Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sesatnya Sekolah

Sesatnya Sekolah

Ketika sekretaris bidang perburuhan Presiden Woodrow Wilson meninggal dunia, salah seorang pembantu di Gedung Putih mengusulkan kepada Presiden, “Bapak Presiden, suami saya menjalankan usaha pertokoan kecil di Jl. Pensilvania dan dia benar-benar seorang pekerja keras. Maukah Bapak mengangkatnya menjadi sekretaris perburuhan?” Presiden terkejut mendengar pertanyaan yang tak wajar itu dan menjawabnya, “Baiklah. Itu jabatan penting dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang hebat”. Lalu pembantu itu menjawab, “Kalau begitu, jika Bapak mau mengangkatnya untuk jabatan itu, ia akan menjadi orang hebat”

Kisah itu menunjukkan bahwa betapa pentingnya sebuah keyakinan, rasa percaya diri, dan pengakuan akan kepemilikan atas potensi sebagai semacam "software" yang dibenamkan Tuhan dalam diri setiap manusia. Tugas manusia tinggal menginstal-nya melalui beragam aktifitas pembelajaran yang bisa dilakukan di manapun dan kapanpun. Belajar tidak harus di sekolah. Apalagi kita tahu beberapa sekolah di negeri kita masih belum mampu menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar mau dan mampu memunculkan beragam potensi/multiple intelligence yang masih tersembunyi di diri para muridnya. Lihatlah bagaimana sekolah-sekolah kita masih menerapkan sistem test masuk untuk merekrut calon muridnya. Itupun hanya sebatas test pada dua potensi kecerdasan seperti test linguistik dan matematik. Padahal, merujuk pendapat dari Howard Gardner, setidaknya masih ada enam potensi kecerdasan yang terabaikan. Yaitu kecerdasan kinestetik, Visual Spasial, Musik, Natural, Intrapersonal, Interpersonal dan Eksistensial.

Kalaupun ada test wawancara, misalnya untuk mengetahui potensi kecerdasan Intra dan Interpersonal calon muridnya, test macam ini tidak dijadikan penentu utama kelulusan melainkan hasil test kecerdasan linguistik dan matematik yang menjadi penentu utamanya. Meskipun harus diakui bahwa saat ini telah ada sedikit sekolah yang mengembangkan pendidikan berbasis Multiple Intelligence itu. Menariknnya, sekolah ini bukannya menerapkan sistem test untuk mengetahui seluruh ke-delapan kecerdasan seperti yang disarankan Gardner, melainkan justru berani merekrut calon muridnya dengan tanpa test. Cara ini mereka tempuh karena yakin bahwa pada dasarnya setiap manusia itu pasti mempunyai kecerdasannya sendiri. Setiap manusia lahir dalam keadaan "suci". Baik suci yang terkait sikapnya maupun intelektualitasnya.

Satu lagi makna dari kisah di atas adalah pentingnya sebuah peluang atau kesempatan. Bahwa apabila seseorang memperoleh kesempatan maka peluang baginya untuk mengembangkan diri. Boleh jadi suami dari pembantunya Presiden Wilson itu hanya seorang pedagang kecil. Tetapi sang pembantu itu yakin kalau suaminya diberi kesempatan, ia akan mampu menjalankan tugas sebagai sekretaris bidang perburuhan di sisi Presiden Woodrow Wilson.

Melalui uraian ini saya hanya ingin mengatakan, sudah saatnya sekolah-sekolah serius untuk mengurus kecerdasan manusia yang sangat beragam dengan berbagai metode dan pendekatan. Aneh rasanya mengurus manusia dengan cara-cara yang justru bertolak belakang dengan eksistensi manusia yang memiliki berjuta potensi. Kecerdasan merupakan sesuatu yang rumit ragamnya. Maka mana mungkin sekolah dikelola dengan semangat ingin "menyeragamkan" segalanya? Bahkan baju seragam sekolah yang semula bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadi “jor-joran” antar murid dalam mengenakan pakaian ke sekolah dan tujuan baik lainnya, menjadi kontraproduktif karena aturannya diberlakukan secara kaku, disiplin mati, dan tidak fleksibel. Kita sering melihat bagaimana akibatnya kalau murid tidak mengenakan baju seragam ke sekolah? Atau sudah berseragam tapi gak lengkap. Misalnya warna sepatu yang tidak sama dengan ketentuan sekolah, tidak mengenakan topi, ikat pinggang berbeda, warna pakaian sudah luntur, dan masih seabrek pernak-pernik lainnya yang sering dijadikan “masalah besar” oleh para guru.

Inilah “sesatnya” sekolah-sekolah konvensional karena terlalu sibuk mengurus “bungkus” ketimbang “isi”. Sekolah yang semestinya mengurus pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya menjadi hanya sebatas sebagai pelaksana pengajaran. Bahkan “tersungkur” hanya mengurus tetek-bengek yang sebetulnya gak penting-penting amat untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Kesibukan yang dominan mengurus “bungkus” ini pada akhirnya benar-benar membungkus atau mengurung potensi setiap murid hingga kehilangan kebebasannya untuk berkembang sesuai keunikan mereka masing-masing.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

inspiring pak

26 Feb
Balas



search

New Post