Jika ada guru masih menyimpan rasa takut pada kepala sekolah, takut melanggar HAM (karena alasan mendisplinkan siswa), atau bahkan takut kepada istri di rumah. Percayalah, beliau takkan mampu menghadirkan atmosfir kreativitas di dalam kelas. Sebab kreativitas hanya mungkin terbentuk dari jiwa yang merdeka.

Guru dalam situasi pembelajaran, tidak saja berperan sebagai "komposer" tapi juga "coach". Oleh karena itu, guru tidak sekedar perintah ini dan itu. Namun membantu proses tersingkapnya potensi dan juga memfasilitasi, agar potensi tersebut menjadi nyata.

Memang tak mudah melenyapkan "mental" penakut ini. Butuh waktu, butuh sarana. Di samping itu, perlu pendampingan.

Jangan mengira membunuh rasa takut itu mudah. Dibutuhkan usaha yang cukup keras. Dan terkhusus bagi beliaunya, juga harus mempunyai kehendak merubah diri. Tanpa itu, membunuh rasa takut, hanya menjadi angan-angan semu.

Lantas apa cara tercepat untuk mengakhiri penderitaan beliaunya ini? Beliaunya wajib segera melakukan kontemplasi, perenungan tentang arti menjadi guru. Menjadi guru itu seperti menjadi pejuang. Selalu ada halangan. Selalu ada rintangan. Jika tak mau ada halangan maupun rintangan, ya jangan jadi pejuang. Ya jangan jadi guru. Karena semua hal yang dilakukan ada resikonya. Terlepas kecil ataupun besar.

Terus apalagi? Setiap hari, laksanakan afirmasi positif. Baik sebelum berangkat ke sekolah dan setelah sampai di rumah. Untuk sebelum berangkat sekolah, contoh afirmasi positifnya, seperti berikut ini, "Saya guru yang berani, cerdas, dan amanah". Sedangkan saat tiba di rumah, katakan, "Murid-murid saya adalah murid-murid yang terhebat".

Kelihatannya cara di atas sepele dan tidak bermanfaat. Tapi ingat, hal-hal yang sepele terbukti lebih manjur dan dapat menjungkalkan peradaban.

ditulis dalam perjalanan naik bus ke sekolah