Seharian ini saya menggowes. Tahu kan menggowes? Itu lho naik sepeda. Mumpung Ahad-Ahad, dapat kurang lebih 10 kilo lah.

Kalau ditanya capek? Yah lumayan capek. Emang gak pernah naik sepeda? Bukan pernah lagi, tapi hampir setiap hari. Namun biasanya jarak yang ditempuh, cuma setengahnya. Mestinya dengan begini, sudah terbiasa tak ada kata capek. Mungkin ini bukti, bahwa kemampuan seseorang tak selalu bagus, meskipun sudah terbiasa mengerjakannya.

Tak boleh dikatakan, ini kan sudah dua kali lipat. Pastinya wajar. Jangan jadikan wajar, sebagai alibi, apologi, atau apalah namanya. Apalagi dikatakan gegara faktor umur. Ini sih dalil pembenar, yang terlalu menina-bobokkan.

Betul, berlaku jujur itu sulit. Sama seperti dengan bersepeda. Jika mau menghindar diri dari capek kan gampang, istirahat lah satu-dua menit, saat dirasa tubuh mulai memerlukannya. Jangan main genjot aja. Tubuh butuh recharging energi. Jika tidak, pastilah kolaps.

Jangan suka memaksa. Karena apapun yang namanya dipaksa, pasti jatuhnya nggak enak. Apabila ada yang enak, tolong beri contohnya.

Sama seperti mengerjakan hobi naik sepeda ini. Tak perlulah ngoyo fisiknya. Sebab ada kerjaan harian, yang selalu merindu untuk dipegang. Bila fisiknya lemah, apalagi cedera. Terus siapa yang meng-handle kerjaannya.

Sama juga seperti menulis. Jika sudah stuck, macet. Tak ada lagi ide yang menyusup di hati. Bolehlah berhenti menulis, dan mulai giat membaca. Mungkin dengan membaca inilah, menyembul gagasan ke permukaan. Tentunya yang dibaca tidak hanya karya orang lain. Namun juga, karya sendiri. Bisa jadi, dengan membaca karya sendiri. Kita bisa senyum-senyum sendiri. Karena kandungannya terlalu naif. Bisa jadi pula, kita menangis tersedu-sedu. Sebab isinya, begitu menampar muka.

Bojonegoro, 5 Agustus 2018