Pilu yang Tak Dirindukan (Lanjutan Prolog Novel Sepatu Aisyah)
Pilu yang Tak Dirindukan
(Lanjutan Prolog Novel Sepatu Aisyah)
Pikiranku terus mengembara saat aku di rawat di rumah sakit, waktu lalu. Dalam kesendirian, aku selalu menghadap barat, senja. Menikmatinya setiap putaran waktu hadir pada senja. Kamar tempatku dirawat persis mengarah ke barat, menuju ufuk kaki langit.
Menatap senja, bukan hal biasa. Jika tidak selalu memandangi wajahmu di gawaiku, aku selalu melukis wajahmu pada matahari yang mulai redup dan tenggelam. Banyak kisah yang menjadi telaga rindu. Cerita yang bercampuraduk. Bahagia, rindu, merenjana, sedih atau bahkan kecewa atau marah. Tapi, itulah seni takdir. Romantika perjalanan hidup.
Aku mungkin terlalu banyak berharap. Tentang mentari yang tak ingin segera tenggelam. Atau senja yang ingin lebih lama lagi. Atau air terjun tempat kita memadu rindu selalu bergemericik. Atau jalanan di pegunungan yang asyik mengisahkan perjalanan mendebarkan. Atau tentang tidurku selalu bersama bayang dan wewangian khasmu. Atau tentang temu dan tata hati untuk sentiasa padu bahagia. Semua hal menjadi kalimat panjang yang dirindukan.
Tetapi, seringkali juga berbanding terbalik. Harapan tak sesuai dengan ekspektasi. Hatiku yang selalu GR seringkali berakhir abai. Atau harapanku yang memuncak berujung tak terurai. Sementara, engkau bebas berekspresi melakukan apa saja sesuai kehendak. Kuncinya, engkau selalu nyaman dalam retorika, bahagia sepenuh waktu, dan tanpa hambatan ke mana saja. Sungguh membanggakan.
Kadang, kau MeLakukan lalu pergi. Atau mengerjakan apapun lalu pergi. Atau diam dan pergi. Atau bersibuk ria dan pergi. Atau menutup tentang aktivitas terbaikmu lalu pergi. Bahkan, kau berselimut bahagia dan pergi. Entah pergi kemana dan melukis atau merangkai bahagia di mana. Atau menenun rindu dengan siapa atau ke mana. Namun, itulah hak preogratif yang selalu bisa dan menang. Itulah prioritas yang selalu ada dan dilakukan. Aku menikmati waktu dengan derai yang berkesudahan. Aku juga ada dan pergi ke mana saja dengan segenggam rindu sendu. Pilu beku.
Aku harus terus belajar berjalan. Tulang-tulangku mulai menyambung dengan baik. Tulang yang patah, mungkin tak seberapa. Hati yang patah, akan menjadi sarapan dan makan malam. Semakin kurasakan, suatu waktu mungkin juga menjadi biasa. Terbiasa dengan rinai yang terus mengurai.
Aku tak tahu lagi, bagaimana untuk menjaga senja hingga Mega merah terus indah. Apa yang kau katakan, ada benarnya. Bahwa yang aku pikirkan adalah hal sepele bagimu. Mungkin tentang senja yang biasa tenggelam. Mungkin tentang piluku yang tak dirindukan. Atau tentang air mata yang biasa terderai. Atau tentangmu dengan segala kebenaranmu. Ya, aku hanya bisa bilang tidak mengapa. Sebab, semua berpulang pada hati, juga Sang Pemilik Hati.
Entah mengapa, kejujuran derai air mata ini tak bisa kuhapuskan. Setiap kali aku ingin mengabaikan, ia semakin deras mengucur, menganaksungai. Inilah yang mesti kunikmati. Lanjutkan apapun yang kau ingin bingkai dengan sejuta caramu yang indah. Tidak mengapa. Aku kan terus menenun rindu dalam bingkai renjana. Meski piluku tak lagi dirindukan...
(...)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar