Alfian Tarmizi, S.Pd.I

"Ribuan kata bisa kamu ucapkan dalam sehari, tapi akan hilang begitu didengar, tapi ratusan kata yang kamu tulis akan abadi, dibaca semua orang, maka menulislah...

Selengkapnya
Navigasi Web
 Bertahan Hidup di Masa Sulit

Bertahan Hidup di Masa Sulit

Aku berharap ayang dan bang Pul ada di rumah. Aku akan memberikan ketikan pesanannya kemaren. dengan bismillah aku keluarkan honda mio kesayanganku. walau sudah berumur 10 tahun tapi besar jasanya padaku selama ini. dengan mio tua ini aku pergi kerja. walau ada terbersit di hati untuk menggantinya. tapi berat rasanya berpisah dengan mio ini.

Pernah aku kekpepet uang. Adikku menawar mio ini segharga lima juta kontan. "Enam juta deh," kataku. "Mio ini masih original semuanya. satu tangan, nggak lecet dikitpun gegara jatuh atau gimana." Aku berusah meyakinkah adikku. "Dia menggeleng lima juta cash. Ayo kita ke ATM," Ajaknya bersungguh-sungguh. Aku seperti orang linglung anatar yakin dan tidak. Tapi aku ikuti juga dia dari belakang.

Adikku menyelinap dibalik pintu ATM. Hatiku berdebar tak menentu. Sulit untuk mengungkapkan perasaanku waktu itu. Terbayang dipelupuk mataku uang lima juta rupiah. Bukan uang yang sedikit. Cukup untuk kebutuhanku sekeluarga selama tiga bulan. Di masa sulit ini kami sudah biasa makan tahu dan tempe. sesekali makan ikan atau ayam potong. Huh...Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Ini uangnya lima juta. Siapkan STNK dan PKB. Nanti aku jemput ke rumah."

Aku menerima uang dengan tangan gemetar. Kupadangi motor kesayanganku dengan sendu. sedih rasanya berpisah dengan motorku ini. Aku masih termangu ketika astrea adikku menghilang di ujung jalan. Suara bsingnya masih terdengar walau wujudnya sudah menghilang di kejauhan.

"lho, kok dijual, Pa. Nanti kerja dengan apa?" Tanya istriku hampir menyerupai protes.

Aku hanya diam saja sambil menyodorkan uang lima jta padanya.

"Simpan ya, untuk tiga bulan ke depan," kataku sambil mengambil kunci honda Beat kepunyaan istriku.

"Besok papa akan antar anak-anak dulu ke sekolah lalu pergi kerja dengan motor mama ini," kataku sambil melewatinya.

"Siapkan, kinci, STNK dan BPKB. Nanti Sore adikku akan jemput." Pesanku sambil menstater honda Beat dan berlalu dari depan rumah.

Sekarang honda Mio ini sudah kembali ke tanganku. Gantian honda Beat yang keluar dari rumah ini, karena kami tidak bisa melanjutkan kreditnya. Adikku bersedia melanjutkan asalkan dibarter dengan Honda Mio yang baru dibelinya setahun yang lalu dariku. Aku sih oke-oke saja. Tapi istriku yang keberatan. dia sedih berpisah dengan hondanya yang baru dua tahun dipakainya. Sebagai gantinya aku minta uang dua juta pada adikku untuk pegangan istriku.

lamunanku buyar ketika sampai di lampu merah. sebentar lagi aku tiba di rumah bang Ipul.

"Tiit...tiiit...tiiit...Bang Ipulpun melongok ke luar dari rumahnya."

Dengan senyumnya yang khas bang Ipul menyonsongku keluar. aku segera mengeluarkan ketikan yang dipesannya seminggu yang lalu.

"Udah siap, Yan...Berapa nih..." Tanyanya saambil merogoh dompetnya.

"Tiga ratus bang," Jawabku singkat.

"Terima Kasih, bang, aku pamit dulu. Mau ke rumah Ayang." Pintaku sambil memutar kendaraan.

Bang Ipul kembali tersenyum dan melambaikan tangan. Alhamdulillah rejekinya anak-anak dan istriku. Aku dapat uang tiga ratus hari ini. mudah-mudahan ayang ada di rumah. Aku berharap dapat tambahan uang dari ayang nantinya.

"Deg,.." jantungku sedikit bergetar melihat rumah ayang kosong. Pintunya tertutup rapat. Honda nya tak ada di luar. Bukti kalau dia lagi tidak di rumah. kurogoh HP dan kupencet nomornya tak ada sahutan. aku menggeleng sambil memutar honda Mio untuk pulang.

Dengan lesu ku stater Mio dengan kuyu. "Belum rejeki hari ini," bathinku.

Dari jauh aku melihat bayangan ayang dengan suaminya duduk diatas honda. Mereka berpakaian kumal. Aku menghampiri mereka yang menunggu kemacetan lalu lintas untuk menyeberang. Melihatku tepat di samping mereka ayang dan suaminya meminggirkan hondanya. Aku mengikutinya dari belakang.

"Cari ayang, Yan..." tanya ayang dengan tersenyum.

"Iya, nih...ketikan ayang udah siap," kataku sambil mengacungkan plastik berisi kertas.

"aduh, gimana nih ayang nggak bawa uang. Ayo kita ke rumah dulu. Ayang ambil uangnya dulu. Aku mengikuti ayang dan suaminya yang telah bergegas memutar hondanya menuju rumah.

"Yan, berapa ayang harus bayar?"

"Tiga ratus, ayang."Jawabku singkat.

Ayang mengeluarkan uang merah dua lembar.

"Yan, tinggal seratus lagi ya, uang ayang kurang."

Aku menggangguk setuju.

"Gimana lagi Yan, payah sekarang ini. Ayang nggak bisa jualan di rumah. Sekolah tutup. Sementara gaji ayang tidak cukup untuk biaya kuliah anak. sekarang ayang ke ladang menanam ubi kayu. sebulan lagi kan bisa dipenen tu sayurnya dan di jual ke pasar. bagaimana lagi kalau tidak begini. dengan apa kita makan anak-beranak." Ayang berkeluh kesah tentang hidupnya.

"Semua orang payah sekarang ini, ayang, banyak sabar dan tawakal saja. Yang penting kita berusaha. Allah yang akan memberi rejeki." Kataku menghiburnya yang sudah mulai menagis. Aku tak kuat melihat orang menangis. Ku lihat suaminya sudah mulai berdehem untuk mengingatkan istrinya.

Sudah hampir delapan bulan kondisi kesusahan ekonomi ini dirasakan oleh berbagai kalangan. Sudah banyak yang menjual barang-barang demi mendapatkan uang untuk bekal hidup sehari-hari. Entah sampai kapan keadaan ini akan berakhir. Untuk bertahan hidup saja rasanya sulit. Apalagi untuk mencari pekerjaan yang layak.

Padang Pariaman, 01-10-2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post