Surat untuk Aisyah
Surat untuk Aisyah
Tujuh belas tahun tahun lalu, Aisyah adalah teman sepermainanku. Juga bisa dikatakan tetanggaku, meski agak jauh.
Kami bersekolah di lembaga yang sama. Sejak SD, SMP dan SMA. Hanya di SMA beda jurusan. Pertemanan kami lekat.
Aisyah adalah anak yang lugu dan pintar. Selalu juara sejak bangku SD. Mulai dari SMP, kami mulai saling curi pandang. Kadang aku duluan yang memandangnya. Wajahnya cantik dan menawan.
"Apa, Ramanda..kok liat aku gitu sih" ujarnya.
"Ah, nggak apa-apa Aisyah" jawabku.
Waktu terus berputar. Hingga kami lulus SMP. Saat di SMA, kami memilih jurusan yang berbeda. Aku di jurusan IPA dan Aisyah di Bahasa. Meski begitu, kami masih satu korp. Yaitu OSIS.
Memang, kami seringkali berada pada acara yang sama. Cintaku menguat setelah ia pun diam saat aku tumpahkan perasaanku.
"Aisyah, ingatkah kamu di SMP dulu? Aku begitu lekat memandangmu. Hingga kini tak sirna. Aku menyukaimu" kataku jujur.
"Ah..hmmm.." Aisyah seperti kikuk.
Tidak ada jawaban yang jelas. Ia menunduk. Namun, gelora jiwaku berdentang dahsyat. Aku merasakan ia berada pada perasaan yang sama. Mungkin saja ia malu. Maklumlah, gadis zaman itu belum banyak bergaul dan HP pun terbatas. Tidak canggih.
Pelepasan sekolah sudah dekat. Kami sering rapat bersama. Membicarakan kegiatan yang semenarik mungkin.
"Menurutku, kita harus ada fashion. Sedikit tidak apa apa..atau mungkin pagelaran budaya lokal. Semacam pakaian adat" usulku.
"Ya, itu setuju. Pakaian adat berpasangan..gayanya dengan fashion." tangkas ketua Panitia.
Memang, panitia dibentuk setelah rapat OSIS dengan pihak sekolah. Semua anggota OSIS juga sekaligus panitia. Tidak disangka, aku berpasangan dengan Aisyah. Gadis pujaanku.
"Aisyah, kita nanti pas balik gandeng tangan ya" pintaku.
"Iya, Kaka" jawab Aisyah mengangguk.
Gusti!! Seumur aku dari SD hingga SMA, baru kali ini ia memanggilku Kaka. Aku senang banget. Pikiranku melayang. Melihat bintang dan rembulan berbinar. Bahagia banget.
Benar saja, aku menggenggam jemarinya yang lembut hingga kembali ke belakang panggung. Hingga aku tak percaya, Aisyah telah memanggilku Kaka. Sejak saat itu, panggilan kami Kaka Dede. Panggilan kesayangan.
Namun, derai air mata tak bisa aku lupakan. Selepas SMA, kami harus berpisah. Kami kuliah di kampus berbeda. Kota yang tidak sama.
"Dede, selamat menempuh kuliah nanti ya. Aku juga harus ke Jogja. Semoga Dede sehat selalu dan sukses" kataku senja itu.
"Iya Kaka. Kaka jaga diri baik-baik. Jangan lupa shalatnya. Semoga berhasil" jawabnya.
Derai air mataku menganaksungai. Tak sanggup dengan kalimat perpisahan itu. Tidak ada yang bisa kami lakukan. Selain menangis tersedu.
Senja itu, setelah mengambil ijazah di sekolah, kami makan bersama di warung bakso. Setengah hari kami berjalan-jalan seputar kota. Alun-alun.
"Ya, Aisyah. Kaka doakan Dede sukses nanti kuliahnya ya. Makin cantik dan hebat" kataku di akhir perjumpaanku.
"Makasih Kaka. Semoga Kaka juga sukses" jawabnya menguatkanku.
Tak ada basa basi lagi. Kami saling pandang lekat. Rasa yang begitu mendalam. Dari mata turun ke hati. Senja menjadi saksi, tentang rasa yang terus mematri. Kami naik motor masing-masing menuju pulang. Aku melihatnya lenyap di belokan sebelum ia menuju rumahnya.
Lima tahun kemudian....
Aku menyelesaikan kuliah. Berniat pulang ke kampung halaman. Ingin sekali menekuni agribisnis sesuai jurusanku.
Bagai disambar petir di siang bolong. Ototku jadi kaku. Lidahku kelu. Lunglai dan lemas. Otakku kembali pada perjumpaan dengannya, 5 tahun lalu. Rasa tak percaya, Aisyah telah menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Sejak semester akhir.
Kabarnya, Aisyah diminta pulang oleh orang tuanya. Memang, laki-laki itu orang berada. Seperti bangsawan. Ia adalah pejabat penting di sebuah instansi. Aisyah beberapa tahun lebih muda dari sang suami. Saat itu, Aisyah dikabarkan sempat menolak permintaan orang tuanya. Hingga akhir harus tunduk kepada rayuan ayahnya.
Aku menyesal tidak segera melamarnya, dulu. Meski aku tahu sulit diterima orang tuanya. Aku orang biasa. Terbilang miskin, bahkan.
Aisyah pun tak mengabariku tentang pernikahannya. Entah apa alasannya. Aku pun tidak berani lagi datang ke rumahnya. Sekadar bertanya kabar seperti dulu.
Langit berkabung. Awan hitam segera turun hujan. Seakan mengerti tentang gelapnya hatiku. Aku cemburu berat merasakan kenyataan ini. Gadis pujaanku telah menikah. Meninggalkanku sebatang kara. Harapanku menikah dengan Aisyah, pupus. Kandas di tengah lautan.
Hatiku gundah. Jiwaku kering kerontang. Tak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Derai air mata cinta tak tertahankan. Bahkan, bibirku masih menyebut namanya. Hingga aku larut dalam sedih. Merana di ujung senja.
Untuk mengenang masa 5 tahun lalu, aku pergi ke alun-alun. Tempat kami dulu berjumpa sebelum berpisah.
Semuanya terlihat jelas. Kenangan yang tak bisa kulupakan. Senyumnya yang meranum, masih lekat dalam ingatanku. Kurasakan seperti waktu itu, tentang kata-kata yang ia ucapkan. Tetapi takdir berbicara lain. Tak ada yang dapat kulakukan, selain menangis tersedu di tempat duduk kami, dulu.
Sembari kuterduduk lemas, kuambil gawai dalam tasku. Kumulai mengetik surat untuknya, my Aisyah.
Alun-alun tempat rinduku tertenun.
Kepada: Dede Aisyah yang tercinta...
Salam rindu.
Dede, Kaka begitu kaget. Setelah kepulangan dari Jogja, menyelesaikan kuliah, ternyata Dede telah memilih orang lain.
Akankah tidak mengerti tentang jiwa setia Kaka. Kaka tetap berprasangka baik. Mungkin engkau dalam keterpaksaan. Namun, tidakkah engkau ingat tentang janji Kaka dulu?
Tak apa De. Takdir Allah tidak ada yang tahu...
Mohon maaf..Kaka bersalah...
Seharusnya. ..meski harapan dan ucapan Kaka terakhir tidak dipahami dan dibalas kata oleh Dede..Kaka tetap katakan Dedeku tersayang.
Kaka bersalah...mohin maaf..seharusnya ...meski Dede tak pamit seperti biasanya jika datang ke sebuah acara atau momen penting, harusnya Kaka tetap menghubungi Dede dan bertanya...
Seharusnya meski Kaka tak berhak dipamiti...Kaka tetap bertanya tentang rencana Dede apa saja...
Mohon maaf..Kaka salah. Ketahuilah...Dede..Allah Maha tahu..tentang penderitaan Kaka hari ini...tanpa kabar lagi dari Dede.
Allah juga tahu, tentang Kaka yang bingung mencari Dede ke rumah Dede meski hanya di batas jalan pertigaan itu, Kaka juga mencarimu ke mana biasa kamu ada acara..dengan sahabatmu dulu.
Kaka tahu...Dede mungkin seharian sedang lelah namun telah bahagia bersamanya...Hari-harimu kian bahagia dan terlupa dengan janji Kaka.
Kaka menjadi semakin jauh..dan kabar Kaka mungkin saja mengganggumu, hari ini.
Apalagi, Dede juga sudah nyaman tanpa gangguan chat dari Kaka. Sehingga quality time Dede makin berkualitas.
Dede...hari ini Kaka di puncak pendertaan.. pulang tanpa bersamamu Semoga Allah senantiasa Mengetahui..bahwa kondisi hari ini...Kaka cemburu yang dahsyat. Sekaligus makin membuat cinta sayang Kaka bertambah lekat padamu, De.
Seharusnya Kaka akan memulai untuk membangun masa depan dengan gemilang. Tapi apalah daya ..rindu membuat Kaka beku.. Kaka memilih pergi ke tempat kita dulu sebelum berpisah. Lalu pulang dengan lemas dan tidur bersama bayangmu.
Dede, Maafkan kesalahan Kaka hari ini..dan hari-hari sebelumnya.. Mendambakanmu, memilikimu menjadi cita dan harapan Kaka sejak bangku SMA itu. Kini tinggallah kenangan yang membandang. Menyesali pikiran dan hati Kaka. Alam bawah sadar Kaka, hanya ada namamu, De.
Kaka hanya mampu berdia...Semoga Dede sehat selalu .dalam penjagaan Allah ..
Selanjutnya, Kaka akan mulai terbiasa menyesuaikan dengan kondisi ini...meski selalu tetap mencintaimu.
Kaka juga akan mulai mengerti..ketika Dede harus melaksanan tugas dan kewajibannya sebagai pendampingnya..Meski derai ini tetaplah mengucur mengikuti putaran waktu. Tak ada lagi pamit undur diri untuk istirahat malam seperti kala itu.
Kaka juga akan mulai menahan sesak dada dengan gelombang cemburu...ketika Dede tak lagi ada kabar, bungkam dan bahagia.
Dede, Kaka akan terus belajar...dan menguatkan diri tentang sakitnya mencintai..menyayangi dengan segenap jiwa...namun gemuruh cemburu itu juga makin menggunung.
Dede, maafkan Kaka. Kesalahan Kaka. Selamat menempuh hidup baru dan bahagia.
Semoga Allah menjagamu...hingga akhir nanti...
Terima kasih sudah mewarnai hidup Kaka, terutama senja itu. Terima kasih, telah mengisi ruang dan waktu Kaka selama beberapa waktu.
Kaka tidak tahu lagi harus bagaimana. Mungkin Kaka akan kembali ke Jogja, sekadar mengubur kenangan itu. Lalu, melukis masa depan kembali bersama bintang dan rembulan harapan.
Dede, jaga diri baik-baik. Maafkan Kaka.
Kota Seroja, Senja, renjana menelaga.
Kaka,
Yang mencintaimu..menyayangimu
Mengkhawatirkanmu selalu...
Tak terasa, banjir air mataku setelah menulis surat itu. Surat yang aku sematkan di media sosial sebagai kenangan bersamanya.
Aku berencana akan pergi ke Jogja. Menemukan kembali kesibukan di lereng gunung merapi. Melanjutkan tawaran teman, menekuni agribisnis. Satu harapanku, di sisa hidupku, aku dipertemukan kembali dengan Dede, Aisyahku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar