Seberapa banyak dari kita yang benar-benar mendekatkan siswanya ke hadapan realitas? Terlepas dari kurikulum yang dianut. Jika jawabannya, cuma sedikit. Alangkah tak eloknya.

Pasti bisa ditengarai, guru-guru yang masuk dalam jawaban sedikit itu tadi, mengikuti pola pembelajaran 100% di dalam kelas.

Padahal perkembangan zaman yang semakin menderas, menuntut kesigapan yang tinggi.

Generasi mendatang "harus" ready menghadapi tantangan yang sering berubah-ubah. Jika mereka tidak disiapkan sejak dini. Tentunya mereka akan gagap menghadapi kehidupan kelak. Akhirnya mereka tidak bisa berperan seperti yang diharapkan, mereka akan menjadi para pecundang. Menjadi warna yang tak mampu mewarnai.

Akankah kita tega meninggalkan generasi semacam itu? Tentu tidak. Makanya kita harus sekuat tenaga dan segiat mungkin, mengajari siswa, baik teoritis maupun secara praksis. Ajaklah, minimal sesekali berinteraksi dengan lingkungannya.

Tak perlulah terlalu jauh. Bisa di depan kelas. Jika ada tamannya, mungkin dapat digunakan untuk pembelajaran Matematika. Jangan beranggapan, ketika berjumpa dengan kata "taman", asosiasi langsung melayang ke arah pembelajaran IPA.

Bagaimana halnya kalau tak ada taman dan halaman sempit, lagian tempat sekolahnya di kota? Ya, lakukan kunjungan industri/instansi atau berkeliling kota dengan naik sepeda. Karena intinya pembelajaran luar kelas (outdoor), tidak terpaku soal "lingkungan hidup" namun juga "lingkungan sosial" dan lainnya.

Bagaimana dengan anggarannya? Jika tak ada, cukup manfaatkan apa saja yang ada di dekat sekolah atau di rumah. Dari barang bekas sampai bahan alami yang melimpah seperti bambu.

Buat mereka di luar ruangan. Bila memungkinkan, produk-produk tersebut bisa diperdagangkan. Murid-murid dilatih untuk mempromosikan dan mengelola keuangannya. Dampaknya murid tidak saja dapat teori, namun juga benar-benar mengaplikasikannya.