Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sekolah adalah Panggung Kata-kata

Hingga hari ini upaya membangun peradaban melalui sekolah masih saja menghadapi masalah. Padahal sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan, bahkan kata "sekolah" sudah identik dengan pendidikan, mestinya bisa menjadi tempat yang ideal untuk menyemai benih-benih peradaban itu. Tapi kenapa ini belum benar-benar dapat diwujudkan?

Hal paling kasat mata untuk menjawab pertanyaan itu adalah bahwa hingga hari ini masih banyak sekolah yang terlalu sibuk mengurusi tetek-bengek yang tidak terkait langsung dengan substansi pendidikan. Pernak-pernik fisik masih menjadi urusan utama, tak terkecuali urusan baju seragam siswa yang wajib dikenakan secara sempurna. Para guru mengurusi hal ini tidak sekedar sewajarnya bahkan hingga bentuk dan warna kaos kaki, bentuk dan warna ikat pinggang, entahlah kalau ada pula yang mengurus hingga ke soal pakaian dalam.

Sedangkan soal prestasi siswa masih belum beranjak dari ukuran angka-anka. Semakin tinggi nilai angka siswa, dianggap semakin tinggi pula prestasinya. Sedangkan ukuran prestasi lainnya cenderung dipandang sebelah mata. Seorang siswa yang lihai bermain futsal, basket, bulutangkis dan lain sebagainya masih diapresiasi setengah hati, "mereka memang pandai di bidang olah raga, sayang nilai-nilai pelajarannya masih rendah". Begitulah umumnya komentar para guru tentang prestasi non akademik para siswanya. Ada pula guru yang ragu memberi nilai pelajaran agama dengan baik hanya karena seorang siswa tak mampu menjawab soal-soal ulangan. Padahal sang guru tahu siswa tersebut sangat fasih membaca Al-Qur'an, mampu memimpin do'a setelah salat fardhu, mampu mengumandangkan azan dengan baik dan lain sebagainya.

Pada saat yang sama, pendidikan karakter juga berhenti sebatas kata-kata yang terus dipidatokan, "Anak-anak, marilah kita budayakan membaca. Sebab membaca merupakan perintah agama dan dapat membuat wawasan kita bertambah luas". Sementara sang guru yang pintar berpidato tak pernah sekalipun menyisihkan uangnya untuk membeli buku lalu dibacanya. Sang guru juga tak pernah berhenti menghimbau para siswa agar selalu menjaga kebersihan. Sementara ruang kerja sang guru tampak kotor dan tak tertata rapi. Ah. Tak perlu kiranya hal paradok ini ditulis semua di sini. Tapi secara singkat dapat dikatakan bahwa hingga saat ini soal pendidikan karakter hanya tampak indah di panggung kata-kata.

Ya. Harus diakui bahwa hingga hari ini, sekolah kita masih terlalu dominan sebagai panggung kata-kata dan sekaligus gudang besar untuk menampung idealisme orang-orang dewasa yang harus dijejalkan semuanya di otak para siswa. Dan apabila "membereontak", label sebagai siswa nakal akan segera menempel dengan jelas di kening mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang mencerahkan hati dan pikiran

09 Feb
Balas

Terimakasih Bu Uswatun

19 Jun

Mari membangun budaya untuk menghargai semua potensi positif yang dimiliki anak. Terimakasih yulisannya pak. Sangat menginspirasi

10 Feb
Balas

Mari Bu. Tapi ini masih butuh kerja keras ya kalau lihat kondisi persekolahan kita

19 Jun



search

New Post