Ai Tin Sumartini

Ai Tin Sumartini, M.Pd, lahir di Cikajang Garut Jawa Barat. Pengabdian sebagai guru PPKn sejak tahun 1994. Pendidikan terakhir S2 Program Studi PKn di SPs UPI B...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENJELANG DEADLINE
https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Pendidikan_Indonesia

MENJELANG DEADLINE

#TantanganGurusiana

#Harike17

MENJELANG DEADLINE

Duduk termangu, menatap tumpukan berkas dokumen penting setelah tiga hari lalu dibagikan dari sekolahnya. Sesekali Zahra membuka-buka dokumen itu, raport hasil belajar selama tiga tahun, buku pribadi, ijazah kelulusan, maupun nilai-nilai ujian sekolah. Diamatinya satu persatu, semua nilai yang diperoleh seakan tak berarti walaupun selalu tercatat sebagai peringkat tiga besar di kelasnya, bahkan lebih sering menduduki posisi pertama. Tak terasa air mata menetes di pipinya, segera diusapnya khawatir membasahi dokumen penting itu.

“Buat apa nilai-nilai besar ini, kalau toh pada akhirnya tak ada gunanya. Apa yang dapat kulakukan saat ini, hasrat ingin melanjutkan sekolah pupus sudah. Kondisi ekonomi keluarga yang sangat tidak memungkinkan. Kakak saja, sebagai seorang laki-laki yang bisa sekolah. Itu pun nenek yang membiayai. ” gumamnya.

“Aku harus melakukan sesuatu, melamar sebagai tenaga honorer di sekolah-sekolah dasar yang ada di kampung ini seperti kata Mamah tempo dulu, rasanya sulit sekali. Menunggu diangkat sebagai pegawai negeri, juga tak tentu kapan. Masih banyak kakak-kakak kelas, lebih dari 4 angkatan sampai saat ini belum ada kabar berita ada pengangkatan. Zaman sudah berubah, tidak seperti dulu. Begitu lulus sekolah pendidikan guru, langsung ditempatkan sebagai tenaga pengajar.” pikirnya, sambil terus membolak balikkan dokumen-dokumen penting itu.

Selama tiga hari itu pula Zahra selalu mengurung diri di kamarnya. Perasaan menyesal dengan kondisinya, ketidakmampuan secara ekonomi hingga berhari-hari bermuram durja. Memaksa kuliah seperti kakaknya juga tentu akan sangat merepotkan, dan tidak mau membebani pikiran ibunya. Sesekali ke luar kamar, hanya sekedar membantu pekerjaan ibunya merapihkan atau membereskan rumah. Menyapu, mengepel, mencuci maupun menyetrika pakaian. Setelah semua pekerjaan beres, baru masuk kamar lagi. Tak henti-hentinya tetesan air mata berjatuhan, berharap ada jalan untuk mencapai keinginan.

Waktu sholat isya sudah tiba, suara adzan di beberapa mesjid sekeliling rumah sudah bersahutan. Mukena masih dikenakan sejak sholat magrib, dilanjutkan dengan dzikir dan do’a khusyu memohon kekuatan iman, ketegaran serta keikhlasan menerima cobaan hidup. Meminta jalan terbaik yang akan ditempuh, untuk bisa mengangkat derajat dan martabat keluarga. Yang saat ini hanya mengandalkan bantuan saudara-saudara dan kerabat, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya. Uang pensiunan peninggalan ayahnya, tak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Apalagi harus ditambah dengan biaya kuliah dan sekolah adik-adiknya.

Terdengar pintu luar ada yang mengetuk, rupanya ibunya Zahra yang membukakan pintu. Karena terdengar sambutannya terhadap orang yang masuk. Rupanya paman Zahra, adik ibunya yang berkunjung setelah perjalanan dari luar kota. Memang sudah terbiasa Paman Joni datang ke rumah hampir setiap bulan, karena beliau jugalah yang sering membantu kondisi keuangan keluarga Zahra terutama menyangkut biaya sekolah.

“Bagaimana, Teh....semua sehat?” tanya Paman Joni kepada ibunya Zahra mengawali pembicaraan.

“Alhamdulilah, sehat. Hanya, Zahra ...., beberapa hari terakhir ini terlihat sangat murung. Keinginannya dia mau melanjutkan kuliah, tapi bagaimana lagi kakaknya saja belum beres. Biaya dari mana? Teteh sangat bingung, tak berdaya”, jelas ibunya Zahra.

“Kira-kira pendaftaran sipenmaru-nya kapan?” tanya Paman Joni lagi

“Yach.... beberapa hari ini telah berlalu, entah kapan penutupannya?”

“Mudah-mudahan masih menerima pendaftaran, suruh segera daftar saja.” Kata Paman Joni.

“Lho, bagaimana resiko biayanya, dari mana? Teteh ngga kebayang, berapa besar biaya kuliahnya, apalagi si Fadil juga belum beres.” Ibunya Zahra gusar dengan ucapan adiknya.

“Teh, ini ada uang untuk bayar SPP Fadil, tapi khan masih lama sekitar sebulan lagi pembayarannya. Pakai saja dulu untuk keperluan Zahra daftar sipenmaru. Mudah-mudahan untuk SPP Fadil nanti tersedia pada waktunya.” Paman Joni memberikan semangat.

Zahra yang belum keluar kamar, mendengar percakapan ibu dan pamannya di ruang tengah. Dengan hati riang gembira, atas ucapan pamannya, tak henti-hentinya bersyukur. Allah mengabulkan do’a-do’anya, memberikan jalan untuk mencapai keinginannya. Setelah sholat isya, berdzikir dan sujud syukur, ia terus memanjatkan do’a, supaya selalu mendapat perlindungan-Nya.

“Zahra....Zahra...” ibunya memanggil

“Ya, Mah.” Jawabnya

“Sini, nich paman datang!” kata ibunya lagi.

“Ya, Mah, sebentar.” Kata Zahra dengan suara agak parau.

Setelah melepas mukena dan melipatnya,membereskan sajadah, tasbeh dan Al Qur’an, lalu ia bercermin, melihat wajahnya yang sembab, matanya yang sedikit bengkak, karena sejak tadi air matanya tak henti-hentinya menetes. Sedikit pipinya ia usap dengan cream dan bedak tabur, supaya tidak terlalu sembab.

“Ya, paman, apa khabar?” tanya Zahra sambil menyalami pamannya.

“Baik, Zah...” jawab paman Joni.

“Zahra, mau kuliah?” tanya Paman Joni.

“Hm...hm..., ya, sich...cuma...kakak juga khan masih belum beres kuliahnya, terus gimana biayanya paman?” tanya Zahra agak ragu.

“Kalau kamu, berkeinginan kuat ingin kuliah, segera daftar. Ini ada uang untuk persediaan bayar SPP kakakmu. Tapi masih lama, kira-kira sebulan lagi khan waktu pembayarannya. “ paman Joni menjelaskan.

“Ya, paman Alhamdulilah..., terima kasih. Tapi waktu pendaftaran sipenmarunya besok terakhir, paman.” Zahra mulai cemas.

“Terakhir? Ya. Besok saja subuh kamu berangkat ke Bandung. Temui dulu Fadil di kost-annya. Supaya bisa mengantarmu daftar.” Paman Joni memberikan semangat.

Ucapan hamdalah dan rasa syukur, di bibir dan hati gadis remaja berusia sembilan belas tahun itu. Sorot mata yang tajam, menatap harapan masa depan yang akan dilalui. Semangat baru mengiringi langkah kaki menembus kegelapan waktu subuh, sangat berbeda dengan hari-hari kemarin. Pikiran kusut, hati gundah gulana, langkah gontai, putus harapan dan kecemasan yang selalu menyertai setiap langkah dan geraknya. Namun kini, harapan itu muncul kembali. Allah mengirimkan rejki melalui tangan seorang Paman Joni, yang selama ini selalu membantu dan memberikan semangat kepada Zahra dan saudara-saudaranya. Apalagi sejak kepergian ayahnya menghadap Illahi, Paman Joni merasa bertanggung jawab untuk memberikan perhatian dan kasih sayangnya. Walau beliau sudah berkeluarga, tetapi selalu menyempatkan menengok ke rumah Zahra dan ibunya, sekedar untuk memberikan bantuan biaya sekolah.

Bis yang akan ditumpangi Zahra sudah datang. Zahra yang berdiri di pinggir jalan didampingi ibu dan pamannya berpamitan, mohon do’a restu supaya maksud perjalanannya diberi kemudahan dan kelancaran.

“Mah, paman, Zahra berangkat. Mohon do’anya.” Kata Zahra sambil melambaikan tangan.

Zahra pertama kali berangkat ke kota Bandung sendirian, yang lumayan jauh dari kampung halamannya. Waktu tempuh dengan naik bis, bisa sampai empat jam. Pengalaman bepergian sering dilakukan, apalagi waktu liburan. Neneknya yang suka mengajak Zahra mengunjungi saudara-saudara di luar kota. Termasuk kota Bandung, apalagi bibinya adik ibunya Zahra juga menetap di kota Bandung. Berbekal pengalaman itulah, ia memberanikan diri untuk bepergian seorang diri.

Pukul sembilan pagi, Zahra sudah tiba di kost-an Fadil, kakaknya. Ia menceritakan maksud kedatangannya. Fadil juga terlihat sangat senang, Zahra adiknya ada jalan untuk bisa kuliah di perguruan tinggi dengannya.

“Kebetulan hari ini, kakak ngga ada kuliah, ayo kita langsung saja ke tempat pendaftaran. Apalagi hari ini adalah hari terakhir pendaftarannya, keburu antriannya panjang.” Ajak Fadil.

“Ya, Kak, tadi Zah lihat pendaftarannya di kampus ITB sudah antri tapi belum begitu panjang.” Jawab Zahra mengiyakan.

“Hati-hati, nanti mengisi formulirnya, jangan sampai salah.” Fadil mengingatkan.

“O, ya, mau mengambil jurusan apa? Nanti dalam formulir ada pilihan perguruan tinggi dan jurusan yang dipilih.” Jelas Fadil lagi.

“Hmmm, kata Mamah milih jurusan yang sama saja dengan Kakak, juga program studi yang sama. Supaya buku-bukunya tidak usah beli, khan ada bekas Kakak.” Zahra meniru ucapan ibunya.

“Lho, kamu ngga punya pilihan sendiri?” tanya kakaknya.

“Ada, sich. Maunya perguruan tinggi dan jurusan yang lain. Cuma kalau lulusan sekolah pendidikan guru ya....jalurnya ke IKIP, rasanya bersaing dengan teman-teman lulusan SMA terlalu berat. Pelajaran matematika, biologi, fisika, kemarin hanya dipelajari sampai kelas satu. Selebihnya materi metode dan penilaian mata pelajaran di sekolah dasar saja. Tapi, sudahlah, sesuai saran Mamah saja. Yang penting saat ini Zah, bisa kuliah” Jelas Zahra.

Kampus ITB adalah perguruan tinggi ternama di wilayah provinsi Jawa Barat. Banyak tokoh-tokoh nasional maupun para pejabat alumni kampus ini. Zahra pertama kali menginjakkan kaki di kampus yang hebat ini, bukan untuk menuntut ilmu. Tetapi untuk melakukan pendaftaran sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru), karena tempat pendaftaran seleksi ke perguruan tinggi negeri di Jawa Barat waktu itu ya....satu-satunya di sana.

Begitu turun dari angkot, nampak antrian para pendaftar mengular mulai dari pintu masuk kampus, sampai meja pendaftaran. Zahra bergegas, mempercepat langkah kakinya menuju antrian paling belakang mengikuti langkah orang-orang di depannya. Sementara Fadil, sang Kakak duduk menunggu di bawah pohon, sesekali menghampiri Zahra memberitahu tentang pengisian formulir pendaftaran.

Setelah satu jam setengah antri berdiri menghampiri meja pendaftaran, barulah mendapat giliran pemeriksaan dokumen penting, ijazah asli maupun hasil ujian sekolah dan ujian nasional. Petugas pemeriksaan nampak keningnya berkerut, memperhatikan ijazah yang diperlihatkan Zahra. Hati Zahra berdegup, ada apa gerangan petugas mengamati dengan seksama ijazahnya.

“Maaf, De. Kenapa ijazah ini nampak agak kotor, dan sedikit ada tanda menghapusnya. Hati-hati lho, ini ijazah harus asli.” Tanya petugas itu.

“Ya, Mba...ini asli kok, memang ada bekas menghapus di nama ayah yang salah, juga ada beberapa nilai juga yang diperbaiki. Tapi pihak sekolah kok yang memperbaikinya.” Jawab Zahra.

“O, ya. Ada surat keterangan perbaikannya ngga?” tanya petugas itu lagi.

“Ngga ada Mba.” Jawab Zahra menambah kecemasan.

“Baiklah, sekarang ngisi formulirnya dulu di aula, nanti diurus ya surat perbaikannya ke sekolah asal. Ini penting lho.” Katanya lagi.

“Hm..., ya, Mba. Terima kasih, sepulang dari sini saya akan langsung mengurusnya.” Mulai agak lega perasaan Zahra setelah menerima formulir pendaftaran itu. Aula yang demikian besarnya nampak penuh sesak dengan para pendaftar di hari terakhir itu. Pandangan Zahra memutar sekeliling, mencari kursi kosong yang sepaket dengan meja untuk menulis, mengisi gormulir yang tersedia.

Satu persatu kolom isian ditulisnya dan dibulati sesuai petunjuk. Sesekali melihat dokumen yang dibawanya, untuk mencari data yang perlu untuk diisikan. Setelah beres mengisi formulir, diperiksanya kembali takut ada yang terlewat.

“Bismillah, Ya...Allah berikan hamba kelancaran dan kemudahan,” gumamnya dalam hati. Kembali matanya memandang sekeliling aula, apa yang selanjutnya harus ia lakukan. Kakinya melangkah menuju meja penyerahan formulir yang kosong. Setelah menunggu beberapa menit, Zahra menerima kartu pendaftaran dan kartu seleksi sipenmaru yang berisi jadwal dan tempat pelaksanaan sipenmaru yang akan dilaksanakan seminggu berikutnya.

Fadil, kakaknya masih menunggu di bawah pohon selama Zahra mengikuti serangkaian prosedur pendaftaran hampir memakan waktu dua jam.

“Kak, alhamdulilah sudah beres pendaftarannya. Walau ada sedikit rintangan.” Zahra menghampiri Fadil dan melaporkan apa yang terjadi selama proses pendaftaran.

“Baiklah, sekarang kita survey dulu lokasi sipenmarunya, supaya minggu depan kamu bisa langsung ke sama.” Ajak Fadil.

“Ya, Kak. Terutama naik turun angkotnya, tolong kasih tahu.” Jawab Zahra.

Perjalanan yang melelahkan, keberangkatan yang mendadak dari kampung halamannya ke ibukota propinsi untuk menggapai asa. Detik-detik deadline, batas waktu terakhir pendaftaran seleksi penerimaan mahasiswa baru, kecemasan dan kekhawatiran selama perjalanan sirna dengan tekad yang kuat, mengawali perjuangan meraih cita-cita untuk meningkatkan martabat keluarga.

Menyadari ilmu pengetahuan umum yang sangat kurang selama pendidikan di sekolah sebelumnya, harus bersaing dengan lulusan SMA yang kaya akan materi pengetahuan umum sesuai mata pelajaran yang diujikan dalam sipenmaru, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Pengetahuan Umum baik IPA maupun IPS. Sementara ketika SPG dulu mata pelajaran tersebut hanya dipelajari sampai kelas satu, selanjutnya yang dibahas adalah mengenai materi, metode dan penilaian semua mata pelajaran di sekolah dasar. Pengetahuan umum sebatas hanya untuk materi sekolah dasar. Waktu seminggu, rasanya juga kurang untuk mempersiapkan test. Kemampuan Bahasa Inggris yang dianggap lemah, ia pelajari dari satu buku saja yaitu buku Sistem 50 Jam, buku yang memuat materi dasar Bahasa Inggris untuk umum. Sedangkan ilmu pengetahuan lainnya hanya baca-baca saja dari buku-buku yang ada.

Dua hari menjalani test sipenmaru di sebuah sekolah swasta di sekitar daerah Patuha, telah dilalui dengan lancar. Selanjutnya pasrah, berserah diri dan bertawakal. Usaha, kerja keras dan berdo’a selalu dipanjatkan dalam setiap langkah dan menjalani aktivitasnya. Tinggal menunggu waktu pengumuman tiba, yang dipublikasikan melalui surat kabar Pikiran Rakyat untuk wilayah Jawa Barat.

Jantung dag-dig-dug, berdegup kencang, menanti hasil pengumuman sipenmaru hari itu. Fadil sang kakak yang sedang libur semester menemui sahabatnya dulu, yang berlangganan koran itu. Setelah hampir dua jam siang itu, yang dinanti-nanti akhirnya datang juga dengan langkah gontai, wajah lesu menghampiri adiknya.

“Zah, belum ketemu namamu di sana. Kakak sudah cari-cari dari seluruh halaman di koran itu, ngga ada juga namamu.” Kata Fadil, menahan kecewa.

“Oh, ngga ada ya, Kak. Ngga apa-apa, sudah nasib Zah, ngga lolos sipenmaru. Walau sudah berusaha dan berdo’a.” Zahra menutupi kekecewaannya dengan menunduk dan mengusap air matanya yang berderai.

Sore hari seusai shalat ashar, Zahra duduk selonjor di teras samping rumahnya. Memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah usaha perjalanan meraih mimpi belum ada khabar yang jelas. Walau pencarian kakaknya tidak menemukan namanya di koran itu sebagai tanda diterima di perguruan tinggi yang diidamkannya.

“Zah....Zah...” ada teriakan dari gang kecil depan rumahnya.

Zahra yang masih duduk termangu, nampak kaget ada yang memanggil namanya.

“Zahra....kamu lulus, ada namamu di sini, ngga ada lagi yang lain selain nama lengkapmu ada di sini, Ua yakin ini adalah namamu.” Wa Andi, kerabat ibunya datang bersepeda, kebetulan anaknya juga seangkatan Zahra, dan sama mengikuti sipenmaru.

“Betulkah. Wa.” Zahra agak ragu.

“Coba, kamu lihat kartu seleksinya, nomor seleksimu berapa, sama ngga dengan nomor dan nama di koran ini?” tanya Wa Andi lagi.

“Ya, Wa, sebentar, saya ambil dulu kartunya.” Harap-harap cemas Zahra bergegas mengambil kartu seleksinya.

Setelah diteliti nama dan nomor seleksi antara kartu dan yang tertera di koran ternyata....sama.

“Alhamdulilah.....terima kasih Wa, Mah....Mah....Zah lulus Mah!” teriak Zahra pada ibunya yang masih di dalam kamar.

“Tuh, khan...Wa percaya sama kamu, Zah, kamu pasti lulus. Selamat ya, siap-siap untuk mengikuti registrasi.” Wa Andi menjelaskan lagi.

Tak berapa lama, ibunya Zahra menghampirinya.

“Bagaimana, lulus?” tanya ibunya.

“Betul nich, namanya ada di koran ini.” Jawab Wa Andi.

“Ya, Mah, alhamdulilah.” Jawab Zahra.

“Baiklah, Mun, Zah,...Wa ke kebun dulu, dari pagi belum nengok para pegawai kebun” Wa Andi pamit.

“Syukurlah. Tinggal kita pikirkan persiapan berikutnya. Kapan harus daftar ulangnya?” tanyanya ibunya lagi.

“Dua minggu lagi, Mah. Banyak berkas yang harus disiapkan. Juga biaya registrasinya”, Zahra mulai bingung dengan biaya yang harus disiapkan.

“Ya, berdo’a, saja, semoga pada waktunya nanti ada. Tadi nenek bilang kalau kamu lulus masuk perguruan tinggi, akan menjual tanah kebun di desa seberang untuk keperluan biaya kuliah dan kontrakan bersama kakakmu di sana” Ibu menjelaskan.

“Alhamdulilah, terima kasih Mah, Nenek...pengorbanan yang luar biasa, semoga Allah membalas semua kebaikannya.” Zahra bahagia, sambil memeluk ibunya.

“Ya, sudah, Sekarang temui nenekmu, bilang kalau kamu lulus sipenmarunya!” perintah ibunya.

Dengan riang gembira, hati berbunga-bunga Zahra menemui sang nenek dari ibunya di kampung tetangga. Nenek yang dicintainya, tinggal sendirian di rumahnya. Karena semua anak-anaknya, saudara ibunya semua sudah berumah tangga dan tinggal di luar kota. Hanya ibunya Zahra dan seorang pamannya yang bungsu tinggal di desa yang sama. Zahralah yang bertugas menemaninya jika malam tiba, kadang-kadang bergiliran dengan adiknya Fauzi.

Perjuangan meniti masa depan kembali dilangkahkan, dengan suasana baru, dan teman-teman baru di ibukota provinsi. Harapan yang semula sirna, seakan masa depan suram. Hilang sudah, pada saat detik-detik deadline hari terakhir masa pendaftaran. Kesempatan emas dengan dukungan dan do’a keluarga, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sekalipun kerikil-kerikil rintangan kadang menyertainya. Tiga tahun perjalanan akan dilalui dalam menempuh pendidikan di kampus penghasil tenaga pendidik profesional ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, perjuangan yang luar biasa. Sukses selalu dan barakallahu fiik

05 Feb
Balas

Alhamdulillah, menemukan akun ini. Luar biasa perjuangannya.

06 Feb
Balas

He...he....edisi...bakatku dipaksa harus bisa nulis tiap hari....semoga terbiasa

06 Feb

Sami teh, abi mah nembe hari ka 10

06 Feb
Balas



search

New Post