Ali Mahsun

Pengabdi di MTs Negeri 1 Grobogan Jawa Tengah, mata pelajaran bahasa Inggris. Ingin mempererat silaturahmi, hubungi di [email protected] ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Denting Pualam
Gambar: https://www.dictio.id/t/kisah-batu-pualam/27188

Denting Pualam

Pagi itu, aku dan Fuad berjalan menyusuri jalan setapak yang diapit hamparan sawah yang mulai menguning. Gemericik air bernyanyi riang di bawah pematang seolah ikut larut dalam canda kami. Di sebelah kiri, sebatang pohon melinjo dahannya berdansa diiringi desah dedaunan yang menyanyikan lagu alam. Disebelah kanan, terhampar kebun cengkih yang menyebarkan aroma wangi menyapa hidung kami berdua.

Sayup-sayup terdengar cericip anak burung yang sedang disuapi induknya, menambah riang suasana hati yang sedang kami rasakan. Desir aliran sungai kecil berkecipak terdengar riang, teriring nyanyian pualam yang bercanda riang di dasarnya nan jernih. Riang, seriang hatiku yang bahagia bisa menikmati indahnya alam yang tidak pernah kunikmati di kampungku.

Gerimis yang mengguyur kampung ini tadi malam, menambah licinnya jalan setapak yang kami lalui. Jalan setapak yang sebenarnya adalah pematang pembatas sawah-sawah itu, semakin licin dengan bekas orang-orang yang melewatinya. Aku berjalan, terhuyung, terpelanting kesana kemari. Untungnya, kulihat ranting kering yang ada di pinggir jalan. Lalu kuraihnya, dan kujadikan tongkat untuk bertumpu. Tiba-tiba dari belakangku terdengar ...

“Gedebug!, Byur!” Kulihat Fuad terpelanting jatuh ke bawah aliran irigasi tersier yang dalamnya sekitar satu setengah metaran itu.Untung airnya tidak begitu dalam, hanya sebatas lutut orang dewasa. Dia mengaduh sambil tangannya mencoba meraih-raih rumput sebagai pegangan. Namun semua usahanya gagal. Malahan rumput yang dia pegangpun ikut tercerabut, jatuh ke air mengikut arus.

Dengan kepanikan yang kutahan, cepat-cepat aku ke bibir aliran itu, mengulurkan tongkat yang sedari tadi kujadikan sebagai tongkat tumpuanku. Meski aku tidak begitu yakin apakah tongkat itu cukup kuat menahan badannya yang cukup gembul itu. Ujung tongkat itu begitu licin oleh percikan air berlumpur. Tak ada rotan, akarpun jadi, batinku.

“Pegang ujung tongkat ini.” Kataku sambil mengulurkan tongkat ke arah dimana Fuad berada. Dia berusaha meraih tongkat yang ternyata tidak cukup panjang.

“Satu, dua, tiga!, sekali lagi kujulurkan ujung tongkat ke arahnya dengan harapan dia segera menangkapnya.

“Hap, srett!” akhirnya tertangkap juga. Dengan pelan-pelan kutarik tongkat ke atas. Namun berat badan si Fuad tak sepadan dengan tongkat yang kujulurkan. Ditambah dengan ujung tongkat yang licin karena terpercik air di bawahnya.

“Byurr!” Badan Fuad kembali tercebur ke dasar aliran sungai tersier. Aku terhuyung, terpeleset sampai bibir atas aliran itu. Celana dan bajunya semakin basah kuyub oleh air lumpur yang berwarna coklat itu.

“Giman sih, kamu itu!” Nada suaranya meninggi mau seolah-okah mau protes. “Jangan dilepas doong! Jadi basah semua niih.” Timpalnya sambil mengibas-ngibaskan ujung bajunya yang penuh dengan lumpur pekat.

Celingak celinguk, aku mencari-cari sesuatu. Pikirku kali-kali ada tambang bekas milik gembala yang terjatuh di situ. Karena disana-sini nampak bekas ternak merumput di kanan-kiri aliran sungai yang memang subur itu. Kuraih tali yang masih tertambat di sebatang pohon melinjo sisi kanan sungai. Dua meter panjangnya, semoga cukup kuat dan bisa mencapai tubuh Fuad yang berada di dasar sungai.

Segera kujulurkan  kearahnya, setelah aku bersihkan ujungnya dengan sapu tangan yang selalau kusimpan di celanaku. “Nih, tangkap lagi.” Nadaku agak kesal karena dipersalahkan.

“Pada hitungan ketiga, tangkap ujung tali ini, pegang yang erat.” Kataku tersungut-sungut.

“Satu, dua, tiiga!” kataku memberi aba-aba.

Sambil berjingkat, Fuad menerima tali dariku dan dipegangnya kuat-kuat, seolah tidak mau terlepas lagi.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku menarik tubuh Fuad dengan ujung tali yang aku lilitkan di kesepuluh jari tanganku.

“Satu, dua, tiga,” kutarik dengan sekuat tenaga. Namun hampir saja aku terjerembab. Namun aku masih bisa menahan dengan kakiku yang aku topangkan pada sebuah batu di bibir sungai.

“Uhfft! Alhamdulillah.” katanya setengah berteriak. Akhirnya berhasil juga dia terangkat dari dasar sungai kecil itu. Aku terhuyung kebibir sungai, namun dengan cepat aku bisa menguasai diri sehingga tidak sampai masuk ke dalam. Cuma satu kakiku sudah menjuntai di bibir sungai yang basah itu.

Kulihat wajah Fuad masih tegang. Dia berusaha menyembunyikan rasa pedih yang timbul dari luka memar yang ada di tumitnya. Titik-titik darah mulai menyembul dari balik kakinya yang memakai celana agak cingkrang itu.

“Cuma memar sedikit, semoga di pabrik pak Sobari ada obatnya.” Kataku menghibur. Pak Sobari adalah seorang perajin penyulingan minyak cengkih yang akan kami kunjungi.

“Obat sih obat, tapi sakitnya ini bisa sampai satu minggu kali.” Jawab Fuad ketus sambil meringis tampak kesakitan.

“Ya, sudahlah! Coba kucari pertolongan pertama untuk mengatasi lukamu.” Jawabku sekenanya.

Kupapah pundaknya dengan sebelah pundakku, kubawa ke tempat yang lebih lapang dan datar agar dapat kubaringkan di rerumputan.

“Tunggu sebentar di sini.” Aku akan mencari alternatif pertama pengobatan luka, seperti aku pernah praktikkan ketika aku menjadi anggota Palang Merah Remaja di sekolah.

Kulihat pohon cengkih di sisi kiri jalan, entah milik siapa. Secepatnya kuraih pucuk ranting cengkih muda yang berada paling dekat dengan jangkauanku. Kupetik beberapa daun yang masih muda. Kutaruh di batu pipih yang dari tadi kududuki dan kutumbuk sampai hancur hingga mengeluarkan air. Aku masih ingat, ketika praktik pelajaran biologi di laboratorium dulu, bahwa cengkih yang mempunyai nama Latin syzygium aromaticumini memiliki sifat antibakteri yang mampu menghentikan infeksi.

Kuraih kakinya, kucoba untuk menaruh tumbukan daun cengkih muda itu di bekas luka kakinya. Tapi dia malah berteriak, “Jangan! Ntar sakit lo Sun.” Dia mencoba meringsut dan menjauhkan kakinya dariku.

“Enggak lo, Ad! Ini justru akan meringankan rasa sakitmu itu, kawan.” Jawabku sambil menyorongkan daun cengkih itu.

“Janji loh! Awas nanti kalau sakit. Besok lagi aku gak mau menemanimu lagi.” Ancamnya seperti anak kecil minta permen.

“Iyaa, ini sementara saja. Semoga di pabrik nanti ada obat antiseptik.” Jawabku menghibur.

Aku sudah terbiasa berjalan kaki dengan medan yang kira-kira sama dengan kondisi jalan setapak di sini. Aku juga sudah terbiasa berjalan kaki menyusuri kebun jambu monyet di sepanjang jalan menuju kampusku di ujung bukit.

Dari kejauhan, kulihat seonggok bangunan tua berdiri cukup jauh dari perkampungan. Dua batang pohon beringin mengapit bangunan itu, seolah-olah seperti kesatria penjaga yang kulihat di cerita-cerita komik yang pernah aku baca. Bangunan ini adalah pabrik penyulingan minyak cengkih milik pak Sobari. Yah, pagi ini, kami punya janji dengannya. Janji yang aku buat dua hari yang lalu saat aku observasi lapangan.

“As-salãmu ‘alaikum!” sambut pak Sobari. Sebetulnya jarak kami masih cukup jauh, namun suara beratitu terdengar jelas. Bukan kami yang mengucapkan salam. Justru dia, yang melihat dulu ketika kami datang. Sambutan hangat itu sedikit mengurangi rasa pedih yang masih tersa di kedua jari tanganku.

“Loh, nak! Kenapa bajumu “teles kebes” dan kakimu terpincang-pincang?” cecarnya sebelum kami sempat menjawab.

“Wa ‘alaikum salam.” Jawab kami hampir serentak. “Maaf pak! Kami datang agak telat karena ada sedikit halangan di jalan.” Kataku sambil terus memapah pundak si Fuad.

“Sulahkan masuk. Saya ambilkan obat untuk mengobati lukamu itu.” Katanya sambil mempersilahkan kami duduk.

Dia berlalu sebentar, kemudian datang lagi sambil membawa sebotol obat antiseptik dan selembar selotip luka. Kuterima, secepatnya kuteteskan beberapa tetes obat antiseptik ke luka si Fuad. Sesekali kulihat Fuad meringis, merasakan perih pada luka yang terkena obat. Kemudian aku membalut luka itu dengan selotip berwarna coklat muda, yang diberikan pak Sobari.

 

Berlanjut....

 

Grobogan, 06 Agustus 2020

#Cerpen (3)

#tantangangurumenulis_37_gurusiana.id

By: Mistersun

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post