Sepenggal Kisah Masa Pandemi
#tantanganGurusiana
#harike99
Sepenggal Kisah Masa Pandemi
Sejak adanya pendemi COVID 19 aku sudah jarang ke luar rumah, apalagi setelah diumumkan secara resmi oleh pemerintah harus belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan beribadah di rumah. Walaupun aku seorang guru honorer, lumayalah bisa bantu-bantu suami untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara suamiku hanya sebagai seorang sekuriti di sebuah rumah sakit umum di kotaku. Setiap hari kudampingi siswa-siswa ku melalui WA agar mereka tetap belajar, tetapi hanya setengahnya saja yang memiliki HP android. Sisanya hanya kuberi pesan SMS kepada orang tuanya agar mereka mengerjakan tugas-tugas yang ada di buku paket. Sudah minggu kedua mereka mengerjakan tugas-tugas yang kuberikan, dan sudah mulai banyak mengeluh, bosanlah, tak mengertilah, dan beragam banyak alasan.
Tetapi sejak ada program siaran edukasi di tayangan TVRI mulailah ada variasi anak-anak dalam belajar. Lagi pula pak Menteri sendiri mengatakan, bahwa di masa pandemi ini janganlah terlalu terpaku pada pencapaian kurikulum yang sedang berlaku. Buatlah anak-anak belajar dengan menyenangkan, tanpa memberatkan mereka maupun orang tuanya apalagi jika harus belajar berbasis online. Lagi pula aku sendiri masih gaptek, belum bisa menguasai aplikasi pembelajaran online, begitu juga dengan anak-anak didikku yang masih di bangku kelas 4 SD belum banyak yang paham cara belajar online.
Suamiku sudah jarang pulang ke rumah karena khawatir menjadi karrier bagi kami keluarga kecilnya. Walaupun selama ini dia tampak sehat. Kalaupun pulang dengan sangat hati-hati dia masuk rumah. Disiplin menjalankan protokoler kesehatan, begitu datang semua perlengkapan yang dibawanya disemprot dengan disinfektan termasuk sepatu yang dipakainya. Anak kecilku meronta-ronta kangen pada ayahnya yang baru pulang, tetapi ku tahan. Biarlah suamiku mandi dan berpakaian terlebih dahulu hingga steril. Kekhawatiran makin menjadi dengan semakin bertambahnya pasien positif corona, maupun PDP yang dirawat di rumah sakit itu. Suamiku yang setiap hari bertugas di pintu awal masuk gerbang rumah sakit, tentu saja berhubungan dengan siapa pun yang datang.
“Bu, tadi siang datang lagi pasien PDP seorang balita baru berumur tiga tahun, tertular dari ibunya yang positif, kasihan sekali. Aku tak tega melihatnya, jadi teringat si kecil” suamiku mengawali pembicaraan setelah mandi dan ganti baju sambil menggendong si kecil.
“Ibunya yang minggu lalu dirawat?” tanyaku penasaran.
“Ya, ibunya terinfeksi setelah pulang dari Jakarta, demam tinggi dan sesak nafas. Baru dua hari kemudian dibawa ke rumah sakit menunjukkan gejala corona. Eh....setelah dites, dinyatakan positif COVID 19”, suamiku menjelaskan.
“Ayah, harus hati-hati juga. Jaga diri jangan sampai kontak fisik dengan siapa pun”, aku mulai khawatir.
“Ya, tentu saja. Kondisi seperti ini susah diprediksi, sampai kapan berakhir, kita yang hati-hati, eh...orang lain tak peduli. Kalau sudah kena baru tahu rasa”.
Sore itu, setelah si kecil digendong ayahnya. Kucuci baju dinas yang baru diganti oleh suamiku. Dengan sangat hati-hati. Kusemprot berulang kali baju itu dengan disinfektan, jaga-jaga virus menempel di sekitar baju. Sambil tanganku meraba-raba semua saku bajunya, ternyata ada benda panjang. Setelah kukeluarkan sebuah ballpoint.
Kehidupan keluarga kecilku sangat sederhana, tetapi cukup bahagia dengan anak sulungku baru kelas dua SD, dan si bungsu baru satu tahun. Tetapi kesederhanaan itu, kini makin sulit dengan kondisi ekonomi yang makin terpuruk. Sudah hampir tiga bulan ini gaji honorku di sekolah swasta itu belum dbayarkan. Sementara kebutuhan juga makin banyak, ditambah harga barang-barang kebutuhan terus merangkak.
Tiba-tiba si kecil mulai pendiam, tak selincah biasanya. Tak mau makan, apalagi main tak ada keinginan sepertinya. Badannya panas, dan batuk-batuk. Pikiranku makin kacau jika teringat kondisi pandemi zaman sekarang. Dengan segala daya upaya kulakukan pengobatan tradisional. Segera kuparut bawang merah, ditambah sedikit minyak goreng, perasan jeruk nipis dan sedikit minyak kayu putih. Dengan telaten kupijat-pijat seluruh punggung, dada serta persendiannya dengan ramuan bawang merah. Resep ini selalu kuingat warisan nenekku zaman dulu, jika aku panas selalu diobati seperti itu.
“Ya, Allah... sembuhkanlah anakku, jangan sampai terkena virus mematikan itu”, do’a itu selalu kupanjatkan setiap saat. Suamiku juga gelisah, apalagi setiap hari bertugas di rumah sakit. Dia mulai merasa bersalah. Takut menjadi carrier bagi anaknya. Maka kami putuskan, suami jangan pulang dulu. Si kecil biarlah dikarantina mandiri, di rumah bersamaku. Dan kujaga juga kakaknya jangan sampai sakit. Kebetulan aku juga tidak masuk sekolah, karena anak-anak didikku dirumahkan. Dalam kondisi seperti ini perlu perjuangan ekstra, aku sangat menjaga kontak fisik dengan suamiku untuk sementara. Dia hanya pulang membawakan kebutuhan obat dan makanan untuk kami, itu pun disimpannya di teras depan rumah. Kami saling pandang dari pintu, ngobrol pun seperlunya terutama tentang kondisi si kecil yang mulai turun demamnya. Kasihan juga, suamiku yang sangat dekat dengan anak-anaknya kini harus menjaga jarak fisik dengan mereka. Tetapi apa daya, demi kesehatan semuanya kami harus mengorbankan rasa rindu itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar