Akhmad Fauzi

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Mer...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menanamkan Senang Berpuisi Pada Siswa Didik Ala “Saya”
berselancar bersama siswa dengan nuansa sharing

Menanamkan Senang Berpuisi Pada Siswa Didik Ala “Saya”

Bukan hal baru jika pembelajaran sastra (puisi, cerpen, drama, dan lain-lain) menjadi salah satu materi ambigu bagi seorang guru. Banyak penelitan yang menyampaikan hal itu. Ketika saya membuat penelitian kelas, angket yang saya sebar ke guru kolaborasi dan siswa subjek menunjukkan jika hasil angket mendukung persepsi itu, ambiguitas guru yang sudah lama menggejala di dunia proses belajar mengajar ini.

Ada dua faktor yang menyebabkan pembelajaran sastra ini tak kalah menakutkannya dengan persepsi belajar matematika.

1.Faktor guru

Keluhan yang sempat terekam adalah keterbatasan kemampuan. Sebuah kejujuran yang patut diapresiasi dari seorang pendidik. Menatap keterbatasan guru ini tidak bisa serta-merta langsung disimpulkan sebagai keteledoran guru semata. Komulasi target dan gemuknya muatan kurikulum (selama bertahun-tahun yang mencengkeram kemerdekaan mengajar guru) serta pembelajaran apresiasi sastra yang hanya sepintas menjadi sebab materi ini hanya menghasilkan angka kognitif. Jadilah guru merasa enjoy dengan keterbatasan itu.

2.Faktor siswa

Siswa mengakiu jika dirinya “kosong” memori dalam menatap dunia sastra. Akankah ini keteledoran dari jenjang sebelumnya? Tidak juga. Alasan pada faktor guru menjadi satu rentetan akibat dengan kekosongan memori siswa dalam memahami dunia sastra. Ketika satu dua siswa saya lakukan klarifikasi atas angket yang dia isi, kebanyakan mereka pernah membuat puisi dan pernah menampilkan (minimal di depan kelas), tetapi tidak pernah untuk diajak menikmati apa yang dicipta dan ditampilkan. Padahal, mereka begitu berbunga-bunga ketika aplaus teman menyambut akhir tampilan karyanya. (uraian angket ini diambil dari PTK saya. Bisa dilihat di blog pribadi).

Lihat : https://bermututigaputri.guru-indonesia.net/artikel_detail-30465.html

(rasakan, betapa lugunya gestur mereka)

Entah kebetulan atau tidak, dalam group FB pun saya pernah berbagi. Postingan puisi saya, ”Utopia”, diapresiasi teman yang akhirnya berlanjut pada diskusi tentang pembelajaran sastra (utamanya puisi). Saya nukilkan diskusi itu :

……………………………………………

Bunda Sekalbu Makasih pak fauzi.. sekalian mau tanya nih.. gimana cara termudah membentuk karakter pada anak usia SD? saat baca puisi karena kebanyakan mereka masih mencontoh.

Akhmad Fauzi Oh iya, berdasar pengalaman (SD - SMP pun SMA tidak jauh beda dalam menatap sastra, kebanyakan masih longgar apresiasinya), langkah awal memberikan kesan "senang" Bu. menanamankan senang ini beragam metode, yang terbaik kayaknya keteladanan dan contoh riil. Maksudnya, ajak siswa untuk menelusur betapa indahnya memvisualisasikan imajinasi itu, pun hal apa yang akan di dapat dari pemvisualisasikan itu. Ketika jiwa mereka mulai terisi dan ada respon, layak mereka kita giring untuk mencipta dan menikmati ciptaannya. Siapkan bergudang-gudang reward nggih Bu, untuk karya dan kreasi mereka, tidak perlu berbentuk benda, kesempatan untuk mendapat aplaus dari teman termasuk hal yang penting juga.... Terakhir, jadikan moment momen tertentu untuk ajang berpuisi ini... bukan hasil yang di raih tetapi menumbuhkan apresiasi mereka... Mungkin itu yang pernah saya lakukan Bu, jangan lupa juga, jadikan diri teladan untuk mereka dalam meraba dan berliteratur karyanya... Kurang lebihnya mohon maaf nggih bu Bunda Sekalbu, mari kita bumikan sastra dan puisi nggih, elite bagi siswa kita memang

Bunda Sekalbu Makasi pak fauzi..saat ini langkah awal yg saya lakukan adalah mengajak menulis apa saja yg berkesan dalam kehidupan sehari hari baik berbentuk puisi maupun karangan.. dan kemarin para siswa saya minta buat puisi tentang ibu trus puisi tersebut di berikan kepada ibunya masing masing di rumah.. apresiasi para ibu sangat baik. Bahkan ada yg menitikkan air mata karna bahagia.. walau hanya dengan tulisan sederhana sebagai ungkapan rasa sayang terhadap sosok ibu.sekali lagi saya ucapkan trima kasih pak Fauzi.

Akhmad Fauzi Wowww.. efek domino Bu puniko, rampak kalau gitu. Kayaknya tuntas sudah bu Bunda Sekalbu dalam menitipkan nilai2 ke anak, kini giliran anak yang harus di beri ruang sebebas yang ada Bu... Tentu, karena siswa adalah amanh kita, kita juga tidak boleh terlalu meliarkan mereka Tuntas itu Bu, enak itu bagi guru SMPnya nanti.. hehehe.. apalagi Jenengan terus ada bersama mereka dalam mencipta Sungguh mohon maaf lho Bu nggih, semua ini dalam koridor berbagi nggih plus minus ada di kita masing2 itu yang ingin kita munculkan

(Dikutip dari laman FB :https://www.facebook.com/groups/rumpies23theclub/817643348316351/?comment_id=817654248315261&notif_t=like)

Tergerak hati untuk memposting tulisan tentang pengalaman diri dalam menanamkan kenikmatan berselancar di dunia sastra. Serpihan-serpihan PTK saya yang tersebut di atas sudah terposting di beberapa web dan juga menjadi beberapa artikel yang termuat di media lokal. Tulisan inipun bagian dari serpihan itu, hanya saja lebih pada tehnik dan aplikasinya. Tentu dengan gaya “saya”. Karena menggunakan bahasa saya, berarti penuh dengan subjektifitas pemahaman meskipun dasar-dasar langkah itu (tanpa disadari) bisa jadi merujuk pada beberapa teori sastra yang ada.

Ada yang perlu garis bawahi sebelum melanjutkan tulisan ini, yaitu“Guru itu merdeka, harus merdeka, harus berani berubah, dan harus berani belajar dari siswa dan lingkungan yang ada”.Hal ini perlu tersampaikan agar individu-individu dalam profesi ini memiliki kekuatan penuh untuk menuju “proses sempurna”. Tidak terbentur dan membenturkan diri dengan wacana “aral” dan “tidak bisa”.

Langkah pertama : Menjadi Model Siswa

Langkah awal yang perlu segera dilakukan guru sebelum mengajak mereka untuk mengarungi luasnya sastra. Menjadi model sebisa mungkin beralur dari hulu sampai hilir. Jangan bermodel di satu titik tetapi tersendat di titik lain.

Yang pernah saya lakukan adalah, mengawali postingan beberapa karya yang ada di akun FB dan blog pribadi (tanpa perlu melihat ketinggian karya itu). Selanjutnya mengajak siswa (pelan-pelan) untuk melihat postingan itu. Ajak siswa berdiskusi tentang latar belakang lahirnya puisi itu dan efek yang dihasilkan dari lahirnya karya.

Kemudian, sempatkan untuk menunjukkan jika karya kita itu nikmat dirasakan di hati siswa lewat aksi diri baca puisi. Di titik ini amat menentukan kelanjutan dari persepsi siswa tentang “kita” dan rasa sastra. Oleh karena itu, jadikan aksi kita di depan siswa tertata dengan rapi, jangan asal-asalan.

Ketika siswa meyakini jika guru “pantas” untuk dijadikan literatur, lempanglah sudah lorong-lorong yang akan dilalui guru itu untuk menanamkan nilai-nilai kenikmatan bersastra. Fase ini butuh banyak hal, 1) proses belajar guru dalam kompetensi sastra harus terus di lakukan, 2)media yang cukup baik dan mudah dijangkau, 3) ketelatenan dalam mengajak siswa untuk melirik, baik melirik karya guru maupun melirik faedah sastra itu sendiri.

Langkah kedua : Mengajak Siswa Untuk Mencipta

Jangan remehkan perbendaharaan siswa dalam meyakini kepantasan guru menjadi teman bermainnya di dunia sastra. Benarlah jika konsep keteladanan (bil hal) lebih mengena daripada konsep apapun dalam paradigm proses pembelajaran. Jadikan modal keyakinan siswa terhadap guru ini untuk merayu niatannya agar menghasilkan karya.

Proses menghasilkan karya bisa menggunakan berbagai metode, untuk saya lebih menyukai cara observasi objek. Siswa diajak ke sesuatu yang diinginkan, kemudian membiarkan mereka berdialog dengan objek itu. Begitu tuntas dalam berdialog, ajak siswa untuk menuangkan dalam tulisan.

Apapun yang dihasilkan mereka, “apresiasi yang tinggi” yang harus hadir dalam lubuk jiwanya. Jangan pernah memilih kata “kurang, sebaiknya, andaikata, dan seterusnya”. Hadirkan nuansa bangga atas karya yang telah tercipta. Kunci menghadirkan ini adalah keihlasan dalam menyampaikan apresiasi di depan siswa!

Langkah ketiga : Memberi Ruang Berekspresi

Ada beberapa momen yang menjadi lahan siswa saya untuk berekspresi :

1.Tengah semester, dengan tema “musikalisasi puisi”. Sebuah momen yang selama tiga tahun ini ingin saya jadikan ikon kreasi hasil murni karya siswa. Bahkan saya bermimpi untuk menjadi ciri khas sekolah saya agar bisa menjadi nilai jual di masyarakat. Lepaskan bejibunnya konsep-konsep tentang musikalisasi puisi. Tegaskan kepada siswa jika momen ini adalah untuk meraup kekuatan imajinasi siswa dan keceriaan dalam menampilkan imajinasi itu lewat syair-syair lagu yang bisa ia dendangkan.

(mereka mencipta, mengaktualisasikan, ceria, dan menikmati)

Ajak seluruh sekolah untuk mengapresiasi ini. Kelas VII dan VIII menjadi juri sekaligus penikmat, kelas Sembilan yang menjadi selebritisnya.(catatan : ketika pertama kali saya memulai moment ini, hentakan sebagian guru berkelindan dalam banyak persepsi. Saran saya, komunikasikan dengan baik dengan seluruh elemen sekolah)

2.Berpuisi di dunia maya. Guru harus punya akun facebook, harus bisa mengoperasikan sekaligus kreatif memainkan akun yang dimiliki. Akan lebih baik jika akun guru bisa menjadi teladan pula bagi siswa agar “sehat berselancar di dunia maya”.

Usahakan akun FB guru kenal dan dikenal siswa. Selanjutnya, mulailah berinteraksi dengan mereka. Interaksi yang saya maksud adalah lakukan pengelikekan (perhatian) kepada siswa yang memposting hal-hal yang kreatif, imajinatif, dan inspiratif. Jika perhatian kita ini sudah terbaca mereka, langkah lebih menukik harus dilakukan, yaitu mengomentari postingan siswa yang berbau sastra dan kreasi positif, walau yang mereka posting hanya satu frase, bahkan satu kata! Contoh : “petaka sirna…, kau yang pertama…, Tuhan bersamaku… dan lain-lain”. Maksud dari aktifitas ini adalah menciptakan budaya memaknai wacana dalam kata untuk merasuk dalam keseharian mereka (siswa).

Hasil yang sering terjadi dalam praktek saya adalah : 1) siswa suka ketika like itu datang dari saya (tertafsiri jika postingannya puitis, inspiratif, dan sebagainya), 2) semakin minim letupan emosi tanpa arah bagi siswa ketika memposting warna sanubarinya di akun FB, 3) Kreasi kita dan siswa saling berinteraksi, maka biarkan interaksi itu bercumbu sepuasnya dalam imajinasi masing-masing.

3.Seleksi Untuk Lomba Dan Lepas Pisah

Untuk momen ini saya pikir sudah menjadi budaya guru, hanya saja yang sering terlupakan seakan targetnya adalah tampil dim omen itu. Padahal, proses menuju seleksi dan proses berlatih untuk tampil itulah yang mengharuskan guru selalu hadir dan share dengan mereka, dan memiliki ketinggian nilai bagi perbendahaaran sastra mereka.

Langkah keempat : Membudayakan Bersastra Walau Tidak Harus Saban Hari

Tiga langkah di atas akan mulai terlihat hasilnya paling minim setahun perjalanan langkah. Dan, rasakan ketika langkah-langkah itu terbaca sebagai keindahan oleh siswa. Terbaca jika berpuisi (bersastra) bisa untuk dicipta, dikreasi tampilkan, dilanglang buanakan, dan dinikmati. Kini tinggal pembiasaan guru dan siswa untuk berinteraksi dalam lautan sastra yang sudah bergelantungan itu. Tidak saja di aurora proses belajar, tetapi juga di hati mereka. Polesan selanjutnya, biarkan alam dan waktu yang mengajaknya lebih elegan dan membumi. Sangat diyakini, pondasi itu telah tertanam, yaitu pondasi bisa menikmati sastra.

(akhirnya, sastra itu berada di panggung! baik di nyata maupun di jiwa)

Yah, hanya kebermanfaatan saja yang diharap dari “menanam puisi gaya saya”. Tersadari betapa berlepotannya langkah saya dengan kesenjangan dan keterputusan-keterputusan. Baik yang disebabkan oleh diri maupun oleh luar diri. Tetapi, kuncinya adalah saya. Itulah makna filosofi dari “merdeka”.

Titip sedikit pesan saja :

1.Hindarkan siswa liar dalam berimajinasi, lakukan dengan halus dalam meliukkan keliaran itu untuk diluruskan.

2.Hujamkan sekuat mungkin nilai-nilai, norma-norma, dan ketinggian melihat sebuah karya.

3.Jangan berharap banyak dengan hal verbal, karena ini bukanlah bisnis dan proyek, tetapi sebuah proses yang tak berujung

4.Tatap, betapa ini adalah invest untuk menggapai pahala Illahi. Maka, jangan perlakukan dunia sastra ini untuk berbenturan dengan norma, apalagi norma yang hakiki. Biarkan sengkarutnya wacana norma dan norma hakiki itu ada dalam proses selanjutnya. Proses lanjutan setelah siswa bisa menikmati betapa dunia sastra itu indah. Bisa membuktikan jika dunia sastra itu mampu meluruhkan kekerasan hati dan selalu menyapa “cinta”.

Semoga bermanfaat adanya

Salam berselancar di dunia sastra bersama siswa!

Kertonegoro, 5 Januari 2018

Salam,

Akhmad Fauzi

Pemilik blog guru : www.bermututigaputri.guru-indonesia.net

Ilustrasi : arsip pribadi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post