Senja Fatamorgana
Senja Fatamorgana
(Lanjutan Prolog Novel: Sepatu Aisyah)
Aku bernapas lega. Setelah dirawat selama 21 hari, aku diizinkan pulang. Meski tidak sembuh seratus persen, dokter Idham mengizinkan aku beristirahat di rumah. Perawat sibuk melepaskan perangkat medis yang menempel di tubuhku. Aku bersyukur kepada Allah, masih ditakdirkan hidup. Patah tulang karena terjatuh di lereng bebukitan itu menjadikanku semakin dewasa berpikir. Bahwa takdir yang hadir pada kita adalah takdir yang terbaik.
Aku mulai mendapatkan suasana baru di rumah. Jika di rumah sakit aku selalu memandang ke arah kiblat, kini aku bisa keluar masuk serambi rumah. Aku terus belajar menggerakkan tangan dan kaki, agar cepat pulih. Aku rajin berjemur di pagi hari dan jalan-jalan santai menikmati suasana pedesaan, setiap pagi.
Satu hal yang serasa wajib bagiku. Setiap senja, aku selalu memandangi wajahmu yang ranum. Senyummu tersulam laksana bidadari yang jelita. Tiada habisnya aku menjadikan wajahmu sebagai pengobat rinduku. Ya, bukan sekadar menjadi wallpaper di Hp ku. Wajahmu telah membenam dalam ingatanku. Merasuk dalam jiwaku. Darahmu mengalir dalam darahku. Liurmu memadu dengan rasaku. Aku sentiasa bersamamu, meski seraut wajahmu dalam bingkai Renjanaku.
Sejak aku dirawat di rumah sakit, kau tak pernah datang menjengukku. Hanya sebait kata-kata puitis tentang janji senja yang kau benamkan dalam jiwaku. Selebihnya, kau pun tak pernah bertanya kabar. Bahkan, kau sangat jarang membaca storyku. Meski aku berusaha menggunakan gambar dan caption indah, kau tak menggubrisnya.
Hal ini, semakin menyadarkanku, bahwa cinta sayangku tak jua sebanding dengan kasih sayangmu. Apa yang aku cita dan impikan mungkin. Lebih besar dari gunung. Ataukah lebih luas dari samudra? Aku yang bisa merasakan. Allah Maha Mengetahui. Aku juga tak kuasa untuk mendalami degup jantungmu. Detak nadimu. Apakah sama dengan denting jantungku yang selalu mendebarkanmu? Atau detak nadiku yang seolah selalu menyebut namamu? Kaulah yang bisa menjawabnya.
Besok, aku akan segera menuju ke rumah sakit terbaik di kota provinsi. Setelah seminggu aku berdiam melamun di rumah, aku harus kontrol. Memastikan kesehatanku baik-baik saja. Atau struktur tulangku kembali baik. Meski tak sempurna lagi seratus persen. Maka, hari ini aku berpamitan kepadamu. Banyak hal yang akan disampaikan kepadamu.
Senja itu, aku benar-benar berharap kau bisa datang menjumpaiku. Aku tak kuasa untuk menjumpaimu. Kesehatanku sedang terganggu. Andai kau tidak menanyakanku tentang perkembangan kesehatanku, tidak masalah. Asal kau datang dengan ikhlas dan tulus kepadaku, senja itu.
Namun, alangkah terkejutnya atas jawaban apatis darimu. Jawaban dengan berbagai argumentasi dan retorika kata yang cukup menguras energi psikisku untuk memahami maknanya. Padahal, aku sudah bermohon dan mengemis berpuluh kali agar kau meluangkan waktu sebentar untuk hadir dalam semangatku. Datang menjumpai rinduku. Atau kau hadir menapaki jalan kebahagiaanku.
Meski aku keluar air mata darah, kau tak akan hadir. Sederhana saja. Kau melakukan challenge diri untuk tidak mengabulkan permohonanku. Atau tidak chat untuk beberapa waktu. Atau engkau harus menahan tega atas jeritan hatiku, derai air mataku. Kau sengaja meluluhlantakkan hatiku. Tercabik tak karuan dan berlumur darah kesedihan.
Aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah jasad yang tiada guna. Sehingga engkau dengan mudah mencampakkan permohonanku. Aku mulai meredam.rasa.kecewa. Menumpulkan rasa sesak di dada. Dan memantaskan diri untuk menjadi hamba yang teraniaya. Aku lemah dan berlumur salah.
Senja itu benar-benar kelabu. Ingatanku mengembara pada ruang dan waktu yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Seolah ada berkas sinar atau seserpih cahaya. Setelah kesaksama memandang, ternyata fatamorgana belaka..Aku terus berusaha kuat. Meski derai tak terhenti. Aku harus berangkat untuk check up, meski tanpa hadirmu. Berangkat dengan setelaga kekecewaan. Berangkat dengan pikiran hampa. Senja Fatamorgana mengajarkanku tentang kesabaran, keihklasan dan ketulusan yang benar-benar harus karenaNya. Sebab, penuh harap pada manusia kadang menjadi kecewa. Penuh sesamudra rindu, berakhir dengan Cemburu. Segunung harapan dan cita, kuperoleh kecewa.
Aku tetap duduk di kursi teras rumah, memanjakan angan bersama kata-katamu, sebelum aku harus berangkat menjemput sehatku,.waktu itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ceritanya, Pak Ali. Salam sukses selalu!