Memang benarlah setiap peristiwa atau kejadian selalu ada hikmahnya. Dan kita suka memandangnya, lebih-lebih ketika ada musibah atau persoalan yang tidak mengenakkan.

Ini saya buktikan sendiri lho. Di minggu terakhir bulan Desember 2018, sinyal hape saya betul-betul tak bisa diajak "bekerja sama". Akibatnya beberapa pekerjaan, harus mangkrak dan melewati deadline yang telah ditentukan. Meski begitu, karena Kebesaran Tuhan, saya berhasil lolos dari lubang jarum itu. Sungguh syukur yang tiada tara.

Dan tidak cuma hikmah ini saja, yang dengan gemilang saya peroleh. Namun juga hal yang lain. Hal lain itu adalah saya bisa menjauh dari ponsel. Ini sungguh sesuatu yang menguntungkan.

Bagaimana tidak, saya selama ini, kemana-mana menenteng gadget. Seakan-akan hidup saya tergantung pada "benda berbentuk balok yang nan fungsional" ini.

Jika dilihat dari segi religius, ini sudah dapat dilihat mendekati kekufuran. Gawat betul bukan? Bisa-bisa terkena auto-sesat nih. Padahal yang terkena sindrom auto-sesat, biasanya yang ikut mendukung si Ono. Ah sudahlah, soal yang ini tak perlu diperpanjang. Karena soal ini, cenderung bikin nyesek. Bukan begitu Ferguso?

Dengan tidak bermanfaatnya hape saya tadi, saya juga punya lebih banyak kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Selama ini saya cenderung menjadi generasi nunduk.

Tahu kan yang dimaksud dengan generasi nunduk? Kalau belum, bisa baca pengertiannya sebagai berikut. Generasi nunduk adalah sebuah generasi yang begitu sibuk dengan gawai, sehingga menjadi abai terhadap sekitarnya.

Selain daripada itu, masih ada lagi, tapi saya rasa cukup sekian dulu. Sebab apapun yang terlalu banyak, akan menjadi tidak baik. Bukan begitu Kisanak?

Dan apabila Anda merasa bahwa tidak ada hikmah, yang dapat dipetik dari tulisan ini. Saya katakan sungguh sepakat dengan perasaan itu. 😁

Bojonegoro, 4 Januari 2019