Ai Tin Sumartini

Ai Tin Sumartini, M.Pd, lahir di Cikajang Garut Jawa Barat. Pengabdian sebagai guru PPKn sejak tahun 1994. Pendidikan terakhir S2 Program Studi PKn di SPs UPI B...

Selengkapnya
Navigasi Web
KEHILANGAN
Sumber Gambar : https://www.kompasia, tentang hubungan ayah dan anak na.com/masnunatulmasyiroh/5aae6873bde57529725473f2/mengapa-hubungan-antara-anak-perempuan-dan-ayah-harus-dekat?page=all

KEHILANGAN

#TantanganGurusiana

#Tantanganharike15

KEHILANGAN

Waktu liburan kenaikan kelas telah tiba, bertepatan dengan libur mengawali bulan puasa. Tetapi liburan kali ini disibukkan dengan berbagai aktivitas pembersihan lingkungan, pekarangan, genting, perabotan rumah, dan lainnya setelah sebulan berlalu sejak awal turunnya semburan abu gunung berapi menghujani hampir seluruh wilayah Priangan Timur. Bahkan konon katanya sampai ke wilayah Banten maupun Jawa Tengah. Begitu dahsyatnya letusan gunung itu sejak puluhan tahun lalu belum menunjukkan aktivitasnya. Namun sekarang menampakkan diri sebagai fenomena alam yang luar biasa. Sangat dirasakan penderitaannya bagi masyarakat sekitar. Harus kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian, peternakan, kolam-kolam ikan, bahkan sanak saudara. Semua rata tersapu lahar panas maupun lahar dingin, batu-batuan besar maupun kecil bertebaran tersembur dari mulut kawah.

Walau berada jauh dari pusat letusan gunung, namun pedesaan di mana Zahra bertempat tinggal dengan keluarganya juga terdampak hujan abu. Menyisakan polusi udara, tanaman banyak yang mati, pekarangan selalu kotor karena debu yang terhempas angin. Setiap hari tanaman disirami, teras-teras pekarangan rumah disapu dan dipelnya. Tetapi debu masih juga bertebaran di musim kamarau ini.

Zahra, gadis kecil berusia sebelas tahun itu sudah diberi tanggung jawab mengurus ketiga adiknya. Menyadari hidup masih menumpang di rumah nenek, sekalipun ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi harus membagi waktu dengan merawat dan mengurus rumah yang ditempatinya itu. Apalagi dengan keadaan pasca terjadinya peristiwa alam yang membutuhkan tenaga ekstra untuk kembali membersihkan seluruh perabotan maupun pekarangan rumah.

“Zahra, mandikan dulu kedua adikmu ya.” seru ibunya di pagi hari.

“Baik, Mah”, jawab Zahra, sambil menggendong adik bungsunya yang belum bisa berjalan dan menuntun adik keduanya ke kamar mandi.

Sudah terbiasa, tangan gadis kecil itu memandikan dan menggantikan pakaian kedua adiknya setiap hari di kala libur. Dilanjutkan dengan menyuapinya di pagi itu, walau dirinya berpuasa. Ibunya, sibuk mencuci pakaian, menyapu dan mengepel halaman di rumah keluarga besar itu. Sang ayah yang baru sembuh dan dirawat beberapa minggu lalu, sudah bisa melakukan aktivitasnya membersihkan halaman dari debu. Bahkan merasa dirinya sudah kuat, semua perabotan rumah dicuci dan dibersihkan dari debu. Dengan didukung cuaca yang cerah pagi itu, matahari sudah mulai meninggi, tak nampak awan hitam seperti hari-hari sebelumnya. Penuh semangat menyambut hari yang cerah, kasur, bantal, guling dan selimut dibawanya ke pekarangan rumah untuk dijemur. Terlebih dahulu digebuk-gebuk dengan gebukan kasur, supaya debu-debu dan kotorannya beterbangan tidak menempel lagi.

“Mungpung cuaca cerah, hari ini kita akan membersihkan genting-genting rumah kita dari debu. Khawatir tak sanggup menahan beban abu, jadinya roboh nanti. Maka kita gotong royong membersihkannya.” Ayahnya mengajak Zahra dan Fadil, yang dianggap sudah cukup tenaga untuk membantunya.

Rumah yang belum siap untuk dihuni, begitu dipasang genting tanpa pintu, jendela dan kaca. Keesokan harinya sudah diterpa hujan abu. Waktu sebulan dibiarkan genting-genting itu tertutup abu vulkanik.

Dengan hidung dan mulutnya yang ditutup handuk kecil, ayah Zahra menaiki tangga menuju atap genting. Perlahan-lahan anak tangga dinaikinya satu persatu. Betul saja ketebalan abu sudah lebih satu sentimeter. Untung saja, gentingnya kuat karena masih baru. Menggunakan peralatan seadanya, sendok tembok di tangan dan ember bekas bahan adukan siap menampung abu-abu tersebut.

“Fadil....naiki anak tangga itu, kamu tunggu di sana dan Zahra di bawah, estafetkan ini abu-abu dalam ember!” seru ayah Zahra.

Terlihat kerja sama antara ayah dan kedua anaknya. Tak lama juga ibunya menghampiri mereka, setelah pekerjaan di rumah nenek selesai. Siap membantu ayah dan anak-anak itu untuk merapikan abu-abu vulkanik, di belakang dinding rumah mereka.

Tak terasa waktu terus bergulir, hanya diselingi menunaikan sholat dluhur mereka terus melanjutkan pekerjaannya hingga perlahan-lahan atap genting sudah terlihat lagi warna aslinya. Walau dalam keadaan menahan lapar dan haus di bulan Ramadhan, mereka bersemangat membersihkan rumah setengah jadi itu. Setelah dua bulan dibangun atas jerih payah ayahnya menabung selama usia pernikahan mereka hingga dikaruniai lima orang anak. Merasakan berpindah-pindah tempat tinggal, mengontrak ataupun menyewa dari rumah yang satu ke rumah lainnya. Merasakan menumpang di rumah nenek baik dari pihak ibu, maupun dari pihak ayahnya. Dengan resiko perselisihan atau pertengkaran kecil kerap terjadi. Ketidaknyamanan tinggal bersama keluarga besar sudah cukup dirasakan. Hingga tabungan ayah Zahra sudah cukup untuk membangun sebuah rumah, walau lahan masih milik neneknya yang tak jauh dari rumah keluarga besar itu.

Waktu sholat Ashar telah tiba. Keluarga sederhana ini bergegas membersihkan diri mereka. Tak lupa jemuran kasur, selimut, bantal dan guling diangkat satu persatu dibantu Zahra dan Fadil. Cuaca sudah mulai mendung, tapi bukan mendung akan turun hujan abu tetapi ini betul-betul hujan air, yang sudah sekian lama tidak turun hujan. Musim kemarau yang dirasakan beberapa bulan terakhir, dilanjutkan dengan turunnya hujan abu vulkanik dari letusan gunung berapi menambah penderitaan penduduk akibat kekeringan dan kekurangan air bersih.

Tapi sore itu benar-benar berkah. Setelah seharian kerja bakti membersihkan genting dan semua perabotan rumah tangga. Guyuran air hujan yang sekaligus deras itu membersihkan genting-genting dari abu. Tanaman dan pekarangan rumah juga nampak segar kembali.

Hujan masih turun saat waktu berbuka puasa tiba. Penuh rasa syukur atas kekuatan yang diberikan Allah SWT, kekompakan dan penuh rasa cinta membangun keluarga dan mempersiapkan rumah yang diidam-idamkan selama ini.

Jam dinding tua berdenting dua kali di ruang tengah, menunjukkan waktu sudah pukul dua dini hari. Saatnya kaum muslim menyiapkan makan sahur. Sudah terbiasa ayah Zahra bangun lebih dulu, menyalakan kompor minyak tanah dan menghangatkan nasi. Ibu juga sudah terbangun, namun masih menyusui si bungsu yang berusia sembilan bulan.

“Mah, Bapak agak pusing mau tiduran lagi, ya.... Hati-hati kompor, sedang menghangatkan nasi.” Ayah Zahra mengingatkan pada istrinya.

“Baik, Pak. Istirahat saja dulu, seharian kemarin Bapak kecapean membersihkan rumah kita.” Jawab ibunya.

Tak lama berselang ibunya Zahra bangun untuk mengangkat nasi, dan memasak lauk pauknya untuk disantap saat makan sahur. Semua makanan sudah dihidangkan, tinggal membangunkan suami dan anak-anaknya.

“Zahra....Fadil ... Fauzi bangun....makan sahur!” ibunya membangunkan

Hanya ketiga anaknya itulah yang sudah biasa diajak makan sahur dan berpuasa di siang hari, sementara dua anak lainnya masih balita dibiarkan saja tertidur.

“Pak...Bapak...bangun, sahur sudah siap!” ibu juga membangunkan Bapak yang tak biasanya, karena Bapak jarang tidur lagi. Sambil menunggu nasi matang selalu digunakan untuk membaca Al Qur’an.

“Pak...Bapak....bangun!” dua kali ayahnya dibangunkan, namun tak bergerak sama sekali.

“Pak....Bapak....bangun!” tak ada reaksi sedikitpun

“Ya....Allah, apa yang terjadi,” gumam ibunya sambil terus meraba kepala, tangan kaki dan semua anggota badan ayah Zahra.

“Zahra...Fadil....lihat Bapakmu, Bapak pingsan...panggilkan bibimu!” teriak ibunya Zahra, menyuruh memanggil adik ayahnya yang seorang bidan.

Tak lama Bi Narti datang.

“Ada apa Ceu?” tanya Bi Narti pada ibunya Zahra

“Ini lihat Bapaknya, nggak bangun-bangun, coba cek tekanan darahnya dan jantungnya.

Bi Narti segera ke kamarnya, membawa peralatan kesehatan berupa stetoskop dan tensimeter untuk mengukur detak jantung dan tekanan darah. Kancing baju ayah Zahra dibukanya, Bi Narti mulai memeriksa detak jantungnya, kemudian menyingsingkan lengan bajunya serta memeriksa tekanan darahnya.

“Sudah lemah’, dengan suara lirih

“Untuk memastikan saya akan panggil dokter Jaka”, kata Bi Narti. Dokter yang selama ini selalu jadi parner kerjanya di puskesmas pedesaan.

“Zahra, Fadil, ambil air wudlu, kalian bacakan surat Yasin, do’akan Bapakmu cepat siuman!” perintah ibunya sambil menahan tangis, seakan firasat itu mulai terbukti.

Ayah Zahra yang beberapa bulan lalu menderita sakit jantung hingga harus di rawat di puskesmas pembantu, namun kembali sehat segar bugar bahkan siang tadi bekerja keras membersihkan semua perabotan rumah serta atap-atap genting dari abu vulkanik itu. Tak menyangka waktu itu akan datang juga.

Ayah masih terbujur kaku, hanya mengeluarkan cairan busa di mulutnya sedikit demi sedikit. Zahra didampingi Fadil, sang kakak membacakan Surat Yasin disamping ayahnya. Sesaat kemudian, dokter Jaka datang bersama Bi Narti. Memeriksa dengan teliti, dada dan pergelangan tangan ayah.

“Bagaimana dok, apa harus dibawa ke puskesmas lagi?’ tanya Ibu dengan terbata-bata.

“Maaf Bu, Bapak sudah tiada. Innalilahi wainna illaihi rojiun, Bapak sudah menghadap Allah.” Dokter Jaka menjelaskan.

“Ya, Allah....innalilahi wainna illaihi rojiun...” langsung ibunya Zahra memeluk ayah, sambil menangis tersedu-sedu. Mengerti apa yang terjadi Zahra dan Fadil pun yang tengah mengaji menghentikan bacaannya, dan memeluk ayah dan ibunya menangis sejadi-jadinya.

“Bapak....jangan tinggalkan Zahra.....Bapak....jangan tinggalkan Zahra...” tangisan Zahra pun meledak.

Ayah yang sangat perhatian dan menunjukkan kasih sayangnya pada Zahra, terutama saat Zahra terserang penyakit kulit. Karena perhatian ibu, tertuju kepada kedua adik kecilnya yang masih balita. Hanya ayahnya yang diandalkan untuk mengobatinya, dengan berbagai macam jenis obat dan ramuan. Jika sudah terserang gatal, ayah dengan segera memarut biji pala hitam dicampuri minyak goreng untuk dioleskan pada kedua lengan dan kaki Zahra yang terasa gatal. Kadang juga diganti dengan belerang murni yang dicampur juga dengan minyak goreng. Berobat ke dokter dan puskesmas sebenarnya juga sering kali dilakukan, namun belum juga sembuh. Baru sembuh setelah dibelikan obat salep antieksim oleh paman dari kota.

Dokter Jaka yang masih berdiri di samping tempat tidur ayah, menenangkan keluarga kecil itu. Semua anggota keluarga besar ini berkumpul di ruang tengah, dan segera memindahkan jenazah ayah ke ruang tengah untuk kemudian dipersiapkan pemandiannya. Makan sahur yang sudah dipersiapkan ibu dari dini hari tadi tak sempat mereka santap, hingga tiba waktu imsak .

“Zahra dan Fadil, setelah sholat subuh nanti kalian ke rumah nenek di kampung Cipandan, ya...dan beritahu saudara-saudara di sana kalau Bapak sudah meninggal.” Perintah ibunya, setelah agak tenang dari rasa sedihnya.

“Baik Mah,” jawab Zahra dan Fadil untuk segera melaksanakan sholat subuh.

Udara di luar cukup dingin namun sejuk, setelah kemarin sore diguyur hujan. Zahra dan Fadil turun dari rumah, menuju desa tetangga di kampung Cipandan. Baru kali ini kedua kakak beradik ini berjalan kaki di subuh itu, ditemani cahaya bulan purnama menyusuri jalanan yang sepi tanpa ada kendaraan yang lewat satu pun. Hanya lalu lalang beberapa orang saja yang pulang dari mesjid, atau ibu-ibu yang menjinjing kantong belanjaan menuju ke pasar.

“Kak, sekarang ini kita puasa hari ke berapa ya?” tanya Zahra, mengawali pembicaraan sedari tadi saling terdiam berkecamuk dialog dalam hati masing-masing, perasaan masih sedih ditinggalkan ayah tercinta.

“Hari ini tepat hari keempat belas, jadi Bapak meninggal pas tanggal empat belas di bulan Ramadhan ini.” Fadil menjelaskan.

“Ya, untuk mengingat saja, supaya ngga lupa, kapan Bapak meninggalnya. Tanggal empat belas bulan Ramadhan, waktu yang sangat bagus, Bapak disambut dengan terang bulan purnama. Beliau juga meninggalnya dengan tenang. Jika Pak dokter tidak memberi tahu, kita ngga tahu kalau Bapak telah meninggal..” Jawab Zahra.

Dengan langkah gontai, lesu dan lelah nampak dari kedua bocah itu. Alat komunikasi waktu itu belum secanggih sekarang ini. Sehingga untuk menyampaikan informasi darurat pun harus dilakukan dengan jalan kaki, kendaraan pun masih jarang. Selangkah demi selangkah mereka berjalan. Tapi ingatan selalu mengenang saat kebersamaan dengan ayah tercinta. Teringat beberapa bulan lalu setelah usai ulangan umum di sekolah, Zahra bersama Fadil membantu ayahnya mengoreksi hasil jawaban murid-muridnya. Sebagai anak dari seorang guru pengajar di sekolah menengah, sejak Zahra bisa membaca, menulis, dan berhitung selalu mereka lakukan setiap beres ulangan umum. Hanya jawaban berupa pilihan ganda saja yang bisa mereka bantu. Dengan menggunakan kertas lembar jawaban sebagai kunci jawaban yang dilubangi oleh obat nyamuk bakar, tinggal menghitung saja jawaban benar yang sesuai dengan pilihan jawaban yang masuk lubang kertas itu. Sedangkan bagian uraian bagian ayahnyalah yang mengoreksinya.

Kebersamaan Zahra dan Fadil terbilang sangat dekat dibanding dengan adik-adiknya. Karena setiap kegiatan di sekolah seperti acara perpisahan, kenaikan kelas, liburan atau studi tour yang diselenggarakan oleh sekolah ayahnya, selalu dibawa serta. Kedekatan dengan keluarga teman-teman ayah pun terjalin dengan baik. Kemarin ayah nampak sehat dan bersemangat membersihkan rumah, yang sebentar lagi akan segera ditempati setelah lebaran Idul Fitri ini. Hanya tinggal memasang pintu, jendela dan kaca saja. Namun kini, belum sempat rumah itu ayah tinggali, sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Tak tahu apa yang akan terjadi di masa depannya tanpa kehadiran ayah. Walau merasa sangat kehilangan figur dan sosok seorang ayah, tetapi Zahra berusaha tegar. Suatu saat nanti harus bangkit bisa membahagiakan keluarganya walau bermodal uang pensiunan ayah sebagai peninggalan untuk menghidupi keluarganya. Dilandasi keyakinan akan kasih sayang Allah, bertekad sekalipun seorang perempuan, tetapi ingin punya pekerjaan dan penghasilan sendiri, bukan hanya sebagai ibu rumah tangga seperti ibunya.

Nelitas, 03022020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post