Menaja Asa di Bukit Kamulyan (part 3)
Jarum jam sudah menunjukkan angka 07.30 pagi. Kami bersiap-siap untuk melanjutkan aktivitas berikutnya, observasi lapangan. Kegiatan ini akan kami gunakan sebagai upaya untuk mengatahui langsung kondisi masyarakat, potensi daerah, budaya maupun produk-produk unggulan daerah itu.
Di sepanjang perjalanan, aku melihat pepohonan dataran tinggi dapat tumbuh subur dengan buahnya yang lebat. Aku melihat di sepanjang perjalanan kemarin kebun kopi menghampar. Pohon cengkih tumbuh menjulang menebarkan bau harum bagi yang lewat di bawahnya. Pohon melinjo yang dipenuhi buahnya sudah mulai memerah. Nun jauh di sana, terhampar pula kebun teh yang tertata rapi seperti permadani hijau.
Di beberapa titik jalan desa, aku melihat beberapa ibu sedang menggendong karung plastik. Setelah aku tanyakan apa yang sedang dibawa oleh ibu-ibu tadi, ternyata jawabannya, karung plastik itu berisi emping melinjo. Emping melinjo merupakan produk rumahan yang banyak diproduksi warga kampung. Buah melinjo diolah dan diproduksi sendiri oleh warga dengan menggunakan cara pengolahan tradisional.
“Mbok, sedang membawa apa, gih? Iseng aku bertanya kepada seorang ibu yang sedang menunggu angkutan. Kupanggil dia dengan kata “mbok”, karena biasanya untuk memanggil wanita setengah baya seperti dia, menggunakan kata mbok.
“Oh, ini emping melinjo mas. Mau beli?” Jawabnya dengan bahasa Jawa.
“Ah, hanya tanya bu. Kami mahasiswa KKN di desa ini. Insyaallah, besok kalau sudah selesai program ini, kami borong untuk oleh-oleh, mbok.” Jawabku seperti memberi harapan.
“Nanti hubungi ibu, ya. Jika mau beli.” Jawabnya penuh harap.
“Ini mau dijual kemana, mbok? Tanya Ade yang sedang di sampingku.
“Ke pasar, mas. Pasar Limpung” Jawab ibu yang sedari tadi berada di sampingnya..
“Kenapa gak dijual pada tengkulak dekat sini aja, mbok? Tanyaku seperti menyelidik.
“Kaya gak tahu aja, mas. Seperti apa biasanya tengkulak-tengkulak itu.”
“Oh, gitu ya mbok. Dibeli murah sama mereka?”
“Bisa dibilang begitu, mas. Tapi yang paling penting, dengan ke pasar langsung kita bisa sekalian belanja.”
Ibu yang duduk di sampingnya, tersenyum sambil sekali-kali melambaikan tangannya ke arah mobil angkutan yang melintas.
“Maaf ibu-ibu, sudah penuh.” Kata kernet angkutan yang barusaja berlalu.
“Dulu, ketika jalannya masih bagus, banyak angkutan yang lewat sini. Tapi karena aspalnya sudah rusak, hanya beberapa saja yang mau” Kata ibu yang ada di sampingnya tadi.
Aku menendang batu kerikil yang berada di bawah kakiku, seolah-olah mau memastikan seberapa kuat dia menancap di aspal. Kerikilpun terlepas, terhempas dari jalanan beraspal yang sudah mengelupas di sana-sini. Sisa-sisa air hujan tadi malam menggenangi lobang yang berserakan di sana-sini.
Desa seindah ini, sepantasnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Letaknya yang berada di dataran tinggi, berhawa sejuk, memungkinkan tanaman maupun bunga-binga tumbuh subur. Gemericik air pegunungan yang mengalir di setiap sudut desa, mendatangkan perasaan segar yang menenteramkan jiwa. Potensi alam yang seperti ini, sangat mungkin dikembangkan “Wisata Agro”. Akan aku usulkan dalam rapat desa esok.
“Limpung, pasar Limpung!” teriak kernet angkutan yang tampaknya masih kosong itu.
“Ya, pasar Limpung.” Teriak ibu-ibu hampir serentak.
Mereka tak ingin ketinggalan, karena sudah menunggu cukup lama di tempat itu. Satu persatu ibu-ibu itupun masuk ke mobil angkutan yang akan membawanya ke pasar. Setelah semua masuk, pak sopirpun mulai membunyikan mesin kendaraannya. Sekali putar, mesin angkutan itu tidak mau bunyi. Dua kali putar, belum juga berbunyi. Sepertinya masih enggan untuk berjalan. Tiga kali putaran, mesin angkutan itu mulai berbunyi, itupun dengan suara terbatuk-batuk, kayak kambing bengek. Ciri khas angkutan desa yang minim perawatan.
Perlahan-lahan, angkutan tua itupun mulai bergerak, bergoyang-goyang menyusuri jalan penuh lobang di sana-sini. Lantunan lagu-lagu dangdut dari tape recorder, mengiringi perjalanan mereka. Sesekali terdengar suara kaset yang mulai “ngelokor” karena pitanya yang sudah kusut termakan usia. “Berkelana”, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh bang Haji Roma Irama, semakin menyayat hati.
Dari dalam angkutan, terlihat para ibu yang menggendong karung plastik berisi emping melinjo itu, mengangguk dengan senyum polosnya.
“Mari, mari ibu-ibu. Semoga selamat sampai tujuan.” Kata kami hampir serentak, mengiringi keberangkatan mereka. Kamipun segera melanjutkan menyusuri jalan setapak menuju ke rumah pak Kadus.
***
Nantikan lanjutannya...
Grobogan, 05 Juli 2020
By: Mistersun
#tantangangurumenulis_05_gurusiana.id
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren pak
Terima kasih bu
Salam literasi