Ai Ratnasari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
RINDU BERTEMU BIDADARI

RINDU BERTEMU BIDADARI

Malam itu nabastala malam bertabur sinar, kelap-kelip bintang menghiasi seisi jagat raya. Bulan pun di ufuk timur menyemarakan sinarnya meski temaram namun menerangi alam semesta. Suara Jangkrik di pesawahan penanda malam sebagai ciri khas timbulnya suara-suara hewan malam, seperti lolongan anjing dari kejauhan, suara katak yang bersahutan dan burung hantu terkadang muncul dengan suaranya yang membuat bulu kuduk berdiri menimbulkan atmosfer horror.

Agak lama Ajeng menengadahkan wajahnya ke langit seakan ingin memuntahkan semua kegundahan yang mengusiknya seminggu teakhir ini. Menjelang hari raya idul fitri ini Ia selalu dihadapkan pada perasaan yang menyayat sekujur tubuhnya. Menjelang lebaran Ia selalu disibukkan dengan buah tangan yang akan dibawanya ke rumah orang tuanya. Hal itu Ia lakukan sekitar dua minggu menjelang hari H.

“Bunda….?” Ajeng dikagetkan oleh kedua putrinya yang berlarian menghampirinya.

“Bunda ini mukenanya” putri keduanya menyodorkan mukena yang dikenakannya tadi saat terawih. Putrinya ini paling bersemangat ikut terawih meski bacaan salatnya belum sempurna bahkan ikut terawihnya juga hanya beberapa kali. Anak enam tahun itu selalu bersemangat berangkat terawih.

“Iya, ayo masuk rumah” ucap Ajeng yang sedikit kesal dikagetkan dan membuyarkan lamunannya.

Diringi Tiwi adiknya, Tari berlarian supaya sampai duluan ke rumah sambil mengacung-ngacungkan tangannya yang memegang kunci rumah yang Ia rebut dari bundanya.

“Ye……., duluan” sambil mayun-mayun bibirnya mengejek adiknya yang senang sampai duluan. Sang adik mendelik agak marah ulah kakaknya yang selalu bikin kesal hingga merajuk kepada Ajeng mengharap pembelaan dari sang ibunda.

“Bunda…, kakak jahat!” sedikit merengek sambil minta digendong seraya menjulur-julurkan lidah membalas ejekan kakaknya tadi gak mau kalah.

Ajeng hanya geleng-geleng kepala yang sudah terbiasa dengan tingkah polah kedua buah hatinya yang saling berebut perhatianya. Ajeng tidak membedakan perhatian putri-putrinya karena mereka sedang berada di dunianya. Dunia anak-anak yang belum mengerti, dan sebagai ibu Ajeng harus lebih memahami, sehingga apabila keduanya saling lapor siapa yang salah dan siapa yang benar. Ajeng selalu menempatkan diri sebagai orang yang bijaksana seraya memeluk keduanya hingga keduanya akur kembali. Dan setelah itu keduanya main bersama seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Itulah sejatinya dunia anak-anak.

Si centil Tari yang so mau menang sendiri, yang gak mau kalah, selalu marah kalau maunya gak dikabulin komplet dech membuat Ajeng habis kesabaran. Namun, seorang ibu sudah sepatutnya gak ada kata menyerah menghadapi anak yang selalu menguji kesabaran ibunya, karena disanalah ladang pahala yang akan dituai seorang ibu tatkala sedang diuji kesabarannya. Tari menyerah yang sedari tadi usaha untuk membuka pintu yang terkunci, beberapa kali kuncinya meleset.

“Bunda, hehehe susah dibuka” sedikit malu si cantik Tari menyodorkan kunci yang tadi Ia rebut sambil ketawa-ketawa dan menyedot es nutrisari yang dibelinya di warung Teh Neni.

Sang adik merasa senang melihat Tari kakaknya yang tidak bisa membuka pintu sambil berlarian ke dalam rumah dan meneriakin kakaknya setelah Ajeng membukakan pintu. Tari pun gak peduli ejekan adiknya dan Ia pun seperti biasa mengambil remote TV dan duduk selonjoran di karpet warna ungu tua bersebelahan bersama adiknya. Tiwi yang hobi ngemil berbeda dengan Tari yang kalau jajan sukanya mainan.

Suara bacaan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar syahdu. Sejak hari pertama bulan Ramadan masjid yang berjarak 2km an tak pernah sepi dari lantunan bacaan Al-Qur’an. Pesertanya tidak lain ialah peserta terawih yang lebih memilih menghabiskan malam,iktikaf di masjid ketimbang pulang untuk tidur. Diikuti oleh sekitar 10 sampai 15 orang di antaranya beberapa anak muda yang mengikuti tadarusan setiap malamnya. Pademi corona yang santer sepertinya tak menyurutkan untuk beribadah di daerah kami Cianjur selatan.

Malam itu Ajeng tak dapat memejamkan matanya, pilu hatinya menyayat kalbu. Rasa marah dan menyesal beradu hingga rasanya ingin teriak meluapkan perasaannya. Rasanya ini akan jadi sungkawa yang abadi begitu dalam pikirnya bergejolak. Tak pernah Ajeng mereda untuk tidak selalu memikirkan ibundanya tercinta. Di saat Ia mulai merintis kiriernya, banyak harapan yang ingin Ia berikan pada bidadari surganya itu. Ya… begitu Ajeng Ingin membahagiakan ibunya, memberangkatkan umroh dan mendandaninya dengan memberi apapun keinginan ibunya. Namun, manusia hanya memiliki keinginan dan pasrah pada ketentuan Ilahi. Akhir April adalah awal kepergiannya. Kepulangan yang tak diinginkan siapapun, tak percaya dengan apa yang terjadi dihadapan. Namun, setitik iman masih mengembara pada raga yang lemah ini demikian Ajeng meyakinkan hatinya.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.15. Dilihatnya kedua putrinya sudah tertidur di ruang TV, dengan TV masih menyala Ia matikan dan memindahkan kedua putrinya ke kamar depan. Satu-satu Ia gendong. Ia lakukan sendiri karena Arif suaminya kena lockdown di JKT jadi belum bisa pulang. Wabah corona itu seakan memisahkannya dengan belahan jiwanya untuk waktu yang lama.

Ajeng duduk di Teras depan menikmati alunan ayat-ayat suci Al-Qu’an yang bergema di ujung Masjid. Kerinduannya pada sosok ibunya, tentang makanan kesukaanya yang selalu Ajeng belikan menjelang hari raya Idul Fitri. Ajeng mengumpul-ngumpul oleh-oleh yang akan Ia bawa ke rumah ibunya di Cianjur Kota. Di sana Ajeng menghabiskan masa kecilnya bersama saudara-saudarnya. Seminggu menjelang hari H, Ajeng mulai mengumpulkan bawaan oleh-oleh untuk ibunya dan beberapa kali telpon ibunya.

“Ibu mau Ajeng bawa in apa?” apa aja ibu mah Ajeng pulang aja udah seneng.

“Itulah ibu” Ajeng bergumam. Ia membayangkan beberapa percakapan bersama ibunya yang terekam jelas. Ajeng memejamkan mata tak dapat dibendung lagi air matanya mengalir deras, ia memeras kedua tangannya. Dan membiarkan air matanya bercucuran, betapa ia merindukan sosok ibunya di hari fitri nanti.

Jumat pagi di Teras rumah beberapa barang bawaan oleh-oleh yang akan dibawa ke Cianjur Kota sudah berjejer. Demikian, sebutan orang kidul menyebutnya Cianjur Kota. Oleh-oleh itu untuk bapak, Bapak yang kini tinggal berdua dengan adik bungsuku dialah yang harus Ajeng bahagiakan. Itulah tekadnya Ajeng selepas ibunya wafat.

Pagi itu, Ajeng terduduk di ruang tamu. Kursi rotanberwarna coklat itu memiliki arsitektur tinggi karena dibuat dengan tangan yang memiliki nilai seni yang tinggi. Ajeng mengirimkan pesan melalui wattsapp kepada bapaknya, bahwa Ia dan keluarga akan berangkat pagi itu.

“Ayo Bunda, semua udah siap. Barang-barangnya udah dimasukin mobil, cek takut ada yang tertinggal” suara Arif cukup mengagetkannya Ia bangkit dan mengecek barang bawaanya.

“Udah lengkap yah” Ajeng memastikan suaminya dengan mengacungkan jempol tangannya tanda OK.

Dari dalam mobil kedua putrinya teriak-teriak.

“Ayo bunda, ayo ayah berangkat?” Tari dan Tiwi yang tak sabaran menyuruh ayah bundanya naik mobil.

Tak lupa Ajeng mengunci pintu dan menyalami beberapa tetangga dengan tangan di dada serta pamit seraya menitipkan rumahnya selama pulang ke rumah orang tuanya. Mobil pun melaju dengan cepat, tak bosan kedua putrinya saling mengungkapkan bahagianya akan bertemu dengan kakek, tanteu, om dan sepupu-sepupunya. Hingga, baru setengah perjalanan mereka tertidur.

Arif melirik Ajeng yang sedikit melamun selama perjalanan, dan sesekali bercerita tentang kondisi selama di Jakarta. Namun, rupanya Ajeng isi kepalanya dipenuhi kegundahan yang membuatnya ingin bermain dengan lamunannya sendiri. Arif pun seolah memahaminya dan membiarkan Ajeng untuk mempersiapkan diri dengan kenyataan yang akan direngkuhnya.

“Alhamdulillah sudah sampai” suara Arif membangunkan Ajeng yang sempat tertidur benar saja Ia sudah berada di depan rumah yang tak asing.

Di halaman inilah sang ibu selalu menyambut kedatangannya dan kedua cucu yang berlarian memeluknya. Dan kini, pemandangan itu tiada hanya lukisan kenangan yang mengitari batok kepalanya. Ajeng menyeka air matanya yang sempat menetes. Diciumnya tangan ayahnya yang dengan senyuman khas ayahnya mambuat Ajeng ingin menangis sejadi-jadinya.

“Bapak sehat?” dengan suara parau menahan tangis yang ingin pecah namun ditahannya karena beberapa tetangga turut menyambutnya.

“Alhamdulillah bapak mah sehat, nak” dengan memakai sarung dan baju koko merah marun Pak Jaja sangat sumringah dengan kedatangan putri, menantu dan cucunya. Digendongnya kedua cucunya bergantian dan mengajaknya ke dalam rumah.

Allahu akbar…allahu akbar lailahaillah wallahu akbar, Allahu akbar Allahu Akbar walillahilham. Gema takbir itu petanda besok umat Islam akan merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Ajeng dan adik serta adiknya Iparnya memasak khas untuk lebaran. Aktivitas yang jarang Ia lakukan saat almarhumah masih ada. Alhasil, makanannya pun alakadarnya ada bistik, sambel goreng ati, dan beberapa masakan lainnya. Ajeng mencoba berdamai dengan keadaan saat kini tak ada sosok paling hebat. Sosok yang memberi pandangan hidup seolah memberi peta kehidupan, yang selalu lembut kala berbicara. Selalu mementingkan anak-anaknya dibanding kebutuhannya sendiri, yang terpenting anak-naknya senang. Sungguh, sosok yang langka bak bidadari surge.

Keesokan harinya kami disibukkan dengan aktivitas pagi menyambut idul fitri. Dari mulai antre ke kamar mandi, menghangatkan masakan dan mempersiapkan baju-baju baru yang akan dikenakan. Lebaran kali ini sangat berbeda, ya ..jelas sekali ketiadaan ibu tercinta dan melaksanakan salat ied yang diberi jarak antarsaf.

“Kita langsung ke Makam Ibu” ucap bapak usai kami beurai air mata karena saling maaf memaafkan selepas salat ied.

Tibanya di Makam yang berjarak tidak jauh dari rumah kami, tempat inilah tempat peristirahatan ibu yang terakhir. Kami terunduk pilu, penuh kepasrahan melafazkan asma Allah. Ajeng mematung memandangi gundukan batu pualam yang menutupi tanah itu adalah orang yang Ia dan keluarga cintai. Segenap doa terpanjatkan untuk ibu Syadiah, seorang ibu yang kuat, memberi tauladan bagi kami anak-anaknya. Entah kapan kami dapat dipertemukan kembali karena kami yakin saat dunia fana ini kan berakhir akan ada pertemuan dengan ibu yang yang sudah melahirkannya kedunia ini.

“Ibu aku rindu engkau, rindu tentang semua teladan hidupmu! Ya Rabb yang maha kuasa pertemukan kami kelak di Surga” Ajeng berucap sambil memandangi pusara ibunya dengan tersenyum berulang-ulang menyeka air matanya. Pertemuan itu ada atas dasar keyakinan pada Rabbku. Demikian Ajeng meyakininya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantul cerpennya bunda. salam sukses selalu

08 Apr
Balas

Terima kasih Pak. Salam sukses kembali

08 Apr
Balas



search

New Post