolah melumpuhkan urat nadinya. Tak dapat dipungkiri perasaan duka yang seakan tiada berujung bagi Tiara. Demikian yang dialami seorang gadis yang baru keluar SMK tahun kemarin harus melewati ujian hidup yang maha dahsyatnya. Bungsu dari enam bersaudara ini harus kehilangan sebuah perisai dalam hidupnya.

Kenyataan getir ini, tak pelak membuatnya tak berdaya sejumput rasa pilu yang menginggapinya tatkala Ramadan tiba. Meskipun, ini tahun kedua kepergian ibundanya. Namun, bagi Tiara ini seperti kemarin. Setiap kali menyambut Ramadan adalah duka yang mendalam. Semestinya kehadiran bulan Ramadan yang selalu dinantikan oleh kaum muslimin, sepatutnya disambut suka cita dengan berbagai animo. Tapi tak luput, kesedihan tetap menggenang menyusuri segara rasa didasar kalbu.

Terkenang setiap Ramadan bagi Tiara yaitu berbagai kolak yang disajikan tangan dingin sang ibunda, makanan yang spesial yang selalu dihidangkan ibu tercinta, dan sebagai anak bungsu Tiara tak direpotkan harus memasak karena ada kakaknya Yanti yang membantu ibu di dapur. Namun itu dulu, saat Rahmah ibunya Tiara masih ada di dunia ini.

Dua tahun silam saat nestapa datang dan menjadi awal kemalangan bagi Tiara menempuh kehidupan. Betapa tidak, harapan menikah diurusi seorang ibu, harapan memberangkatkan umroh ibunda pupus sudah. Bukan menyalahkan takdir-Nya tetapi, rasa ketidakrelaan itu memekik semesta betapa ingin Tiara ibunya masih ada di dunia ini. Bersamanya melewati hari-hari dan menumpahkan segala curahan hatinya. Sungguh bagi Tiara ini melumpuhkan gerak hidupnya begitulah hidup untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.

Sore itu, masih menbekas dalam ingatan di sudut ruangan tergelar kasur yang sudah tiga bulan menempati ruangan keluarga. Anggota keluarga itu bergantian menunggui ibu Rahmah, kebetulan sore itu semua keluarga lengkap berkumpul. Ibu Rahmah seperti biasanya berkelakar meski sakit sampai tidak bisa berjalan, namun selalu tersenyum. Tiara menawarkan ibunya untuk makan.

“Ibu mau makan sekarang?” demikian Tiara menawarkan makan pada ibuRahmah.

“Iya” ibu Rahmah mengangguk sambil tersenyum

“Sebentar ya bu Ara salat dulu” demikian Tiara sambil pergi kekamar untuk salat asar.

Ibu Rahmah memiringkan tubuhnya kearah kiri dan berceloteh kepada Abas suaminya.

“Pak, Ibu mau pulang” uangkapan yang mungkin itu ketiga kalinya ibu Rahmah ucapkan. Kata-kata yang diucapkan orang sakit tak pernah dianggap serius. Begitu pun Abas suaminya hanya berdeham sambil merokok garam merah yang sedari tadi tidak berhenti menghisap tembakau kesukaanya dan menanggapi celoteh istrinya dengan senyum simpul. Kata-kata yang menyayat ulu hatinya, jauh di lubuk hatinya Ia sangat sedih mendengar gurauan istrinya.

“husstt, apa-apa an ibu itu jangan ngomong sembarangan. Umi mau makan sama apa?” Pak Abas menggoda istrinya dengan manja, mencoba mengalihkan apa yang dikatakan istrinya yang sering didengarnya. Pak Abas memanggil Tiara untuk segera memberi makan istrinya, agak teriak.

“Ara ini ibu mau makan sama sop iga???” sambil mengusap-usap kaki Bu Rahmah dan rokok yang taklepas dari tangannya.

Sambil mengenakan jilbabnya Tiara keluar dari kamarnya.

“iya, Pak sebentar” Tiara pergi ke dapur untuk mengambil makan untuk ibunya. Tiara menyuapi ibunya sore itu hingga tertidur, Tiara kerap kali terngiang-ngiang pepatang sang ibunda yang selalu mengingatkannya untuk salat diawal waktu, jangan membalas orang yang menyakiti kita, harus sering mengaji. Kita tidak tahu di alam kubur itu akan seperti apa karena hanya amal kebaikan yang akan menolong kita. Kata-kata itulah yang terpatri dalam sanubari Tiara.

Di luar dugaan pukul 20.00 bu Rahmah anfal tidak sadarkan diri. Semesta seakan telah men-setting semua saudara berkumpul termasuk keenam Saudara Tiara. Semua mendekap bu Rahmah, Pak Abas suami bu Rahmah mengucapkan zikir ditelinga istrinya. Tangisan dan teriakan seketika memekik malam. Didekap dan diciuminya bu Rahma oleh keenam anak-anaknya. Tiara yang memegang erat tangan ibunya memanggil-manggil sang ibu.

“Ibu-ibu maafkan Tiara, bangun ibu, bapak ibu kenapa?” sambil menoleh pada pak Abas Tiara semakin keras tangisannya dan dari belakang dipeluk oleh bibinya yaitu adik ibunya Bi Adah. Tiara pun pinsan malam itu.

Tak berapa lama Bu Rahmah tersadar, namun tidak begitu mengenal siapa-siapa yang berada disekitar. Para tetangga pun bergantian hadir, karena mendengar riuh tangisan yang keras membuat para tetangga berdatangan.

“Alhamdulillah” ucap Rangga Kakak Tiara yang nomor satu. Bu Rahma tertidur dan yang lainya juga ikut tertidur hanya kakak dari bu Rahma yaitu uaknya Tiara yang berada di sampingnya sambil mengaji.

Pukul 03.00 dini hari bu Rahma kembali anfal, uak Ohib membangunkan semuanya sambil mengerumun ibu Rahmah, kali ini uak Ohib seakan ngasih isyarat.

“Ingat, kudu ikhlas kasian ke ibu” sambil mendekap adiknya dan memegang dagunya hingga tak henti lantunan zikir disuarakan uak.

Pak Abas yang sedari tadi memegang kepala bu Rahmah tak pelak zikir dikumandangkan dari bibirnya melawan perasaan yang merundung seisi hatinya. Dengan meronta, memukul kakaknya Tiara tak mampu berkata-kata. Bibirnya bergetar menahan tangis yang tak kuat ia bendung. Saat azan subuh menggema saat itulah bu Rahmah menghembuskan nafas terakhirnya. Wajah yang tenang seolah melepaskan semua beban dunia yang menghimpitnya, wajah yang ikhlas berbalut senyuman.

Tangis saudara-saudara Tiara pun pecah seketika rumah seakan member lautan kesedihan. Jeritan yang membuana mengiringi kepergian ibu tercinta. Tiara untuk kesekian kalinya pinsan. Tak ada yang akan rela kehilangan orang tercinta.

Keesokan harinya Tiara dan keluarga berziarah kemakam ibunya. Seraya mendoakan dan meyakinkan dirinya bahwa sang ibu telah pergi untuk selama-lamanya. Di bawah pohon gandaria yang besar menjualng tinggi mencakar nabastala, daunnya yang lebat melingkung laksana memayungi sebuah pusara. Tiara mereka tkan tangannya pada makam ibunya, kini Tiara hanya bisa memeluk pusara yang member arti bagi hidupnya, member petuah tentang menjalani kehidupan dan mengingatkan akan kematian. Baginya ibunya adalah atma yang akan selalu bersemayam mengiringi perjalanan hidupnya.

Tiara mereka tkan kembali tangannya pada pusara ibunya, pusara yang member banyak nasihat dan teladan selama ibunya masih ada.

“ Ibu, Ara akan ingat selalu pesan ibu. Terimakasih atas nasihatnya semua kata-kata ibu adalah cahaya yang akan menerangi langkahku”.

Tak pernah ada yang tahu kapan kita akan meninggalkan dunia ini. Dia seorang ibu yang sempurna. Mengajarkan tentang hidup dan kehidupan. Bagaimana menjadi manusia yang baik menurut ajaran agama. Dan selalu mengingatkan tentang berpulang kepada Ilahirobbi. Wallahualambissawab.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post