Prolog Pengantar Kisah Rindu di Kaki Senja
Di kaki gunung Lawu, Tawangmangu menjadi saksi bisu saat kita menghabiskan senja, kala itu. Semayup, sambil bersandar pada bahuku, kau dengarkan lagu "Melukis Senja" yang dilantunkan Larry Lumelle. Syahdu. Seolah hanya kita berdua menikmati senja yang memega.
Sementara itu, mentari semakin meredup menuju kaki langit. Entah kebetulan atau tidak, bersamaan dengan tenggelamnya matahari, kau nyatakan kembali rasa itu dengan tatap mata yang merona. Tak berkedip. Kupegangi kedua pundakmu, seraya kuucapkan hal yang sama. Bahkan lebih.
Mulailah aku sebagai pujangga. Di siluet senja, aku berpuisi dengan syair yang menggetarkan jiwaku. Mungkin juga jiwamu. Sebab, bulir air mata dari sudut netramu, tak bisa dibendung. Haru dan tulus, kurasakan. Hingga seumpama pujangga yang beken, kusajakkan renjana dan rindu yang kian membandang. Angin berembus dingin. Burung-burung tampak beterbangan menuju sarangnya. Pepohonan mulai menghitam bersiluet dengan mentari. Gunung Lawu, kian menyepi. Tampak hanya deburan air terjun yang memercikkan air dengan deras. Suara air itu menancap dalam ingatan. Seolah ingin memberikan pesan bahwa kitalah saja yang merasakan bahagianya senja itu.
Di atas batu hitam yang menghampar, kau kembali bisikkan tentang masa depan. Masa yang menjadi impian bersama. Menjejakkan setiap langkah menuju keindahan dan pulang bersama ke gubuk yang satu. Janji suci yang menggema di kaki gunung itu, meresonansi hingga ke lubuk hati terdalam. Jiwa kita padu dalam bingkai yang satu.
Aku tertegun pada percikan air terjun yang deras dan dingin. Tiba-tiba deburan air terjun di dasar pusaran air itu membasahiku. Juga dirimu yang masih berada dalam pangkuanku. Kita basah dengan air yang sungguh dingin. Aku terkejut, ketika aku tak kuasa menahan dingin dan mendekapmu. Semakin terkejut dan mengalir deras darahku, ketika dirimu juga memelukku erat penuh kasih sayang. Kita menjadi bisu. Batu pun tak terlihat kelu. Ia beku bersama air bak salju.
Hari sudah menjelang malam. Kita memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan mendaki dari daerah air.terjun itu menuju jalan pulang, kau tak lepaskan ikatan jemari itu. Sesekali, kau lingkarkan lenganmu pada pinggangku. Tak kau hiraukan lagi orang-orang yang lewat. Atau pedagang yang berada di bibir jalan menanjak. Kita tetap pada impian yang nyata.
Besoknya, aku jatuh sakit. Ketika dengan sengaja kau pertontonkan kebersamaan dengan orang lain. Meski cukup berasalan untuk melakukannya. Namun, gejolak rindu itu tidak bisa dimungkiri. Kata hati tak akan pernah berbohong kepada pemiliknya. Berpuluh atau Beratus senja aku tak bisa melupakan. Tentang kita di kaki gunung Lawu itu, di bawah derasnya air terjun. Setiap detik, pikiranku selalu mengembara menujumu. Setiap menit, rona wajahmu selalu membingkai ingatanku. Sepanjang waktu.
Aku terus berusaha tegar. Seolah tidak terjadi apa-apa. Aku terus merawat lara yang mendera. Aku mengobati luka itu dengan derai air mata. Aku tahu, Tuhan pasti mengerti tentang isi hatiku. Oleh karenanya, aku selalu ingin dekat kepadaNya. Keluh kesahku hanya kusanggup untuk diadukan kepadaNya. Bukankah hanya Tuhan yang tahu segalanya. Dan kepada Tuhan pula dikembalikan segala perkara. Aku yakin itu. Manusia, tetaplah manusia. Qodratnya lupa dan salah. Juga mengulangi cara-cara yang sama untuk menyakiti. Kupikir itu manusiawi. Sebab itulah yang menjadi kebiasaan dan keinginanmu. Hingga lupa tentang apa yang pernah dikata ataupun yang dicita.
Putaran waktu terus berpacu. Mungkin saja tak mau tahu apa yang terjadi padaku. Jarum jam terus saja berputar mengitari angka-angka itu. Lalu, kutemukan jemariku yang kanan pada jemari tanganku yang kiri. Melamun dalam waktu yang cukup lama. Biasa, sesekali kuseka air mata itu.
Berpikir keras tentang caci maki atau mungkin marah yang kau pendam. Atau mungkin juga tentang selisih persepsi yang berujung debat kusir. Kaulah yang benar. Aku mungkin yang salah. Mendamaikan hati dengan situasi agar terjaga kata di hati. Ternyata, sebelas atau duabelas purnama kusadari tentang senja yang tertanam di kaki gunung Lawu itu. Apa yang menjadi ketulusanku tidak sepenuhnya menjadi keikhlasanmu. Aku berada pada GR yang super. Hal yang aku rindukan, tidak kau pikirkan..Hal yang dimaksudkan, tidak seutuhnya kau terjemahkan. Sesuatu yang dianggap padu, ternyata sendu. Tentang yang kukehendaki dengan tulus, ternyata berbeda persepsi.
Aku mulai merangkai kata menjadi bait puisi. Namun, kurasa belum kutemukan diksi-diksi yang indah. Apakah tertinggal di bawah air terjun itu? Aku ingin memastikan. Aku bergegas kembali ke kaki gunung itu. Aku berdiri tegak seperti waktu dulu. Sembari menikmati senja, kuikuti irama derasnya air terjun. Hingga aku lupa, senja telah usai menjadi malam.
Lalu aku bertanya, apakah senja itu akan menjadi nyata seperti segunung harapan? Ataukah sebongkah kenangan? Tuhan Yang Maha Tahu. Kata hatimu adalah jawaban. Terkisah dalam derai, terlukis dalam air mata.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar