
Bukan Pilihan
#tantanganGurusiana
#harike16
BUKAN PILIHAN
Ujian kelulusan sekolah menengah pertama sudah di depan mata. Buku-buku pelajaran mulai dari kelas satu sampai kelas tiga sudah ditumpuk. Beberapa buku sudah dibaca dan dipelajarinya kembali. Menyadari materi pelajaran yang demikian banyaknya, walaupun buku paket hanya mengandalkan buku pinjaman seadanya dari perpustakaan sekolah, namun catatan dan ringkasan dari semua mata pelajaran dianggap sudah cukup lengkap.
Semangat belajar di semester akhir sangat tinggi, Zahra bertekad memenuhi perjanjian dengan ibunya sendiri. Walaupun dari awal masuk ke sekolah menengah pertama, tidak masuk peringkat sepuluh besar secara paralel di sekolah itu. Namun secara bertahap berusaha meningkatkan prestasi belajarnya. Hingga di semester kelima baru masuk deretan ke sepuluh secara paralel dari delapan kelas di sekolahnya.
“Zahra.....!”, seru ibunya memanggil dari balik pintu kamar Zahra.
“Ya, Mah....ada apa?” tanya Zahra sembari membalikkan tubuhnya yang mungil menghadap ibunya di balik pintu.
“Mamah tahu, keinginanmu melanjutkan sekolah ke sekolah menengah atas. Apalagi prestasimu di sekolah dari semester awal sampai sekarang menunjukkan peningkatan yang sangat bagus.” Ibunya mengawali pembicaraan serius sambil duduk di pinggir dipan berhadapan dengan Zahra.
Zahra termangu, mendengar ucapan ibunya. Apa gerangan yang akan ibunya katakan sebenarnya.
“Melihat kondisi keluarga kita, kalau ke SMA tentu harus ada pemikiran untuk melanjutkan lagi kuliah ke perguruan tinggi, mamah khawatir ngga kesampaian untuk membiayainya, Nak.” Ibunya lebih meyakinkan Zahra.
“Menurut Mamah, supaya cepat memperoleh pekerjaan seperti saudara-saudara dan kerabat kita, sebagian besar yang lulusan sekolah pendidikan guru mereka langsung bisa mengajar di sekolah-sekolah dasar di kampung kita. Maka, Mamah juga ingin kamu cepat bekerja seperti mereka.”
“Tapi, Mah...Zahra punya cita-cita bukan sebagai seorang guru, Zahra ingin membangun desa kita ini di bidang pertanian, kelak ingin melanjutkan kuliah ke Institut Pertanian Bogor. Zahra bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian”. Zahra pun menjelaskan cita-citanya.
“Mamah menghargai cita-cita dan usahamu, Nak. Pertimbangkanlah kembali, masa depanmu. Keadaan ekonomi kita saat ini saja, sangat kekurangan jangankan untuk melanjutkan kuliah kelak. Buat makan kita sehari-hari saja juga masih repot. Jika masuk ke sekolah pendidikan guru, nanti kalau sudah lulus bisa langsung menjadi tenaga honorer mengajar atau kalau memungkinkan juga bisa kuliah di Institut keguruan.” Ibunya menjelaskan kembali.
Tak terasa linangan air mata berjatuhan membasahi pipi Zahra. Cita-cita yang diinginkannya selama ini, seakan menjauh dari kenyataan. Tak tega melihat Zahra yang tertunduk menyeka air matanya, ibunya tersadar kalau ucapannya bisa mengganggu konsentrasi belajar Zahra yang beberapa hari lagi akan melangsungkan ujian kelulusan.
“Begini saja, Zahra...., Mamah tentu saja menginginkan yang terbaik buatmu, Nak. Seandainya kamu berhasil meraih hasil ujian nasional tertinggi di sekolahmu, silahkan kamu pilih sekolah sesuai keinginanmu. Tetapi seandainya hasil ujian nasionalnya di bawah peringkat satu, terpaksa kamu harus mengikuti keinginan mamah.” Ibunya memberikan tantangan supaya semangat belajar Zahra terpacu dan termotivasi untuk meraih cita-citanya.
Tantangan yang teramat berat, alamat cita-cita yang diidam-idamkan ngga akan kesampaian. Mungkinkah bisa mengalahkan prestasi teman-teman yang selama ini selalu langganan sepuluh besar, setiap awal semester selalu tampil di depan saat upacara hari pertama masuk sekolah. Sementara Zahra, baru sekali saja di semester lima itu pun peringkat sepuluh, terakhir dipanggilnya saat upacara itu.
Tapi bagaimana lagi, biar pun tak sesuai keinginan pribadi. Tetap harus menunjukkan sikap yang taat dan patuh pada orang tua satu-satunya saat ini. Ibunya berstatus single parent, sejak lima tahun lalu ditinggal ayahnya menghadap Sang Maha Pencipta. Zahra bertekad, apa pun yang akan terjadi nantinya itu kehendak Allah yang terbaik baginya.
Hari-hari menjelang ujian kelulusan dilalui dengan belajar dan belajar setiap saat. Pelajaran tambahan yang dijadwalkan di sekolah selalu diikuti. Setiap hari harus dua kali berangkat ke sekolah, pagi-pagi pelajaran rutin sementara sore hari pelajaran tambahan membahas soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Jarak yang lumayan jauh dari rumah ke sekolah, waktu tempuh tiga puluh menit dengan berjalan kaki tak menjadi halangan untuk semangat belajar walau terkadang cuaca juga kurang mendukung apalagi di musim hujan.
Tantangan lain saat ujian kelulusan ini, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sehingga ujian mental beribadah, kesabaran dan keikhlasan menahan haus dan lapar di siang hari pun harus dilakukan bersamaan dengan ujian sekolah. Saat waktu sahur tiba, sambil menunggu menghangatkan nasi Zahra menyempatkan sholat malam . Memanjatkan do’a memohon kemudahan dan kelancaran dalam pelaksanaan ujian sekolahnya. Seakan-akan berdialog dengan Allah SWT, berada di depan hamparan sajadah. Melihat dan mendengar semua do’a-do’a yang dipanjatkan.
Usai makan sahur bersama ibu dan keempat saudaranya. Sebagai anak perempuan pertama, Zahra bertanggung jawab untuk membereskan kembali semua perlengkapan bekas makan sahur, mencuci piring, gelas, sendok dan alat-alat masak lainnya, sambil mengambil air wudhu menjelang sholat subuh. Selesai sholat subuh dan tadarus, waktu dimanfaatkan untuk kembali membuka dan membaca buku pelajaran sesuai mata ujian yang akan dilaksanakan pada hari itu. Kebiasaan ini dilakukan selama beberapa hari bertepatan dengan ujian nasional, dengan harapan apa yang dicita-citakan tercapai. Penuh keyakinan doa tulus dan ikhtiar di bulan Ramadhan akan mendapat keberhasilan dan dikabulkan Allah SWT.
Pengumuman kelulusan dan hasil ujian hari itu akan dilaksanakan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, acara pengumuman kelulusan saat ini hanya mengundang orang tua. Itu pun dilakukan di aula sekolah tanpa ada acara perpisahan dengan hiburan penampilan dari perwakilan masing-masing kelas, apalagi disertai dengan upacara adat. Acara saat itu benar-benar sangat sederhana, entah apa yang terjadi di sekolah ini. Sementara para siswa menunggu di luar aula, menanti hasil pengumuman kelulusan. Acara-demi acara seremonial terdengar sayup-sayup dari dalam aula. Sambutan kepala sekolah, tak terdengar secara jelas. Yang dinanti-nanti oleh semua siswa adalah pengumuman kelulusan. Karena hasil ujian nasional inilah syarat yang menentukan pendidikan lanjutan yang akan ditempuh.
Dengan penuh harap dan jantung yang berdebar-debar, hati gelisah menanti hasil ujian nasional yang akan segera diumumkan. Detik-detik penentuan masa depan dari hasil ujian yang diperoleh. Sesekali Zahra menengok dari balik jendela kaca, acara demi acara yang sedang berlangsung. Giliran Pak Surachman sebagai wakil kepala sekolah bidang akademik mengumumkan hasil ujian nasional secara keseluruhan, dan diakhiri dengan informasi sepuluh terbaik peraih nilai ebtanas murni. Mulai dari peringkat sepuluh, sembilan, delapan sampai peringkat dua dibacakannya satu persatu. Perasaan sedih dan lemas membalut kegelisahan Zahra. Pasrah dengan keputusan takdir yang menimpanya. Ngga apalah, ini saatnya berbakti menuruti keinginan ibunya.
“Dan peraih nilai ebtanas murni yang pertama adalah.....Zahra Sumardi”, dengan suara menggelegar Pa Surachman di seisi ruangan aula diiringi dengan tepuk tangan meriah orang tua dan guru-guru yang hadir di ruangan itu. Sembari saling lirik dan bertanya-tanya di antara para orang tua, yang mana gerangan siswanya yang disebut namanya terakhir itu. Selama ini nama itu asing bagi para orang tua, apalagi lima semester terakhir siswa yang masuk sepuluh besar orangnya itu lagi itu lagi.
“Ya, Allah...benarkah yang diucapkan Pak Surachman tadi?” gumam Zahra. Tak menyangka sama sekali, perjuangan dan do’a yang selalu dia panjatkan ternyata Allah SWT mengabulkannya.
“Alhamdulilah, alhamdulillah. Ya, Allah....terima kasih, segala puji bagi-Mu. Engkau telah mendengar do’a dan harapanku.” Tetesan air mata bahagia nampak dari wajah gadis remaja.
Setelah acara pengumuman berakhir, semua berhamburan ke luar ruangan aula. Zahra, masih tertegun seakan tak percaya apa yang terjadi. Mukhlis, yang selama ini selalu bertengger di peringkat pertama, ternyata saat itu bergeser di posisi keempat. Mukhlis datang menghampiri Zahra dan mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
“Selamat ya, kamu pantas meraih prestasi ini. Semoga dengan nilai ujian yang tinggi ini bisa meraih cita-citamu.” Ucap Mukhlis
“Terima kasih, Mukh....seharusnya kamu yang menempati posisi ini, tiap semester kan kamu yang selalu meraih peringkat pertama.” Zahra merendah.
“Ngga kok, ini sudah ketentuan-Nya, setiap orang berhak meraih yang terbaik kalau diiringi dengan do’a dan usaha yang maksimal.” Jelas Mukhlis.
Tak lama Pak Surachman menghampiri mereka berdua. Pak Surachman, sebagai guru fisika bertubuh kekar, berwajah garang. Terkenal kiler, di antara guru-guru lain di sekolah itu. Setiap masuk kelas, selalu membawa mistar panjang. Dan tanpa basa basi membuka pelajaran, langsung memberikan pertanyaan kepada semua siswa secara bergiliran sambil mistar diacungkan ke hadapan wajah siswa yang ditanyanya. Jika jawaban salah, plak....mistar dipukulkan di meja siswa itu. Semua siswa tentu saja ketakutan, dan selalu siap-siap belajar menghafalkan pelajaran yang sudah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. Supaya mistar panjang itu tidak dipukulkan di mejanya, untung saja tidak dipukul pada badan siswa-siswanya.
“Zahra, Mukhlis....kalian anak-anak hebat, selamat atas prestasi belajar kalian. Terutama Zahra, bisa mengejar prestasi teman-teman yang lain. Dan kamu Mukhlis, beberapa bulan terakhir ini, Bapak lihat prestasimu mengalami kemunduran, hingga bisa tergeser oleh Zahra. Tapi apa pun hasil ujian sekarang, semoga menjadi modal bagi kalian untuk bisa melanjutkan sekolah sesuai dengan cita-citamu.” Pak Surakhman memberikan nasihatnya.
“Ya, Pak. Terima kasih atas segala bimbingan dan nasihatnya.” Zahra dan Mukhlis bersamnaan.
Penuh riang gembira, Zahra bisa memenuhi tantangan dari ibunya. Tak diduga tak disangka, ternyata tantangan itu mampu dicapainya. Tak sabar ingin segera melaporkan hasil ujian nasional yang diperoleh sebagai peringkat pertama di sekolahnya. Dan menagih janji ibunya, dengan terpenuhinya tantangan itu, berarti Zahra dapat melanjutkan sekolah sesuai dengan keinginannya.
“Assalamualaikum... .” sesampainya di rumah Zahra mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam... ”, jawab ibunya.
“Bagaimana, hasilnya Nak? Tanya ibunya kembali.
“Alhamdulilah, Mah. Zahra diumumkan sebagai peraih nilai ujian nasional tertinggi.” Dengan mata berbinar-binar penuh harap, ibunya juga berbahagia.
“Alhamdulilah, ya Allah....selamat ya Nak, kerja kerasmu membuahkan hasil.” Jawab ibunya sambil memeluk putrinya penuh cinta.
“Ya, Mah...terima kasih, ini juga berkat do’a restu dari Mamah. Dan, ini berarti Zahra bisa melanjutkan sekolah sesuai keinginan Zahra, khan Mah?”, jawab Zahra penuh keyakinan.
“Ya....semoga, apa yang dicita-citakan bisa kau capai, Nak.” Kata ibunya.
Sejak pengumuman kelulusan itu, Zahra dan teman-temannya yang lain mulai mempersiapkan berkas-berkas untuk melakukan pendaftaran ke sekolah yang diinginkan masing-masing. Nilai ujian saat itu benar-benar murni, nilai berapa pun yang diraih oleh siswa tak menentukan kelulusan asal menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan memenuhi persyaratan berdasarkan hasil keputusan musyawarah Dewan Guru.
Sepulang sekolah, Zahra menyodorkan formulir pendaftaran ke sekolah menengah atas sesuai pilihannya, untuk ditanda tangani oleh ibunya.
“Mah, ini formulir pendaftaran ke SMA itu.” Kata Zahra.
“O, ya. Zahra... maafkan Mamah, Nak. Setelah dipikir-pikir, sejak pengumuman kelulusan itu. Mamah, harap kamu ngga kecewa. Kondisi ekonomi kita yang sangat terbatas ini, jadi bahan pertimbangan. Kita hanya mengandalkan uang pensiunan peninggalan ayahmu. Mamah ingin kamu cepat bekerja setelah tiga tahun sekolah ini. Maka, terpaksa Mamah melanggar janji itu. Kamu harus daftar ke sekolah pendidikan guru, seperti kakakmu yang sekarang sudah kelas tiga. Supaya buku-bukunya, ngga usah beli. Kan bisa dipakai bekas kakakmu. Juga kost-an, bisa menghemat jika kalian kostnya berdekatan.”
Serasa disambar petir di siang bolong. Kecewa, sedih, prihatin dengan keadaan meluluhkan harapan dan cita-cita. Usaha dengan belajar keras selama ujian, do’a yang selalu dipanjatkan. Hasil ujian yang sangat memuaskan, ternyata tak cukup untuk meluluskan cita-citanya. Darma bakti pada ibunya yang diutamakan, mengorbankan semua harapan dan kerja kerasnya. Biarlah pengorbanan ini yang dilakukan, penuh keyakinan bahwa ketaatan dan kepatuhan disertai do’a restu ibunya dapat memberikan hikmah bagi masa depannya.
“Zahra, sudah daftar ke SMA pilihanmu itu?” tanya Pak Surakhman di sudut ruang perpustakaan sebagai tempat kolektif pendaftaran ke sekolah lanjutan.
“Maaf, Pak....ngga jadi saya daftar ke SMA.” Jawab Zahra masih terlihat sedih dan kecewa.
“Lho, kenapa ngga jadi, bukankah kamu bercita-cita ke SMA pilihanmu itu, dan nilai ebtanas murni yang kamu raih itu, pasti bisa masuk memenuhi syarat.” Pak Surakhman keheranan.
“Ya, Pak, Mamahku menginginkan saya melanjutkan ke sekolah pendidikan guru, mengikuti jejak kakakku.” Jelas Zahra.
“O, gitu. Kalau kamu mau, bisa Bapak daftarkan ke sekolah analis kimia di kota. Kamu khan suka pelajaran kimia dan fisika, buktinya nilai-nilaimu bagus di pelajaran itu.” Pak Surakhman mencoba mengalihkan sekolah, sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya.
“Ngga, Pak. Terima kasih. Saya harus patuh pada keinginan Mamah. Semoga ini yang terbaik bagi masa depan saya.” Zahra menolak dengan halus.
Semua persyaratan masuk sekolah pendidikan guru yang diinginkan ibunya sudah terpenuhi. Ternyata selain hasil ujian murni yang menjadi bahan seleksi, ada tahapan lainnya untuk dididik menjadi calon guru. Test wawancara dan test buta warna harus juga dijalaninya.
Seminggu setelah mengikuti seleksi masuk sekolah itu, pengumuman diterima tidaknya disampaikan melalui kantor pos. Hasil yang diperoleh Zahra, melalui serangkaian seleksi itu dapat diterima di sekolah pendidikan guru. Sekolah yang sama dengan kakaknya sendiri. Karena jauh dari tempat tinggalnya di desa, hingga Zahra harus ngontrak sebuah kamar di sekitar sekolah, untuk menghemat biaya maka sekamar berdua dengan teman SMP-nya dulu. Sementara, kakak laki-lakinya ngontrak kamar dengan teman-temannya di sebelah rumah kontrakan Zahra.
Hari-hari bersekolah dengan lingkungan baru, jauh dari orang tuanya dapat dilalui dengan penuh semangat walau tak sesuai dengan keingininannya, bukan pilihannya sendiri. Satu semester pertama, selain pelajaran di sekolah semua siswa baru harus menjalani Latihan Dasar Kepramukaan, disertai latihan mental sebagai calon pendidik. Mata pelajaran yang dipelajari setiap hari, sebagian besar menyangkut teori-teori pendidikan dan pembelajaran, materi, metoda, dan penilaian setiap mata pelajaran di sekolah dasar. Sementara mata pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, IPA, IPS, Matematika, hanya dipelajari sampai kelas 1 saja. Idealisme semangat belajar yang menggebu-gebu mempelajari mata pelajaran sain saat di bangku SMP, mulai memudar. Pelajaran yang dipelajari dianggap membosankan, setiap hari selalu dilalui dengan diskusi kelompok, kerja kelompok, demonstrasi,presentasi dan simulasi.
Tantangan mempelajari pengetahuan umum sangat rendah. Namun, tetap harus dilalui dengan penuh tanggung jawab, hingga mencari kompensasi aktivitas di luar pelajaran dengan turut aktif di beberapa kegiatan ekstrakurikuler terutama Pramuka dan PMR untuk menambah pengetahuan dan wawasan berorganisasi. Bagi Zahra, melanjutkan pendidikan di sekolah yang bukan pilihannya, bukan berarti bermalas-malasan menjalaninya. Tetapi sebagai tantangan baru untuk membuktikan, bahwa sekalipun bukan keinginannya namun bertanggung jawab untuk meraih yang terbaik. Berharap ada hikmah di balik pengorbanan cita-citanya.
Kobar,04022020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semangat ya dik Zahra. Ridho orangtua adalah ridho Allah SWT. Dijalani saja dengan ikhlas.
Terima kasih bu.....Insya Allah ikhlas
Keren! Lanjuut....Aku mah terhenti. Dua hari ga sempat nulis
Semangat teh.....walau kembali ke titik 0