Ai titin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

AJARI DIA BAHASA MANUSIA

Siang itu, Tuti minta izin pulang sama majikannya karena sudah dua minggu terakhir ini dia tidak bertemu dengan anak-anaknya.

Kerinduan yang luar biasa untuk bertemu Naomi putri sulungnya dan Rahma si bungsu yang dua-duanya masih duduk di bangku Sekolah Dasar membuat ibu dua anak ini belanja makanan kesukaan mereka. Donat madu dan martabak pesanan itu dibelinya dengan menyisihkan upah dari sang majikan supaya kedua anaknya merasa bahagia. Hanya itu yang dibawanya selain cucian baju yang ditenteng dalam tas keresek hitam.

“Naomi… ibu pulang Nak”

Tidak ada sahutan dari dalam rumah, Ma Odah ibunya pun tidak dijumpai, di kursi depan terlihat Rahma tidur pulas memeluk guling hello kitty. Dia tak ingin mengganggu tidur si bungsu, dikecup keningnya dan membiarkannya dalam lelap.

Tuti masuk ke kamar dan ternyata Naomi terlihat sedang tiduran tetapi matanya masih belum terpejam.

“Ibu dari tadi manggil…kok ga nyahut sih?” Tuti mendekati kasur

Naomi hanya melirik, kelihatan ada kelelahan dalam sorot mata itu.

“Ma Nenek dimana?” Tuti mengusap pipi anaknya

Dia tak menjawab, malah membalikan badan membelakangi Tuti

“Naomi, kamu baru pulang sekolah ya? Ibu bawa Martabak kesukaanmu” masih belum ada jawaban.

“Kamu itu mirip nenek… wajahnya… lihat matanya.. persis nenek Odah” Tuti berusaha membuat suasana mencair dengan mengusap rambut putrinya itu tetapi Naomi malah menepis tangannya.

“Awas…Buuuuuu sana!” dia membentak, Tuti kaget tetapi berusaha tenang dan kembali mengolok-olok putrinya

“Ihhhh kalo marah tambah cantik persis Ma Odah lagi ABG hehe” Naomi melepas tangan ibunya dan menghentakan kaki….

“Go***g … an***g … awwwwwaaaassssss!!!!”

Tuti terhenyak kaget luar biasa. Kenapa Naomi siswa SD kelas 3 bisa bicara seperti itu padanya.

Dengan reflek, dia mengambil hanger yang tergeletak di atas kasur.

“Prakkkkkkk….prakkkk….” hanger itu mendarat di betis anaknya hingga gagangnya patah menjadi dua.

“Kamu ini ngomong apa hah?????”

“Beraninya ngomong seperti itu sama ibu kamu sendiri, ibu yang sudah mengandungmu, membesarkan dan mendidikmu!!!” kesabaran Tuti habis

“Sana…. Jangan ganggu aku!” Naomi berkata sambil menutupkan selimut di kepalanya.

“Apa?” dan hanger itu kembali mendarat di kaki mungil Naomi hingga ia meringis kesakitan.

“Aku ajari anak majikanku berkata sopan, mereka menghormati pembantu seperti aku… lah kamu??? menghardik dan berkata seperti preman terminal saja? Mau jadi apa kamu? Aku mencari uang siang malam untuk memberi nafkah karena bapakmu sudah meninggal… Kamu??? Mau jadi appppaaaaaaaa???? Ini balasanmu untuk aku hah” suara Tuti semakin melengking, perkataannya bertubi-tubi dan sudah merembet tak tentu arah hingga ma Odah datang tergopoh-gopoh.

“Ada apa Tuti? Kenapa anakmu itu?” suaranya parau

“Hhhheeeeehhhhh…..” Tuti tidak menjawab pertanyaan ibunya, dia membuang nafas menghilangkan gejolak yang ada di dadanya.

Wajah Naomi pucat tampak dua garis merah di kaki putihnya bekas gagang hanger tadi, Ma Odah menghampiri kemudian memeluknya, rasa sayang seorang nenek yang melebihi kasih sayang orang tua sendiri.

“Awas ya…. Kalo kamu berani ngomong seperti itu sekali lagi…. Bukan hanya hanger ini yang patah…..” Tuti keburu sadar, sebelum mengucapkan: (“tapi kakimu….”)

“Tapi mungkin sebilah kayu akan patah karenanya……” itu yang keluar dari mulutnya yang penuh amarah. Dia ingat ucapan Ustad pengajian Rabu Malam yang mengatakan kalo ucapan seorang ibu bisa menjadi do’a. Astagfirulloh… bisiknya dalam hati.

Aneh, ada apa dengan anaknya? Apakah dia punya masalah di sekolah hingga harus menyimpan dendam dan melampiaskan padanya atau anak itu kesal karena diolok-olok mirip neneknya? Pertanyaan itu bergejolak dalam hatinya, langkahnya lunglai menuju kamar mandi lalu ia mengambil air wudhu.

Kemudian Tuti bersimpuh sama Yang Maha Kuasa dan diakhir shalatnya Tuti masih merasakan dadanya sesak, air mata mengalir deras dan punggungnya bergetar hebat .

“Ya Alloh, kenapa anakku? Maafkan aku yang tak bisa mengajarinya berkata-kata baik, Ajari anakku dengan kuasa-Mu dan Maafkan kelalaian dan kekasaranku tadi, Ya Robby…. Aku sangat mencintai anak-anakku dan ingin melihat mereka sukses, jadi orang kaya, solehah sehingga dihargai orang lain…. Tidak seperti aku Ya Rabb…. Aku berusaha kerja keras untuk mereka….Aku serahkan semuanya pada-Mu ya Rahman ya Rahiiim.” Tangis itu terus membuncah hingga perlahan sesak di dadanya hilang dan Tuti terbaring merebahkan diri lalu tertidur di atas sajadah merah peninggalan suaminya, di kepalanya masih tersimpan berjuta pertanyaan dan alasan anaknya berkata kasar seperti itu.***** Medio Januari 2015

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab. Teruskan cerita nya donk biar bisa jadi satu buku kan keren tuh Hehehhehehe

08 Apr
Balas

Terusin teh.. Kan isinya blm nyangkut ama judul. Lanjuut...

08 Apr
Balas

Makasih... Iya nih. Untuk satu buku itu berapa cerpen ya minimalnya?

08 Apr
Balas

Ya... Ntar sambung lagi....

08 Apr
Balas



search

New Post