Ai titin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

MENEPIS DIAGNOSA ABAL-ABAL

Seorang ibu sedang duduk sambil menggendong dan memeluk erat anaknya di sebuah halte, tempat biasanya aku menunggu jemputan suami. Anak kecil berambut ikal yang manis, hidungnya mancung, matanya bulat persis Teteh, apalagi ketika tersenyum. Di seberang jalan, tampak segerombol anak taman kanak-kanak yang berlarian melintasi rintik hujan, tampak pula beberapa yang usianya lebih tua, kira-kira seusia dengan anak yang dipeluk ibu tersebut.

Sesekali ia mengusap rambut ikal gadis kecil itu, aku mendekati dan meminta duduk di sampingnya. “Bu… numpang duduk” sambil kuletakan tas yang isinya beberapa berkas dan dokumen kantor, dengan tersenyum ibu itu menjawab: “Ya… neng, silahkan, hujannya masih gerimis, suka pusing kalau kena gerimis mending duduk dulu” aku membalas senyumnya dan merapihkan cipratan tanah kotor di rok hitamku.

Aku asyik melihat-lihat situs facebook dan bbm lalu menutupnya kembali karena tidak ada hal penting yang harus aku komentari, kutatap wajah polos anak di pangkuan ibu tersebut hingga aku dikagetkan dengan pertanyaannya:” Maaf Neng, Sudah punya suami?”

“Ohhhh.. sudah Bu, ”

“Kirain belum nikah, he… masih kelihatan muda..” aku tersipu dengan peranyaannya.

“Anaknya Bu?” aku balik bertanya sambil memegang lengan mulus gadis berbaju coklat dan memakai rok bunga-bunga itu.

“Ya Neng, anak ibu satu-satunya…. Tapi belum bisa apa-apa…” terdengar suara lirih

Aku teringat Teteh, si sulung putriku yang cantik, sama belum bisa apa-apa, belum bisa bicara dan mengurus dirinya sendiri padahal usianya sudah 5 tahun, dia hanya menangis dan memukul kepalanya ketika ada sesuatu yang dia inginkan atau sebaliknya.

“Belum bicara?” pertanyaan nyelekit ketika orang-orang bertemu anakku dan menayakan hal yang sama.

“sudah neng, tapi ga jelas… kakinya juga lumpuh ga bisa jalan.”

Lalu mengalirlah curahan hati ibu tersebut bahwa dia sangat menginginkan anak, di awal pernikahannya dulu dan Alloh mengabulkan do’anya tetapi setahun kemudian ayahnya meninggal. Ia harus membesarkan anak tersebut sendirian hingga tiba di usia anaknya 1,5 tahun mengalami demam panas tinggi. Aku menatap lagi anak itu, dia tersenyum ke arahku tetapi kepalanya dia sembnyikan di balik selendang lusuh ibunya. “sama… seperti anakku…cantik” bisik lirih dalam hati membalas senyuman kecil itu.

Kemudian muncul angkutan umum, mobil warna hijau, kalau ngetem butuh waktu berjam-jam hingga membuat penumpang kesal dan marah tapi apa boleh dikata sebagai pengguna jasa angkutan umum semua keleletan itu bagian dari dinamika yang harus dijalani. Ibu itu permisi untuk berangkat duluan sementara aku masih menunggu suami, dia bilang lima menit lagi sampai di halte ini. Yah… aku menarik nafas, empat puluh menit….penumpang angkutan umum satu persatu meninggalkan halte dan beberapa tukang ojek hilir mudik menawari jasa mengantar sampai di tujuan tapi aku tak bergeming, masih duduk di bangku kecil halte itu sambil menikmati rintik hujan yang sesekali mengotori Grutty kesayanganku.

“Lama sekali… Yah? katanya lima menit” aku merajuk begitu duduk di jok Panther.

“Maaf…tadi mendadak ada tamu, ga enak kalo langsung pulang” balasnya

“oh…”

“Besok kita ke Ciamis, udah janjian sama temen ayah”

“Ngapain?” aku menatapnya

“Terapi si Teteh” aku mengangguk, ini sudah lama kami jadwalkan. Sudah kesana kemari berobat, ke dokter syaraf langganan setiap bulan, lalu ada yang memberi tahu pengobatan alternative, kami kejar sejauh apa pun lokasinya. Bagi kami berdua yang penting teteh bisa bicara. Walaupun kami sudah memiliki anak kedua, tetapi kesembuhan Teteh sangat penting, aku ingin melihatnya sekolah seperti yang lain, ceria dan memiliki cita-cita. Aku tak menampiknya mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa ketika teteh bisa jalan di usia 2 tahun tujuh bulan, usia yang tidak normal bagi seorang anak dalam perkembangan motoriknya, bahkan perawat terapi di Rumah Sakit Umum waktu itu memvonis kalau Teteh gak akan bisa berjalan karena model telapak kakinya yang mirip telapak kaki ayam.

“Ini model telapak kakinya begini Bu..” ujar perawat itu sambil mempraktekkan tangannya. Tangan kiri terbuka sementara tangan kanannya mengusap-usap bagian atasnya.

“Rata…” lanjutnya

“Coba lihat telapak kaki ibu? Gak rata kan?, ini susah buat jalan bahkan gak akan bisa jalan…” dia menatapku

Boro-boro aku mau melihat telapak kaki, yang ada rasa mangkel di ujung tenggorokan. Ingin menjerit sekeras-kerasnya dan mengatakan kepada perawat itu bahwa: “Kamu bukan Alloh yang tahu apa yang akan terjadi esok hari, kamu manusia biasa….Huh……Perawat itu harusnya memberi motivasi sama pasien dan keluarganya bukannya mematahkan semangat!!!, kamu ga pantas jadi perawat!” Dongkol luar biasa, aku menahan tangis dan mencoba tak bicara agar suara hati itu tak keluar hingga memperkeruh suasana. Aku mengangguk dan mencoba tersenyum sambil kuraih Teteh ke dalam gendongan. Untung saja suamiku tak mendengar apa yang diucapkan perawat tersebut. Aku menarik lengannya segera meninggalkan ruangan dan berjanji tidak akan pernah datang lagi untuk konsultasi atau apapun namanya di Medical Terapi Rumah Sakit itu. Titik.

Sampai tiba saatnya aku mengandung anak kedua, aku dan seluruh keluarga saling dukung untuk terapi di rumah saja. Alasan adalah karena kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan yang sangat jauh dari rumah, jaraknya sekitar 30 km hingga harus berangkat subuh dan pulang sore hari. Alhamdulillah di usia kandungan 8 bulan, teteh bisa berjalan. Semua keluarga bersyukur bahkan ada yang “nyawer" saking gembiranya. Kini tinggal satu lagi, teteh belum bisa bicara. Aku suka kasihan melihatnya padahal wajah cantik itu tak menunjukan ada kecacatan pada dirinya. Hasil pemeriksaan Ear Centre di jalan Setiabudi Bandung menunjukan bahwa semua perangkat THT nya normal tetapi ada kelemahan pada syaraf yang menghubungkan pada memory otaknya.

“Eh… Ibu, Bapak baru pulang ya?” tiba-tiba ada seorang lelaki menyapaku begitu kami sampai di depan garasi

“Iya… ada apa Pak?” suamiku mengulurkan tangan. Rupanya dia rekanan kerjanya.

“Ada yang harus ditandatangani, tadi udah ke rumah cuma ada putrinya…”

“Oh”

“Si Eneng ditanya malah senyum aja…”ucapnya lagi

Kami saling tatap, yang dia tanya itu pasti Teteh karena dedenya masih di rumah pengasuhku, Aku bergegas meninggalkan mereka, begitu sampai di rumah teteh menyambutku di jendela, aku memeluknya erat sambil berbisik: “besok kita berobat lagi ya…”seperti biasa dia cuma tersenyum, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya dan pelukanku semakin erat. Pelukan seorang ibu untuk putrinya******

November 2008 special for Rifa Alisya Mulia

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post