Ali Harsojo

Saya adalah pribadi yang sangat sederhana dilahirkan di kota kecil Sumenep, Madura. Suka berkolaborasi dan bersinergi. Selalu ingin mencari tahu setiap ilmu yan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lunglai di Ujung Senja

Lunglai di Ujung Senja

Lunglai di Ujung Senja

(Lanjutan Prolog Novel Sepatu Aisyah)

Malam semakin larut. Aku tak bisa tidur. Mungkin setelah check up kemarin, masih menyisakan traumatik. Aku dikatakan dokter bahwa lenganku yang patah sulit kembali semula seratus persen. Meski sudah dioperasi, kemungkinan aku masih akan merasakan nyeri untuk beberapa bulan ke depan.

Namun, aku kembali berpikir. Sekadar menghibur diri. Nyeri patah tulang, tak senyeri hati yang tergores. Atau terluka sebab kata-kata. Kadang, nyeri akibat luka, bisa cepat sembuh dengan perantara obat anti nyeri. Antibiotik. Namun, untuk mencari obat alami, juga perlu usaha yang ekstra. Ya, nyeri patah tulang tak seberapa. Ketika aku tertidur, maka nyeri itu lenyap.

Sungguh berbeda dengan nyeri hati akibat luka. Meski hanya dengan kata-kata. Walaupun menurutmu itu hal biasa, bagiku sangat luar biasa. Sebab, aku tak pernah mengalami perasaan sehebat ini. Pertama kali merasakan tentang rindu yang tak berkesudahan. Tentang renjana yang membahana. Tentang cita yang kian menjulang tinggi.

Untuk menghilangkan penat, sesekali kutatap wajahmu dalam gawaiku. Meski engkau tak dapat bicara, aku merasakan bahwa engkau merespon maksudku. Hingga aku berpikir, kau benar-benar memahamiku.

Baru kemarin, bulan purnama menghadirkan pancaran sinar yang indah. Malam menjadi sangat memukau. Taburan bintang yang mengerumuni gelap malam. Bermandikan cahaya rembulan menerangi jagat mayapada. Seolah benderangnya langit, tak memahami gelapnya hatiku. Gelap sebab sembab. Gulita karena tangis dan temaram tak lagi tersungging senyum.

Senja itu, setelah aku mengalami kecelakaan di bukit itu dan patah tulang, masih lekat dalam ingatan. Memang, mungkin kondisiku tak sempurna lagi. Belulang ada yang cacat. Fisik tak sempurna. Kecelakaan itu adalah takdir yang wajib aku terima. Namun, aku masih tetap atau bahkan makin menjulang tinggi tentang rasa ini.

Ya, senja itu. Sudah dipersiapkan tentang surprised yang mungkin engkau suka. Atau mungkin setidaknya ada rasa terkejut dengan sesuatu yang disiapkan. Meski tak bernilai seberapa, namun perhatianku cukup membuktikan Renjanaku. Kau tak datang. Mungkin kau sedang keluar kota. Atau asyik liburan ke luar negeri. Tapi, aku yakin getaran jiwa ini juga meresonansi jiwamu.

Aku bertahan dalam kebimbangan. Aku tetap setiap duduk menunggu dengan sejuta harapan. Aku tetap memandangi wajahmu hingga mengantar senja mulai tenggelam. Engkau benar-benar tidak datang. Aku pasrah, pulang. Melewati dan menerobos hutan-hutan pinus yang rindang. Menelusuri jalan berkelok di pegunungan.Aku tak sempat lagi memandangi bukit pegunungan yang indah. Hari mulai gelap.

Aku coba rebahan. Sembari menghitung jumlah salahku. Sebab, aku selalu salah. Engkau sentiasa benar. Aku sudah menduga. Menungguku dengan sejuta impian, benar-benar tak berarti bagimu. Bahkan, dengan sekalimat argumen,.kau sengaja tidak ingin menjumpaiku. Sebab kau khawatir egoisku merajalela. Bagai disengat petir di siang hari. Aku terkejut mendalam. Aku merasa, bagai terumbu karang yang menyulitkan pemancing. Atau benalu yang menghambat tumbuhnya pohon mangga. Atau gelombang laut yang kadang menghantam perahu. Aku terdiam dengan derai. Aku tertunduk dengan kaku, dalam kesendirianku.

Ternyata, apa yang terbangun 12 purnama kali 17 masa itu, baru hari itu muncul terlontarkan. Sesuatu yang dahsyat membuatku lunglai di senja itu.

Aku jadi bertanya, belumlah aku membuktikan bahwa matahari terus menerik dan mengeringkan baju-baju jemuran? Ataukah kau membalikkan keinginan aku harus menjemur pakaian di bawah terang rembulan? Aku tak mengerti. Belasan tahun, baru aku dengar kata tak tertata. Lalu, kau katakan sedang meracau, dalam kesadaran.

Aku coba memutar ingatan lagi pada jarum jam senja itu. Hingga, kesimpulan yang paling mendecak jantungku. Aku selalu salah dan kaulah tempatnya benar.

Kututup laptopku, kubiarkan tulisan itu melanglang buana. Menuju semesta untuk dibaca oleh malam yang beku. Aku tertidur dengan rindu, terderai dengan sendu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post