Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menulis demi Hobi bukan Apresiasi

Menulis demi Hobi bukan Apresiasi

Dalam hal tulis-menulis saya punya pengalaman seperti ini. Pertama, saya mulai menulis saat remaja (sekitar tahun 80-an). Hal ini didorong oleh kebiasaan remaja pada masa itu dengan membuat apa yang saya dan teman-teman dahulu sebut sebagai “Buku Album”. Buku ini dibuat menggunakan buku tulis biasa yang tebalnya antara 50 – 200 an lembar.

Penggunaan buku ini dimulai oleh pembuatnya dengan menuliskan identitas diri, petunjuk penggunaan dan permohonan kepada teman-teman untuk menulis. Lalu diedarkan secara bergiliran antar teman untuk diisi dengan aneka macam tulisan. Tulisan utama yang wajib ditulis yaitu identitas diri. Selebihnya menulis pantun, puisi, kata-kata mutiara dan lain sebagainya seperti telah dicontohkan pembuatnya (sekarang disebutnya “Admin” kali, ya?).

Tidak hanya itu, lembar tulisan dalam buku itu juga diperindah dengan berbagai rupa hiasan gambar, di tepi halaman dibingkai model ukiran Jepara, terutama teman-teman yang berasal dari Kota Ukir itu. Kalau sekarang, buku album ini fungsinya mirip media sosial seperti facebook dan lain-lain. Yakni sebagai media untuk memperluas jalinan persahabatan dan aktualisasi diri melalui berbagai karya tulis dan gambar.

Kedua, masa remaja yang biasanya diwarnai dengan soal pacaran muda-mudi, termasuk juga saya saat itu, saya manfaatkan untuk mengasah kemampuan dalam hal tulis menulis. Misalnya dengan menulis cerpen atau novel untuk saya hadiahkan kepada sang pujaan hati yang sedang ber-ulang tahun. Hal lain yang sangat menguntungkan bagi tumbuh suburnya kebiasaan menulis saat itu adalah kebiasaan pacaran yang beraninya hanya lewat surat-menyurat dan malu-malu bila sedang bertemu. Pada sepucuk “surat cinta” itulah segenap perasaan dituangkan melalui kata-kata yang tentu saja diusahakan indah, berbunga-bunga dan berlembar-lembar. Semakin banyak kata-kata indah yang diungkapkan, semakin lega dan puas rasanya. Sayang! Koleksi surat cinta saya (hihi, jadi malu) sudah saya bakar habis. Kalau tidak, mungkin bisa jadi bahan untuk menulis puisi, cerpen, novel dan lain-lain.

Ketiga, menulis untuk menumpahkan rasa tidak nyaman. Saat saya kelas 2 Aliyah (SMA kelas 11) punya guru yang kurang menyenangkan, kurang ramah, dan galak. Pengalaman ini menginspirasi saya menulis “Guruku Pinter Sekali”. Judul tulisan ini terinspirasi judul film “Guruku Cantik Sekali” (produksi tahun 1979) yang dibintangi Rano Karno dan Lydia Kandou. Sebuah film remaja yang sangat terkenal saat itu. Tulisan yang berisi puja-puji untuk seorang guru yang galak itu lalu saya serahkan ke teman yang mengelola bulletin sekolah agar dimuat. Tapi entah bagaimana nasib tulisan saya, yang pasti saya gak pernah melihatnya muncul di halaman bulletin kebanggan siswa itu.

Keempat, menulis karena tertarik mengikuti sebuah sayembara lomba menulis. Saat itu, sekitar tahun 80-an, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati yang diasuh KH. Sahal Mahfudz (alm) sedang menggelar sebuah event, saya lupa namanya. Yang pasti salah satunya yaitu event lomba menulis artikel ilmiah popular. Saya memberanikan diri ikut menjadi peserta lomba. Tiba pada malam puncak rangkaian acara, pondok mengadakan pengajian umum dengan mendatangkan seorang penceramah dari luar daerah. Beberapa waktu sebelum sang penceramah tampil, didahului dengan rangkaian sambutan, hiburan dan pengumuman hasil berbagai macam lomba, di antaranya adalah lomba menulis yang saya ikuti. Itulah saat-saat yang saya tunggu-tunggu. Tapi pengumuman yang dibacakan panitia itu sama sekali tidak menyebut nama saya. Alias saya belum beruntung menjadi pemenang lomba menulis.

Kelima, menulis karena merespon sebuah peristiwa atau tulisan orang lain yang sedang ramai dibicarakan orang. Rasanya senang, semangat dan ada semacam kebanggaan karena mengulas tulisan tokoh-tokoh terkenal. Tahun 1997 tulisan saya dimuat di harian Republika, Cuma berupa surat pembaca, sih. Tapi dalam surat pembaca ini saya menulis komentar agak panjang atas peristiwa Takbir Akbar di Monas yang disetting seperti panggung pertunjukan dengan menampilkan group musik Kyai Kanjeng dengan tokoh sentralnya Cak Nun (Emha Ainun Najib) dan Rhoma Irama. Presiden Suharto saat itu juga hadir dan tampil memimpin takbiran.

Saya senang karena surat pembaca saya diapresiasi teman-teman, bahkan oleh penulis top idola saya Emha Ainun Najib. Saya tahu ini karena beberapa hari setelah itu, Cak Nun menulis Surat Pembaca di koran yang sama berisi ucapan terima kasih dan klarifikasi atas Surat Pembaca saya sebelumnya. Senang rasanya saat itu dan saya semakin termotivasi untuk terus menulis. Tulisan saya yang berjudul “Ulama dan Umat yang Mandiri” dimuat Koran Terbit pada halaman utama opini (23 Juni 2000).

Pengalaman itu terasa menyegarkan laksana hujan turun di tengah kemarau panjang dan segera merangsang tanaman untuk tumbuh kembali. Ketika terjadi heboh tulisan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Kompas, 18 September 2002), saya terinspirasi menulis dengan judul “Menyikapi Pemikiran Ulil Abshar Abdalla” (20 Desember 2002). Namun tulisan ini hanya dimuat di majalah dinding sekolah tempat saya mengajar.

Pendek kata, saya terus menulis dan menulis. Meskipun tulisan-tulisan hanya sekedar di tempel di mading sekolah, tak banyak diapresiasi apalagi ditanggapi, bahkan hanya untuk koleksi pribadi sekalipun saya tetap menulis. Pernah dicemooh karena dianggap numpang tenar seorang bekas teman sekolah bernama Ulil Abshar? Ah! Saya tetap cuek saja dan yang penting bisa terus menyalurkan “syahwat” menulis saya karena terangsang oleh tulisan-tulisan Cak Nun.

Betapapun keadaannya, ternyata kebiasaan saya itulah yang pada akhirnya menjadi “tiket” masuk sebagai penulis di penerbit Rosda Karya Bandung sejak 2003 hingga 2010. Tahun 2003 seorang salesmen yang biasa menjual buku-buku pelajaran di sekolah tempat saya mengajar, datang bersama dengan salah seorang pimpinan Rosda dan menawarkan kepada para guru untuk menulis buku. Teman-teman guru yang sudah tahu kebiasaan saya yang suka iseng menulis, lalu merekomendasikan saya kepada pimpinan Rosda itu. Sejak itulah saya menulis buku Pendidikan Agama Islam untuk SD Kelas 3 yang diminta Rosda. Untuk buku ini saya sebagai penulis utamanya. Sedangkan untuk kelas 1, 2 hingga kelas 6 saya masuk sebagai penulis pendamping. Terkait adanya larangan menjual buku di sekolah yang mulai berlaku saat itu, akhirnya Rosda dan para penulis menjual naskah buku-buku tersebut ke Pusat Kurikulum dan dinyatakan layak untuk diterbitkan oleh BSNP menjadi Buku Sekolah Elektronik (BSE, 2011).

Pengalaman di Rosda Karya membuat teman-teman mengajak saya untuk menulis buku Bimbingan & Konseling untuk SMP/MTs pada 2008 dan diterbitkan oleh PT Kirana Cakra Buana Jakarta. Selanjutnya buku “Cinta Indonesia Setengah” oleh penerbit Bentang Pustaka Yogyakarta, 2013 (buku karya bersama dan saya berkontribusi sebanyak 8 judul). Tahun 2016 terbit buku saya berupa buku pelajaran Fikih untuk kelas 12 Madrasah Aliyah. Salah satu buku dari sjumlah buku untuk madrasah yang diterbitkan Kementerian Agama RI bekerja sama dengan para penulis Ma’arif NU. Terakhir adalah buku berjudul “School Teacher” (2017) yang sedang dalam proses diterbitkan oleh salah satu penerbit di Yogyakarta.

Pengalaman yang tampak seperti serba kebetulan itu membuat saya berkesimpulan bahwa pertama, pekerjaan baik yang dilakukan secara terus menerus meski apapun yang terjadi, suatu saat nanti akan ada gunanya. Misalnya sebuah novel yang saya tulis pada tahun 1986 dan masih saya simpan hingga sekarang. Ternyata pada Desember 2016 lalu dan ini berarti naskah novel saya itu sudah mengendap 30 tahun lamanya, saya baru menemukan peluang untuk diterbitkan. Saat itu di group telegram ada yang menulis begini, “Penerbit Andi Jogjakarta membutuhkan NASKAH NOVEL kalo ada di antara Bapak Ibu yang minat......” Kalimat ini sudah sangat membahagiakan saya meskipun untuk menjawab tawaran ini saya harus mengetik ulang naskah dan mengeditnya yang saya duga hingga 90%-an. Menurut Mas Eko Prasetyo, Pimred Mediaguru dan mantan wartawan Jawa Pos, editing hampir total seperti itu bukan mengedit namanya tapi “memutilasi” naskah agar menjelma menjadi seperti baru. Menurutnya ini tak masalah selama ide yang tersembunyi di baliknya cukup bagus.

Kedua, kebiasaan menulis yang dilakukan secara terus menerus dan tanpa mempedulikan bagus-tidaknya tulisan, justru akan semakin membuat cara menulis yang semakin bagus dari hari ke hari. Adapun tulisan-tulisan lama yang sudah terlanjur ada dan suatu saat nanti ketika kita baca lagi baru ketahuan “belangnya”, ya gak apa-apa. Toh tinggal diedit saja, selesai masalah. Jadi, jangan pernah sia-siakan karya kita apapun adanya. Sebab siapa tahu nanti masih sempat memperbaikinya. Kalau tidak, tulisan-tulisan “buruk’ kita itu masih berpeluang menginspirasi orang lain untuk membuat tulisan “tandingan” yang lebih bagus. Inilah jenis tulisan yang kemudian disepakati sebagai “Fenomena Supangat” oleh komunitas Pelatihan Menulis yang diadakan di Kemendikbud Jakarta beberapa waktu lalu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post