Ai Tin Sumartini

Ai Tin Sumartini, M.Pd, lahir di Cikajang Garut Jawa Barat. Pengabdian sebagai guru PPKn sejak tahun 1994. Pendidikan terakhir S2 Program Studi PKn di SPs UPI B...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dewi Penolong
https://www.kompasiana.com/jumadimadi/5752b4a1db9373f50809c6dd/penolong-dari-cobaan-hidup-yang-bertubitubi?page=all

Dewi Penolong

#tantanganGurusiana

#harike72

Dewi Penolong

(bagian 2)

Dalam sebulan ini sudah tiga kali Aldis terlambat datang ke sekolah. Pengalaman diberi sanksi dengan tidak masuk kelas pada jam pelajaran pertama, membuatnya bertekad untuk tidak mengulangi lagi kesalahannya, apapun alasannya. Walaupun kondisi kesehatan ayahnya belum pulih, dia berusaha masuk sekolah tepat waktu. Maka sebelum berangkat sekolah, dia membantu ibunya untuk menyiapkan segala keperluan ayahnya selama ditinggalkan bersama adik bungsunya yang masih berusia 5 tahun. Tulang punggung satu-satunya saat ini yang mencari nafkah adalah ibunya yang masih bekerja sebagai asisten rumah tangga.

“Dis, jangan lupa titipkan keripik-keripik itu di kantong keresek pada Bu Wanti, ya,” seru ibunya sebelum berangkat kerja. Bu Wanti merupakan pemilik warung seberang jalan rumahnya, kadang-kadang ibunya Aldis menitipkan makanan untuk dijual di warung itu.

“Baik, Bu. Kalau banyak keripiknya saya titipkan juga di kantin sekolah, Bu”, jawab Aldis.

“Ya, besok kita coba nambah lagi membuat bungkusan keripik-keripiknya”, kata ibunya sambil pamitan pada suaminya yang masih sakit, namun sudah bisa duduk di kursi tua ruang tengah yang sekaligus ruang tamu. Sejak jatuh dari becaknya karena tersenggol mobil, ayah Aldis belum bisa bekerja menarik becaknya. Dia hanya istirahat di rumah kontrakannya, menunggu istrinya yang bekerja di rumah tetangga, serta anak-anaknya pulang sekolah.

Ibunya Aldis berangkat lebih pagi, pukul 06.00 sudah berada di rumah Bu Dirja, karena majikannya juga harus berangkat kerja. Selain sebagai asisten rumah tangga yang bantu-bantu pekerjaan rumah, Ibunya Aldis juga mengasuh anaknya Bu Dirja yang masih berumur 2 tahun. Biasanya dia bawa serta anak bungsunya bekerja, sekaligus sebagai teman main anak majikannya. Tetapi beberapa hari ini tidak dibawa karena menunggu suaminya yang masih sakit di rumah kontrakannya. Kadang-kadang siang hari pulang dulu ke rumahnya sekedar untuk menengok suasana rumah, sambil dibawa pula anak majikannya karena tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Pasangan suami istri Pak Dirja bekerja sebagai PNS di instansi pemerintah, sementara dua anak lainnya sudah sekolah di jenjang SMP dan SMA.

Setelah memastikan suasana rumahnya aman dan nyaman bagi ayahnya dan Aisyah adik bungsunya, Aldis bersama Anto adiknya yang masih sekolah di SD berangkat sekolah, tak lupa mampir dulu di warung Bu Wanti akan menitipkan barang dagangannya di sana.

“Wah, Kak. Warungnya tutup Kak”, seru Anto.

“Hmm....Ya, Dik, bagaimana nich keripiknya?” Aldis menimpali

“Ya, udah dititip saja di kantin sekolah Kakak, gimana?” Anto memberikan saran.

“Ya, akan kakak coba, ya...daripada tidak terjual”, Aldis menyetujui usul adiknya.

Aldis mengantarkan dulu Anto ke sekolahnya, yang berjarak sekitar 300 meter dari sekolahnya. Sesampainya di sekolah, pas bel berbunyi terpaksa Aldis membawa kantong keresek itu masuk kelasnya karena tidak mau terlambat lagi. “Pas istirahat saja, akan dititpkan ke kantin sekolah”, pikirnya.

Tetapi begitu melewati pintu kelas, datang dari belakang Aldis, Roni teman sekelasnya yang tinggi besar setengah berlari hingga Aldis terdorong dan kantong kereseknya terjatuh. Beberapa bungkus keripik pun berhamburan keluar dari kantongnya.

“Astagfirulloh....”, teriak Aldis.

“Kamu sich...menghalangi pintu, saya kan buru-buru, di belakang ada Bu Nina takut keduluan,” Roni membela diri.

Rasa malu bercampur sedih, Aldis memungut bungkusan keripik dari lantai kelasnya. Teman-teman sekelasnya melihatnya dengan penuh keheranan dan rasa kasihan.

“Dis, sini saya bantu”, Santi datang menghampiri.

“Ya, terima kasih, San”, jawab Aldis.

“Kok, kamu bawa keripik ini banyak sekali, mau dijual?” tanya Santi lagi

“Ya, San, tadinya aku mau titipkan di warung tetangga, tetapi warungnya tutup, jadi bawa saja ke sekolah mau dititipkan ke kantin saja,” jelas Aldis.

Bu Nina, guru pengajar Bahasa Inggris masuk kelas, untungnya keripik yang berantakan sudah rapi. Anak-anak kelas 8H sudah duduk di kursinya masing-masing. Sekalipun Aldis dapat mengikuti pelajaran dengan baik, tetapi konsentrasinya sedikit terganggu. Pikirannya masih tertuju pada bungkungan keresek yang terjatuh, dan banyak keripik yang hancur, pecah, tidak utuh lagi. “Tidak layak untuk dijual”, pikirnya. Berapa kerugian yang dia tanggung, jika tidak terjual. Tak ada lagi uang sebagai modal untuk membeli keripik. Teringat pula jerih payah ibunya yang bekerja di rumah orang seharian, harus meninggalkan ayah dan adiknya di rumah.

Bocah lelaki itu duduk termenung di teras depan kelasnya, Aldis tak nampak ceria seperti biasanya. Bingung harus diapakan keripik-keripik itu. Keadaannya sudah tak mulus lagi, pada pecah. Pasti Bu Erni pemilik kantin tak akan menerimanya.

“Kamu kenapa Dis, keripiknya mau dijual?” tanya Santi yang tahu kondisi keripiknya tadi pagi.

“Ya, ngga dech, sudah banyak yang hancur’, jawab Aldis.

“Saya bantu jual, ya...” seru Santi sambil mengambil kantong keresek yang berisi keripik itu.

“’Hai, Roni. Kamu harus beli keripik-keripik ini, gara-gara kamu jadi hancur. Kasihan Aldis tak bisa menjualnya ke kantin!” Seru Santi.

“Ah, ngga mau. Keripik hancur begitu”, jawab Roni.

Tapi bukan Santi namanya, jika tak berhasil memaksa Roni untuk membelinya.

“Ayo, kamu harus borong, Dis berapa sebungkusnya nich”, teriak Santi

“Hm.... dua ribu saja, San”, jawab Aldis.

“Ok, ayo beli....beli....dua ribu saja...dua ribu saja...”dengan semangatnya Santi menjualkan barang milik Aldis, walaupun keripiknya sudah banyak yang pecah.

“Pecah sedikit, ngga apa, nanti juga dikunyah di mulut lebih hancur lagi, ayo...ayo...beli, kita bantu Aldis...!” Santi mengulang teriakannya .

Santi, bagaikan dewi penolong. Walaupun sedikit cerewet, tapi hatinya baik. Suka menolong temannya yang mengalami kesulitan, memiliki kepedulian dan kepekaan yang sangat tinggi.

Akhirnya sekantong keresek keripik yang berisi 30 bungkus itu habis terjual oleh semua temannya di kelas. Tak perlu Aldis titipkan ke kantin sekolah.

Aldis hanya bengong, melihat tingkah teman-temannya yang sangat baik. Apalagi Santi yang banyak membantunya.

“Nih, uangnya Dis, ada enam puluh ribu rupiah”, Santi menghampiri Aldis.

“Duh, San, jadi merepotkan. Tapi terima kasih banyak, ya.” Aldis sangat bangga pada temannya. Saat ada kesulitan, maka datang kemudahan.

Lega rasanya, pikiran yang selama ini mengganggunya, ingin membantu kedua orang tuanya di saat-saat kesulitan ekonomi. Aldis, kembali bersemangat untuk mencari ide apa saja yang akan dilakukan, memanfaatkan waktu tetapi tidak mengganggu kegiatannya di sekolah.

Kobar31032020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post