Akhmad Fauzi

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Mer...

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru, Ini Tantangan Kita - 1

Guru, Ini Tantangan Kita - 1

Menyisir pemahaman pola dunia pendidikan tak ubahnya kita menapaki tangga peradaban dengan segala ketangguhan wibawa kita (pelaku pendidikan) sebagai pelaku sejarah. Mendidik bukanlah hal yang sederhana meskipun bisa dilakukan dengan cara yang sederhana. Proses pendidikan adalah proses hidup, oleh karena itulah agama menempatkan pendidikan sebagai aktifitas yang krusial untuk dilakukan.

Pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ).

Uraian di atas mengandung konsekwensi jika guru sebagai profesi menjadi salah satu elemen penting dalam pendidikan, khususnya dalam proses belajar di kelas. Oleh karena itu dalam UUGD no.14 tahun 2005 ditekankan jika profesi guru (dan dosen) merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. (lihat pasal 7 UU Dosen dan Guru).

Betapa agungnya martabat guru dalam persepsi negara dan masyarakat. Dituntut adanya kesempurnaan diri untuk bisa mengarungi profesi ini. Maka tidak ini, jika dalam lima tahun terakhir guru termasuk tema sentral yang ramai dibicarakan di tingkat nasional.

Regulasi sekecil apapun, fenomena sesederhana apapun, sampai pada maraknya fenomena mobil-mobil baru yang menghiasi pelataran parkir sekolah, cukup menarik untuk diberitakan. Ramainya pemberitaan ini tidak lepas dari besarnya harapan semua pihak pada mutu pendidikan di tanah air, yang nota bene hal itu menyangkut hajat moral dan kelangsungan hidup putra-putri bangsa.

Maka menjadi keheranan jika dari sisi guru "tatap mata" ini direspon dengan ala kadarnya. Dalam artian dalam memandang pergerakan dan perubahan waktu guru mengambil posisi kebakaran jenggot atau malah apatis dan berdiam diri. Idealnya, guru seyogyanya berperan aktif dalam perubahan itu dengan berbagai cara yang bisa dilakukan. Contoh sederhana adalah adanya indikasi maraknya prostitusi online di kalangan pelajar.

Kalau merujuk pada inti perundang-undangan di atas, guru dituntut oleh negara, masyarakat, dan keprofesiaannya agar berani mengambil bagian sebagai salah satu "pembasmi" penyakit masyarakat itu. Posisi guru sebagai ujung tombak pendidikan sangat potensial untuk bisa meredam adanya gejala-gejala aneh yang ada di tengah masyarakat.

Sudahkah guru berperan aktif dalam peredaman itu?

Memproses siswa untuk menjadi pribadi yang luhur, punya kekuatan spiritual, dan kecerdasan seharusnya bukan hanya jargon yang cukup tertulis di lembaran negara saja. Amanat UU Sisdiknas memang ranah ideal, kupasan dari sebuah idealisme. Tetapi teramat risih jika di pihak sebagian guru masih juga merasa gamang untuk terlibat langsung demi mewujudkan idealisme itu.

Ingat, profesi guru adalah sebuah idealisme. Sebagai idealisme maka profesi ini harus digerakkan pula lewat batin, lewat iktikad yang sungguh-sungguh. Asumsi yang berkelindan selama ini (di kalangan guru), jika perkembangan anak didik ditentukan oleh banyak faktor (keluarga, sekolah, dan lingkungan), memang benar adanya karena hal ini bersifat umum. Namun guru tidak boleh bersembunyi di balik ketiga faktor itu gara-gara merasa hanya salah satu bagian saja. Keprofesionalan guru itulah yang semestinya merasa ditantang agar bisa menjadi garda terdepan dalam memproses anak didik demi tercapainya tujuan pendidikan.

Persepsi di atas cukup menggejala di kalangan pendidik, seakan berharap ingin keluar dari kesalahan manakala anak didik dan juga peradaban ini carut marut. Guru berusaha untuk mengambil bagian terkecil dari sebuah kesalahan itu untuk dibagi habis dengan elemen masyarakat yang lain.

Benar memang, dekadensi moral, kejahatan kemanusiaan, termasuk juga kegelisahan siswa yang akhir-akhir ini memenuhi wajah kehidupan dunia adalah produk komulatif sejarah. Memang, menciptakan kondisi yang ideal seperti yang diamanatkan Undang-Undang membutuhkan sinergitas semua elemen bangsa ini. Dan memang, guru boleh merasa hanyalah salah satu bagian saja dari elemen bangsa Indonesia.

Sebatas ilustrasi, sampai detik ini sudah ada 41 kali tawuran di kalangan mahasiswa dan tidak bisa terhitung lagi berapa ratus kali tawuran di tingkat pelajar. Melihat fenomena tawuran ini tidak boleh dibaca dengan sederhana. Banyak catatan yang bisa kita dijabarkan atas maraknya tawuran itu. Jelas telah ada yang salah di tengah hidup dan pola pikir mereka, siswa didik kita. Merunut sebab "ada yang salah itu" pasti nantinya akan menguak sendi-sendi sosial lainnya.

Ilustrasi yang lain, tertangkapnya pelaku prostitusi (baik online maupun konvensional) yang melibatkan banyak pelajar, apalagi si mucikari ternyata juga pelajar). Peristiwa ini tidak bisa berdiri sendiri. Pola hidup yang dipaksa mewah, keterbatasan dalam mencukupi kebutuhan hidup, kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis, sampai pada kejahatan terhadap anak, adalah simpul-simpul kehidupan sosial yang memicu maraknya prostitusi ini. Jika terus ditelaah, saya yakin, ada unsur keteledoran negara dalam hal ini.

Lantas kaitannya dengan guru apa? Di titik inilah seharusnya guru merasa tertantang untuk ikut memperbaiki. Mengapa guru tidak berani mengambil posisi sebagai penjaga moral dihadapan siswa? Mengapa guru masih malu-malu untuk terlibat langsung sebagai pembasmian kejahatan kemanusiaan? Mengapa pula guru tidak memulai untuk kerasan berlama-lama berdiskusi dengan siswa dalam mengusap kegelisahan hati siswa dalam membaca jejak-jejak sejarah (baik yang sudah, sedang, dan akan terjadi).

Keengganan guru memposisikan sebagai "pelaku" inilah yang harus terus dikampanyekan untuk menyambut kerusakan-kerusakan sosial yang terjadi.

Tulisan ini tidak menafikan peran yang sudah dilakukan guru selama ini. Namun, melihat cepatnya kerusakan sosial yang kita lihat akhir-akhir ini selayaknya profesi ini harus memikirkan untuk segera memasang gigi versrneling tiga atau empat. Jika taburan gerak yang selama ini sudah dilakukan guru tetap dalam standart langkah, bukan tidak mungkin ketinggian martabat profesi ini akan tertinggal jauh oleh arus perusakan-perusakan.

Tulisan ini tidak pula membahas tentang reward dan punishment. Alibi saya adalah karena bahasan itu adalah kewajiban dari regulator. Pun pula, tidak pula berbicara tentang muatan kurikulum dan sebagainya, karena itu lebih berbicara pada tataran adminstratif . Padahal, keprofesiaan itu tidak hanya sesempit sebuah pekerjaan. Tetapi sebuah kerja terus menerus untuk mengolah sebuah peradaban, dengan keahlian dan idealisme.

Biarkan reward, punishment, kurikulum, UKG, berjalan sesuai koridor yang telah ditentukan negara. Tetapi, kepedulian guru sebagai pribadi yang idealis selayaknya jangan diabaikan. Singkatnya, bagaimana konsep praktis administratif yang diundangkan ke guru itu tidak sampai sepenuhnya menyita waktu, sehingga guru pun bisa untuk ikut menjadi peredam kejadian-kejadian sosial yang ada di tengah masyarakat, di tengah kehidupan riil anak didiknya.

Mendidik siswa agar memiliki kecerdasan kognitif lebih mudah dilakukan saat ini. Tetapi, mencipta siswa yang memiliki kecerdasan lahir batin, itu yang sulit. Akan semakin sulit jika guru tetap pada persepsinya, hanya melibatkan diri dalam tataran yang normatif, di kelas saja. Enggan melibatkan diri dalam menangkis potensi kerusakan-kerusakan yang ada di tengah kehidupan sosial siswa.

(... bersambung)

Kertonegoro, 5 Juli 2020

Salam,

Akhmad Fauzi

foto : nikenharenabio.blogspot.comm

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tantangan yang tidak kecil, tetapi bukan mustahil untuk diwujudkan. Mantab. Salam literasi, sukses selalu.

05 Jul
Balas

sejarah sedng beradu dengan kekuatan idealisme guru Bapak.... hehehe. salam literasi... sukses untuk guru Indonesia

05 Jul

Mantap pak...moga sukses selalu

05 Jul
Balas

Salam pendidikan bu Solvia, sukses juga ya

05 Jul

Mantap PakSalam!

05 Jul
Balas

Salam bu Samsinar, utk siswa Indonesia

07 Jul

keren pak, salm sukses selalu

06 Jul
Balas

Mksh bu Habibah, sukses juga untuk Ibu ya

07 Jul



search

New Post