aldi ramdani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
disorientasi pendidikan indonesia

disorientasi pendidikan indonesia

Salah satu cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, kalimat tersebut masih terpampang dengan jelas dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara kita. Maka dari itu pendidikan nasional haruslah berorentasi pada kepentingan bangsa dan negara. Pendidikan naisonal harus berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia sebagaimana berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan anak bangsa dalam rangka mencapai kualitas sumber daya manusia yang mampu mengisi kemerdekaan, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman, bertaqwa, terhadap tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, budi pekerti, luhur, memiliki pengetahuan, terampil, inovatif, kesehatan jasmani & rohani, mandiri dan bertanggung jawab. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan rasa kemanusiaan antar anak bangsa dan antar umat manusia, anti neo kolonialisme dan impralisme, dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa pahlawan serta berorientasi masa depan.

Dalam rangka melaksanakan amanat proklamasi ini, Indonesia menghadapi proses dialektik cukup rumit dan berat, Sehingga pasang surut dalam dunia pendidikan menghiasi perjalanannya. Fakta sejarah Indonesia salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO dan GATS, dengan konsekuensinya negara Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan WTO/GATS ini dalam meliberalisasi banyak sektor termasuk pendidikan. Ratifikasi WTO ini di tandai dengan disahkannya UU No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia/WTO) yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan GATS pada tahun 2005. WTO dan GATS memang tidak secara ekplisit menyatakan penarikan tanggung jawab pemerintah atas dunia pendidikan, namun, pola dan strategi implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalism yang berada dibaliknya meniscayakan ditariknya peran negara dalam memenuhi tangung jawabnya atas dunia pendidikan. Maka dunia pendidikan sebagai bidang jasa terbuka untuk modal asing akan sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar bebas dunia, sebagaimana dikehendaki WTO, tanpa campur tangan negara. Ini sangat kontras dengan apa yang diamanatkan oleh badan internasional UNESCO agar peran negara mengambil peran besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Atas proses liberalisasi dalam pendidikan ini mengharuskan pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawab menunaikan hak masyarakat dalam pendidikan. Padahal dalam proses liberalisasi ini hanya menguntungkan pihak negara lain saja karna melihat potensi pasar yang sangat besar seperti: Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru. Dengan demikian jelas bahwa neoliberalism memandang subyek peserta didik sebagai modal manusia di siapkan sebagai calon pekerja yang harus dibekali keterampilan sebagai mana yang dibutuhkan dunia kerja. Ketika pendidikan dimasukan sebagai usaha jasa oleh WTO, maka paradigma pendidikan telah bergeser kearah komersialisasi yang kapitalistik. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dianggap sekedar komoditas yang bebas di jual belikan. Hukum yang berlaku pun akan demikian “ barang siapa yang memiliki uang maka ia akan memperoleh pendidikan yang memadai.

Hal tersebut diatas menjadikan pendidikan kehilangan hakekat orientasinya dan apa yang di cita-citakan bangsa terkesampingkan. Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali manampakan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Disatu sisi sekolah, dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang dalam prakteknya justeru bertindak otoriter dan anti demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi kulturalisme. Sekolah punya slogan “mencerdaskan kehidupan anak bangsa” tetapi dalam prakternya hanya anak bangsa yang punya modal dan kapital. Sekolah punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan drajat dan anti diskriminasi, tetapi pada prakteknya kelompok minoritas (difabel) di jauhkan dari pendidikan mainstream. Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tetapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak-anak pintar, pandai dan cerdas dan mengeksklusikan mereka yang punya keterbatasan intelektual. Hal tersebut bukti apa yang dilahirkan dari Rahim kapitalisme adalah satu bentuk budaya dan model berfikir yang mengorentasikan peserta didik untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat industri. Proses pembelajaran pun ditekankan pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki ilmu pengetahuan yang ditunjukan untuk mengejar profit dan menjadikan budaya pragmatis dalam pendidikan. Lihatlah realitas saat ini akibat ideologi tersebut banyak anggapan kuat dari masyarakat kita bahwa sekolah itu identik dengan mencari kerja, mengapa opini publik tersebut semakin kuat dalam masyarakat. Ini tak lain akibat dari dominannya budaya pragmatisme di masyarakat dan pendidikan kita. Seiring dengan dahsyatnya pengaruh pragmatism maka dunia pendidikan terseret oleh kepentingan pasar. Ideologi pasar tentu sangat jelas berbeda dengan ideologi pendidikan, ideologi pendidikan lebih mengedepankan nilai-nilai etis-humanistik berbeda dengan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatism dan materialistik dan menekankan kompetisi dibanding koperasi. Makanya jangan heran kenapa pada saat ini kebanyakan masyarakat lebih memilih fakultas-fakultas yang sekiranya bisa menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih banyak, akibatnya fakultas yang akan laku adalah fakultas yang berorientasi pasar dan yang mudah mencari kerja, misalnya ekonomi, teknik, kedokteran, sementara fakultas-fakultas yang non-pasar seperti filsafat, antropologi, sastra, dakwah tidak laku.

Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan sekolah tidaklah identik dengan mencari kerja. Asumsi sekolah sama dengan mencari kerja adalah akibat pengaruh budaya pragmatism yang dilahirkan dari capitalism. Mencari kerja adalah bagian bukan tujuan utama orang bersekolah. Belajar dan bersekolah adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagaimana realitas eksitensial dikonstruksi, memahami bagaimana seharusnya hidup di dan bersama dunia, dan bagaimana menjadi subyek di tengah-tengah perubahan sosial. Ini inti pendidikan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan sekolah tidaklah identik dengan mencari kerja." Justru terbalik ya. Kerja kemudian mencari jurusan pendidikan yang mendukung kerja bukan begitu pak aldi.

17 Jul
Balas



search

New Post