Ketulusan nan Terabaikan (Lanjutan Prolog, Novel Sepatu Aisyah)
Ketulusan nan Terabaikan (Lanjutan Prolog, Novel: Sepatu Aisyah)
Tidak kusangka, pikiranku meracau pada ingatanku di kaki gunung Lawu itu. Tepat di bawah air terjun yang dingin, kau bisikkan tentang renjana dengan mata barkaca-kaca. Aku pun tak mampu membendung air mata yang menganaksungai. Aku biarkan hempasan air terjun bak salju membilasi tubuhku yang terus mendekapmu dalam dingin senja.
Ya, air terjun Grojogan Sewu menjadi saksi bisu, tentang kita dan cita-cita abadi. Aku tidak bisa melupakan batu hitam yang menghampar yang dilumuri aliran air terjun yang seolah membuatnya membeku. Sama seperti degub jantungku yang seolah berhenti, menyaksikanmu bereuforia dengan selebrasi yang membahagiakan. Hidup dengan kemewahan dan gaya hidup ala orang kaya kebanyakan. Berlibur dengan kapal pesiar, tinggal di villa, menjelajah pulau Dewata ataupun Travelling dengan pesawat yang bukan kelas ekonomi. Menikmati kebersamaan dengan kolega atau keluarga besar dan menjejakkan dalam platform digital. Agar kau bisa berselancar suatu waktu seolah mengulangi masa indah itu.
Sementara aku, tetap berdiri memaku di antara lamunan dan renjana yang kian menggunung. Kadang, terpaksa harus pergi menyusuri jalan-jalan yang pernah kau lalui dulu. Sekadar Napak tilas bahwa engkau pernah berjuang dengan jalan hidup yang berliku. Sebagaimana yang kau ceritakan tentang karirmu dulu, sambil bersandar di bahuku, kau terisak akan jalan hidupmu yang kini makin menunjuk puncak. Takdir hidupmu semakin baik dan senantiasa dalam kasihNya. Bersyukurlah berada pada titik yang membuatmu semakin terkenal dan bersahaja.
Entah berapa jarak yang aku tempuh. Aku tiba di telaga Sarangan yang indah. Inginku mengulangi tentang jalan kita dulu. Sambil mendengarkan musik "Kekasih Hati" kita saling menyandarkan punggung kita. Saling membelakangi dan jemari berpadu di sisi kanan dan kiri. Seolah kedinginan senja itu milik kita berdua.
Siapakah yang bisa menyangka, tiba-tiba seseorang menghampiriku di tepi telaga itu. Ternyata, aku sudah duduk dan kadang berdiri lebih dari 3 jam, kata orang itu. Ia tahu bahwa aku dalam lamunan yang panjang. Mataku hampir tak berkedip memandangi air yang tenang. Sesekali aku menunduk, seolah bercermin air dan terayangkan wajahmu yang menatapku. Aku mulai mengusap wajahku. Mencoba menyadarkan diri agar tak terlena oleh waktu. Berdiri dengan hampa, menatap dengan kosong, membuatku lupa tentang makan dan minum. Hingga kesehatanku mungkin bisa terganggu.
Derai air mata tak segera terhenti. Entah di jalan saat berkendara, terlebih di tepi telaga ini. Ingatanku mengembara pada waktu dan ruang di mana kita berada, memadu renjana. Setiap apa yang aku inginkan, aku sentiasa mengemis dan memohon. Aku pikir, aku menghinakan diri untuk menunjukkan ketulusanku. Hingga aku ikhlas dan tulus melumuri wajahku dengan "darah" rindu atau "nanah" renjana atau "keringat" asmara. Hingga kucita dirimu mendarahdaging dalam jiwaku. Menyatu dalam jasadku, memadu dalam hatiku.
Pernah aku inginkan tentang kita. Aku mengemis agar kau selalu kabarkan diri saat kau pulang atau pergi ke mana saja. Pernah aku meminta engkau sentiasa menjaga diri dan kesehatanmu. Aku pun kadang menatapmu bersiluet senja. Hingga aku memohon "bersujud" di kakimu tentang rasa yang tak pernah berbohong ini. Aku pun bersimpuh mengemis padamu tentang rindu yang menyamudra. Tak terhitung lagi, berapa kali bulir air mataku mengaliri lesung pipit pipiku. Semua itu tentangmu. Setiap waktuku, selalu menujumu.
Tuhan masih melindungiku. Dan semoga tetap menjagaku, juga menjagamu. Mataku mulai terbuka, dan sekujur tubuhku terasa perih. Aku siuman. Di sekelilingku banyak peralatan yang kupahami. Aku cukup familiar dengan infus, selang oksigen, alat pacu jantung dan kabel-kabel yang menancap di jemariku, juga dadaku. Aku terjatuh dari ketinggian yang cukup curam, bersama motor bututku. Begitu kata sahabatku yang tiba-tiba ada di sampingku. Ya, aku dirawat di rumah sakit. Aku tidak sadar 2 hari. Lenganku patah. Aku hanya bisa pasrah.
Aku tak melihatmu di sekelilingku. Hanya tangis haru dari sahabatku. Aku bertanya pada salah satu sahabatku, tentangmu. Engkau memang tidak tampak hadir. Kabarnya, kau sedang menikmati liburan di villa. Kau berwisata ke Pulau Dewata saat aku terdera rindu dan lara.
Aku mulai menyadari. Siapalah aku. Seonggok jasad yang tiada berguna. Juga mungkin telah menyesaki hidupmu atau mengganggu setiap jadwalmu.
Tanpa banyak gerak, aku terus mengingat "wejanganmu" bahwa selama ini aku telah menyakiti hatimu. Aku telah memporak-porandakan jiwamu atau membuatmu luka. Bagai tertimpa gedung pencakar langit, aku menjadi down seketika. Apa yang kumaksudkan sebagai ketulusan dan keikhlasan, permohonan dan aku selalu mengemis justru menjadi batu hitam bagimu. GR ku selama ini menjadi ketulusan yang terabaikan. Keikhlasanku sepertinya sirna oleh pemikiran atau prasangka yang berbanding terbalik.
Tak terasa, air mataku terus mengalir di saat kumenikmati senja di balik jendela rumah sakit itu. Senja yang tampak jelas dari lantai 17.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren