Al Hilal

Al Hilal (Biasa dipanggil Hilal) Alumi Pendidikan Tinggi Kader Ulama (PTKU) MUI Provinsi Sumatera Utara. Alumni STAIS Medan Sekarang, Menjadi Guru Bahasa Ind...

Selengkapnya
Navigasi Web
ORANGTUA: APA YANG KAU TANAM, MAKA ITU PULA YANG KAU TUAI.

ORANGTUA: APA YANG KAU TANAM, MAKA ITU PULA YANG KAU TUAI.

KESALAHAN-KESALAHAN YANG SERING TERJADI

KETIKA MENDIDIK ANAK

Oleh : Al Hilal

Menjadi orangtua adalah kebahagiaan yang sangat dinantikan oleh pasangan suami istri. Ketika istri mengandung sembilan lamanya tentunya sebagai orangtua akan memberikan perhatian penuh kepada calon bayi. bahkan terkadang lebih mementingkan kesehatan si bayi dari pada kesehatan mereka sendiri.

Menjadi orangtua tentulah dambaan setiap orang, bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa anak adalah kunci kesuksesan suami istri. Entah dari mana sumber ungkapan tersebut, namun menjadi orangtua merupakan sebuah kebahagiaan. Akan tetapi semua itu tidak berhenti disitu saja, akan banyak tantangan dan hambatan yang kita hadapi untuk menjadikan anak tersebut menjadi seorang yang dewasa yang berbakti kepada kedua orangtuanya.

Sering kali orangtua mendidik anak dengan cara yang salah. Hal ini bisa saja terjadi karena belum berpengalaman atau tidak pernah mempelajari ilmu bagaimana menjadi orangtua yang baik. Alhasil yang terjadi adalah orangtua berpikiran bahwa apa yang baik menurut mereka adalah baik untuk anak tersebut.

Sejalan dengan itu semua, penulis ingin memaparkan beberapa kesalah yang sering dilakukan oleh orangtua dalam mendidik buah hati yang mereka sayangi.

1. Memukul dan berteriak

Sering kali sebagai orangtua terlanjur emosi terhadap anak dan melampiaskan kemarahan dengan menghukum mereka dengan kasar seperti memukul dan membentak. Hal itu sering terjadi dikarenakan emosi yang terlalu tinggi yang tidak bisa ditahan dan dilampiaskan kepada anak. Hal ini terjadi berulang kali sehingga orangtua menganggap bahwa menghukum mereka dengan cara demikian adalah suatu senjata untuk meredam kenakalan anak.

Marah dan memukul akan menghentikan perilaku “anak” ketika di hadapan orangtua, namun tidak menghentikan perilaku itu sama sekali. Artinya, ketika di hadapan orangtua, si anak tidak akan melakukan hal yang tidak disukai oleh orangtuanya, namun ketika anak tersebut tidak berada di hadapan orangtuanya, maka si anak akan menumpahkan segala perilaku buruknya kepada hal-hal lain seperti menggangu teman-temannya, berbuat yang tidak baik dan lain sebagainya. Disinilah kita bisa melihat bahwa hukuman yang salah seperti memukul dan membentak bukan untuk menghentikan perilaku anak, melainkan menyembunyikan perilaku buruknya.

Memukul anak juga menjadi salah satu contoh kekerasan yang mereka dapatkan dari orangtua, secara tidak sadar perlahan tapi pasti sikap ini dapat menjadi acuan bagi anak-anak untuk memukul adik-adiknya atau bahkan oranglain. Yang menjadi polemik dalam permasalahan ini adalah ketika orangtua menjadi objek percontohan anak yang notabenenya orangtua meski bersikap baik jika mengingingkan anak yang baik. Bagaimana mungkin kita bisa melarang anak untuk memukul adik-adiknya sedangkan kita sendiri sebagai orangtua sering memukul mereka ketika melakukan kesalahan.

2. Kedisiplinan yang salah

Mengajarkan anak untuk sebuah kedisiplinan sebenarnya sangat rumit. Hal itu dikarenakan sebagai orang tua yang menjadi “objek contoh” dituntut maksimal dalam membuat dan menjalankan peraturan. Contohnya kedisiplinan makan tidak berdiri, menyiram toilet atau membersihkan tempat tidur. Kita sering kali mengajarkan anak untuk melakukan kedisiplinan untuk perilaku kehidupan mereka sehari-hari, namun sangat disayangkan kita sendiri jarang atau bahkan tidak melakukan hal itu. Sebagai contoh orangtua yang menyuruh anaknya untuk menggosok gigi setiap ingin tidur, namun sebagai orangtua kita sering lupa untuk melakukan hal itu. Hal-hal semacam ini akan menjadi acuan bagi anak dan menjadi kebiasaan yang mereka dapatkan dari orangtua. Bahkan yang lebih ironisnya lagi adalah ketika mereka mengatakan “papa saja jarang gosok gigi”. Hal ini akan membangun ketidakpercayaan anak terhadap orangtuanya.

Orangtua menganggap jika mereka berbuat kasar dan tegas terhadap anak itu adalah perbuatan disiplin yang benar. Padahal, disiplin didefenisikan sebagai proses belajar-mengajar yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri. Perilaku orangtua harus berubah sebelum mereka dapat merubah perilaku anak, dan para orangtua harus menjadi “orangtua yang disiplin” sebelum anak-anak mereka menjadi disiplin. Kata kunci yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah proses belajar-mengajar yang mengerah kepada ketertiban dan pengendalian diri.

Proses belajar – mengajar. Seperti halnya di sekolah, anak harus belajar dari setiap hal yang belum diketahuinya. Orangtua disini berperan penting dalam megajar mereka, dan sasarannya adalah anak. Sebagai seorang pengajar kita mesti menyesuaikan diri dengan kapasitas kemampuan anak, tidak hanya sekehendak hati pengajar itu sendiri. Jika dipaksakan akan terjadi misunderstanding, orangtua menginginkan A sedangkan anak memahami B. Sehingga hal itu akan jauh menyimpang dan kembali lagi kesalahan akan dibebankan kepada anak karena mereka tidak mengerti apa yang kita sampaikan.

Sebagai pengajar biarkan mereka menikmati proses belajarnya, jika mereka salah kita arahkan ke jalan yang benar, jika mereka jatuh kita bantu untuk berdiri. Dari sinilah akan terciptanya sebuah hubungan baik antara pengajar dan yang diajar sehingga mereka bisa menjadi disiplin. Karena proses belajar mengajar untuk kedisiplinan ini mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri mereka. Ketika mereka disiplin, otomatis kehidupan mereka akan tertib dan bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Jika hal ini dilakukan dengan baik dan berkesinambungan, maka akan tumbuh sikap kemandirian dalam diri mereka.

3. Menggunakan kata “Tidak” dan “Jangan” untuk melarang anak

“Tidak” dan “jangan” merupakan kata-kata yang sering kali didengar oleh anak. Karena orangtua acap kali menggunakan kata-kata ini untuk melarang anak melakukan sesuatu yang kurang baik atau tidak disuaki oleh orangtuanya. Kenyataan yang sering kita temui di lapangan adalah ketika kita melarang anak dengan dua bahasa tersebut, yang terjadi malah sebaliknya, mereka melakukan hal-hal itu. Bahkan kata “tidak” menjadi kamus penting bagi mereka ketika kita mengajukan sesuatu yang menginginkan pertanyaan ya atau tidak. Hal ini terjadi karena kata “tidak” dan “jangan” menjadi kata kunci bagi mereka sebagai suruhan untuk melakukan hal itu. Karena selalu ada reaksi yang terjadi ketika anak melakukan hal-hal yang dilarang oleh orangtuanya. Apalagi ketika mereka melakukan hal yang kita larang dan kita tertawa setelah ia melakukannya. Hal ini akan menjadikan perhatian anak untuk terus memancing reaksi orangtua dan melakukan hal yang sama secara berulang.

Cara efektif untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mengurangi kata “tidak” dan “jangan”, karena kata ini dianggap sebagai kata negatif bagi anak. Katakan kepada mereka pokok permasalahannya. Misalkan kita menginginkan mereka untuk tidak makan berdiri, hindari menggunakan kata “jangan makan berdiri”, tapi langsung kepada hal yang kita inginkan seperti “duduk” atau “nak, kalau makan harus duduk”. Coba bandingkan dua kalimat tadi, kalimat pertama bermakna negatif dan kalimat kedua bermakna positif. Sehingga anak bisa langsung merespon bahwa jika makan harus duduk. Sedangkan menurut mereka “jangan makan berdiri” berarti “makanlah sambil berdiri”.

Jangan pernah lelah mendidik anak, sebab kelak mereka adalah penerus dari keturunan kita. Anak yang baik merupakan cerminan dari orangtua yang baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, jangan pernah berhenti belajar untuk mengenali dan memahami mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantuul Pak..hal-hal kecil yang kadang tidak disadari oleh orang tua bahwa apa yang mereka lakukan akan dicontoh oleh anak-anak, karena sesungguhnya orang tua dan keluarga adalah pendidikan yang pertama dan akan tertanam pada seorang anak. Terima kasih share nya...sehat n sukses..barakallah

07 Jan
Balas

Aamiin. Alhamdulillah. Senang sekali bisa bergabung di gurusiana. Ternyata menulis juga menyadarkan saya tentang nikmatnya rasa berbagi. Syukron bu @Marlupi

08 Jan
Balas



search

New Post