Suwandi

Dia hanya seorang guru bersahaja, yang lahir, tumbuh dan tinggal di daerah pesisir utara DKI JAKARTA. Berasal dari keluarga tidak mampu, hidup dan bergaul bersa...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEPOTONG KISAH PILU DI MARUNDA TEMPO DULU
#T-7

SEPOTONG KISAH PILU DI MARUNDA TEMPO DULU

SEPOTONG KISAH PILUDI MARUNDA TEMPO DULU

Hari masih cukup pagi ketika seorang bocah miskin berusia 10 tahunan berjalan dengan langkah agak cepat ke arah timur.Ia tinggal di kawasan Kosambi Kelurahan Kalibaru Jakarta Utara, tapi setiap pagi ia bergegas pergi arah Marunda yang terletak di sebelah Timur tempat tinggalnya.

Dengan tangan kanannya dia menenteng sebuah termos berisi es lilin yang akan dia jual di daerah Marunda. Meski masih bocah, dia sanggup berjalan 5-6 kilometer pulang pergi setiap hari untuk menjual es lilinnya.

Begitu juga pada Senin pagi di tahun 80-an itu. Ia melangkah dengan penuh semangat, membawa es satu termos yang dia tenteng ditangannya. Kadang dia pindahkan ke tangan kanan, kadang pula ia pindahkan kembali ke tangan kiri bergantian untuk menahan sakit dan lelahnya.

Meskipun sebenarnya perjalanan dari tempat tinggalnya ke Marunda itu dapat dikatakan sangat jauh untuk anak seusianya itu, apalagi sambil berjalan kaki sambil menenteng beban sebuah termos berisi es lilin. Si bocah kecil hitam dan kurus kering itu sangat bersemangat.Setiap hari es lilin yang di jualnya bisa habis. Harga sebuah es lilin saat itu 25 rupiah, ia bisa mendapat untung 5 rupiah perbuahnya. Ditambah lagi sang bos oilik es memberi tambahan bonus satu dari setiap sepuluh batang es lilin. Maka jika dia menjual semuanya dia bisa memiliki untung 300 rupiah perhari dari dagangannya. Padahal, sang bocah kecil itu, punya uang jajan sebesar 10 rupiah saja setiap hari yang ia terima dari orang tuanya.

Maka bocah cilik itu nekat melakukan perjalanan sejauh itu untuk berjualan es ke Marunda, dengan harapan ia bisa mengumpulkan uang buat membeli sepatu sekolahnya yang sudah rusak. Atau membeli tas sekolahnya yang sudah robek di sana sini. Harga sepatu untuk anak seusianya saat itu yang paling murah dua ribu sampai tiga ribu rupiah. Dari hasil dagangannya selama beberapa hari itu dia sudah punya tabungan sebesar Seribu rupiah. Maka si bocah itu bersemangat untuk bisa menambah uangnya buat membeli sepatu sekolahnya.

Dari rumahnya dia berjalan melewati Pembakaran Mayat Cilincing, lalu berbelok ke arah selatan sampai di perapatan Cilincing. Dari sana dia belok kiri ke arah Timur menuju Marunda. Di perapatan Cilincing itu tersedia mobil angkot yang siap mengangkut penumpang ke arah Marunda. Tapi si bocah miskin itu tidak punya uang untuk naik angkot, dia lebih suka berjalan kaki saja walau masih lumayan jauh juga tempat ia berjualan es yaang biasanya selalu laris habis semua dagangannya. Tempat mangkal pavoritenya adalah di sebuah sekolahan SD Negeri yang letaknya bersebelahan dengan SMPN 162 Marunda. Padahal anak-anak sekolah SMP yang sudah besar-besar itu saja pulang pergi naik angkot, dengan ongkos 50 rupiah sekali jalan.

Si bocah kecil itu tetap nekat jalan kaki, jauh memang, tapi ia merasa sangat senang menjalani semuanya. Selepas dari Cilincing, setelah melewati sebuah jembatan, maka ia akan melewati sebuah kawasan yang saat itu disebut masyarakat Cilincing dan Marunda sebagai AURI atau Loreng. Sebuah kawasan yang sangat indah. Terletak di tepi laut, tetapi pepohonan yang ada di sana tumbuh sangat rapat dan rindang. Lebih rapat dari sebuah hutan kota yang kita kenal saat ini. Di dalamnya juga ada beberapa bebukitan dan danau kecil dengan sebuah pulau di tengahnya. Tempat ini memang di desain sedemikian rupa sebagai tempat latihan tentara angkatan udara.

Saat lewat di sana, si Bocah itu tertawa bahkan, sebab dia pernah mengambil sabuk silatnya di pulau kecil yang terletak di tengah danau itu saat dia masih kelas dua SD. Maka tempat itu bukanlah tempat yang asing atau mengerikan buatnya meski jalan di sana agak sepi.

Suasana pantai yang indah, berdekatan dengan hutan kecil, memiliki bukit-bukit buatan dan danau serta rawa yang luas, membuat pemandangan di sana sangat indah. Pasir pantainya yang putih bersih juga menjadi daya tarik tersendiri buat muda-mudi kasmaran memadu kasih di tempat ini.

Sambil betjalan menuju Marunda, si bocah penjaja es itu kadang juga bisa menjual esnya kepada muda-mudi yang sedang berduaan di tempat sunyi yang sangat indah ini.

Tapi hari itu entah kenapa jalan itu benar-benar sunyi. Tak ada mobil angkot yang lewat, tak ada juga satu dua orang pengendara sepeda. Motor atau sepeda biasa melewatinya. Hingga akhirnya dia tiba di ujung hutan kecil itu. Matanya terbelalak menyaksikan apa yang nampak di depannya. Bocah kecil kelas IV SD itu terpaku bingung... Tak percaya dengan apa yang terlihat menghampar di hadapannya.

Bersambung

Jakarta, 15 September 2020 Alghie Suwandi
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aduh apa an ya next

24 Sep
Balas



search

New Post